Kritik Terhadap Konstruksi Feminisme dalam Novel ‘Perempuan Berkalung Sorban’

Written by | Gender

Semua ini berawal dari sebuah novel yang ditulis oleh Abidah Al-Khalieqy dengan judul yang sama dengan filmnya. Novel yang pertama kali dirilis pada tahun 2001[i] ini sejak semula memang ditulis sebagai media alternatif pemberdayaan perempuan, sosialisasi isu jender, dan hak-hak reproduksi di kalangan pesantren.[ii] Penerbitannya disokong oleh dua lembaga yang sangat concern dalam mengusung ide-ide liberalisme, yakni Yayasan Kesejahteraan Fatayat[iii] (YKF) dan Ford Foundation, sebuah LSM asing yang banyak memberikan donasi kepada kelompok liberal di Indonesia, terutama kelompok yang mengusung isu HAM, jender, liberalisasi pemikiran, dan Sepilis (Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme). Dengan demikian, Perempuan Berkalung Sorban (PBS) merupakan novel pesanan. Hal ini diakui oleh Abidah saat diwawancarai oleh majalah Al-Mujtama’. Simak pernyataan Abidah [iv].

Kendati demikian, terlepas dari otoritas penulis; sebagai novel pesanan, kandungan novel pesanan tentu harus sesuai dengan tujuan, visi, serta misi pihak yang memesan. Dengan demikian, maka novel Perempuan Berkalung Sorban adalah novel berbingkai feminisme. Perspektif feminisme lebih mengarahkan pandangannya pada karya-karya sastra yang ditulis perempuan, dan sekaligus juga menampilkan tokoh perempuan dengan berbagai masalahnya. Perspektif dimaksud tidak semata-mata memandang novel dari kacamata estetika, tapi juga memfokuskan kajian pada makna dan hubungannya dengan realitas sosial dan budaya.

 

Sastra Feminisme

Dalam pengertian yang paling luas, feminisme adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarjinalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial lainnya. Senada dengan definisi tersebut, The New Encyclopedia of Britannica memaknai feminisme sebagai  ‘the belief, largely originating in the West, in the social, economic, and political equality of the sexes, represented worldwide by various institutions committed to activity on behalf of women’s rights and interests. Jadi, ‘Feminism’ adalah keyakinan yang berasal dari Barat, berkaitan dengan kesetaraan sosial, ekonomi dan politik antara laki-laki dan perempuan, yang tersebar ke seluruh dunia lewat berbagai lembaga yang bergerak atas nama hak-hak dan kepentingan perempuan. Di sini juga dijelaskan bahwa Dari sana akan bisa diketahui bahwa term ‘feminism’ berkaitan erat dengan women’s movement dan gender identity.[v]

Dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu dalam sastra, feminisme dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi. Emansipasi wanita dengan demikian merupakan salah satu aspek dalam kaitannya dengan persamaan hak. Dalam ilmu sosial kontemporer lebih dikenal sebagai gerakan kesetaraan jender.[vi]

Dalam buku Glosarium Seks dan Gender, yang dimaksud kesetaraan jender (gender equality) ialah (1) kesetaraan kesempatan dan hasil untuk perempuan dan laki-laki, termasuk penghapusan diskriminasi dan ketidaksetaraan struktural dalam mengakses sumber daya, kesempatan, dan jasa-jasa, (2) Kesamaan perolehan kesempatan dan hasil untuk perempuan dan laki-laki, termasuk penghapusan diskriminasi dan ketidaksetaraan struktural dalam mengakses sumber daya, kesempatan, dan jasa-jasa, seperti akses yang sama untuk kesehatan, pendidikan, sumber daya produktif, partisipasi sosial, dan ekonomi.[vii]

Sebagai gerakan modern, feminisme lahir awal abad ke-20, yang dipelopori oleh Virginia Woolf[viii] dalam bukunya yang berjudul A Room of One’s Own (1929).[ix] Terdapatnya komentar miring dari kaum lelaki terhadap buku tersebut semakin menguatkan kesimpulan bahwa perempuan adalah sebuah produk dari budaya yang mementingkan nilai-nilai lelaki dan tentunya sastra ikut membentuk dan merespon nilai-nilai patriarki melalui representasi perempuan untuk kepentingan budaya laki-laki dan mengesampingkan pengalaman perempuan. Virginia Woolf telah mengilhami para feminis agar menggunakan sastra sebagai medium perlawanan terhadap budaya patriarki, sehingga terbukalah kran bagi sastra bergenre feminisme.

 Perkembangannya yang sangat pesat, yaitu sebagai salah satu aspek teori kebudayaan kontemporer, terjadi tahun 1960-an. Model analisisnya sangat beragam, sangat kontekstual, berkaitan dengan aspek-aspek sosial, politik, dan ekonomi. Dalam ranah sastra, genre feminis muncul sebagai reaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkan karya dari struktur sosial, seperti Kritik Baru dan Strukturalisme.[x] Feminisme sebagai bagian dari Poststrukturalisme memiliki beberapa ciri khas, salah satunya adalah ketidakmantapan teks. Makna karya ditentukan oleh apa yang dilakukan oleh teks[xi], bukan apa yang dimaksudkan, sehingga terjadi pergeseran dari estetika produksi ke estetika konsumsi, penerima menjadi pencipta. Makna teks tergantung pada konteks, interaksi pada pembaca, teks bersifat terbuka sebab secara terus-menerus berinteraksi ke luar dirinya.[xii] Genre ini kemudian dipilih oleh Abidah Al-Khalieqy dalam novel Perempuan Berkalung Sorban untuk menjadikan perempuan sebagai ‘subjek’ (pencipta), bukan sekadar penerima. Namun dalam konteks ini, konsep perempuan menjadi ‘pencipta’  menimbulkan masalah krusial saat mengalami perbenturan yang hebat dengan Islam sebagai sebuah peradaban dan jalan hidup. Islam memiliki worldview tersendiri dalam memandang hidup dan kehidupan. Islamic Worldview ini akan menentukan cara berpikir dan bertindak seseorang ketika menjumpai realitas.

Melalui tokoh Annisa, Abidah berusaha melakukan pemberontakan terhadap ayat-ayat atau hadits-hadits yang dianggap misoginis atau membenci perempuan. Pemilihan karakter tokoh utama yang memiliki kepribadian kuat, cerdas, serta kritis, ditambah anak seorang kyai, dianggap mampu mewakili perjuangan seorang muslimah dalam menegakkan emansipasi pemikiran dan keberaniannya untuk melawan dominasi dan diskriminasi tokoh-tokoh antagonis yang bersifat patriarkis. Namun, berhasilkah Abidah melakukannya, atau justru Abidah terjebak dalam kerancuan yang dibuatnya sendiri?

 

 


[i] Pada tahun 2008, beredar edisi revisi  novel Perempuan Berkalung Sorban yang dicetak ulang selama dua kali. Namun pada tahun 2009, novel ini berhasil melejit angka cetak ulangnya menjadi empat kali. Hal ini dikarenakan masyarakat penasaran dengan novelnya, setelah terpengaruh filmnya yang menuai kontroversi. Sumber : http://id.news.yahoo.com/antr/20090301/ten-novel-perempuan-berkalung-sorban-pal-723204b.html

[ii]Abidah Al-Khalieqy, Perempuan Berkalung Sorban, dalam bab Sedikit Latar Belakang, Sederet Terima Kasih Tak Terhingga, (Yogyakarta, Arti Bumi Intaran, 2001), hal.319.

[iii] Dalam tujuan, visi, serta misi Fatayat, dinyatakan secara jelas dan tegas, bahwa Fatayat memperjuangkan terwujudnya masyarakat yang berkeadilan jender dengan membangun kesadaran kritis perempuan. Selengkapnya lihat di www.fatayat.or.id. Salah satu tokoh perempuan penuh kontroversi yang masuk dalam jajaran pembina adalah Siti Musdah Mulia.

[iv] Majalah Al-Mujtama’ Edisi 11 Th.I/9 Rabi’ul Awwal 1430 H/5 Maret 2009, hal. 16.

[v] The New Encyclopedia of Britannica, (Chicago : Encyclopedia Brittanica Inc., 15th edition), hal 723.

 [vi] Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra-Dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hal. 184.

 vii] Sugihastuti dan Siti Hariti Sastriyani, Glosarium Seks dan Gender, (Yogyakarta, CarasvatiBooks, 2007), hal. 116-117.

[viii] Virgina Woolf (1882-1941), adalah seorang penulis Inggris terkenal dan pemikir yang kritis terhadap politik dan kehidupan sosial masyarakat Eropa. Woolf mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri, saat bergulat untuk menyelesaikan novelnya yang terakhir, Mrs. Daloway. Dalam setiap karyanya, Woolf selalu melontarkan pertanyaan : Apakah itu definisi menjadi perempuan? Bagaimana sebenarnya makna kesenangan-kesenangan sederhana dalam hidup? Dapatkah momen-momen luar biasa menjadi penawar penantian panjang yang membosankan dan menakutkan sepanjang ribuan jam penantian menjelang ajal dan kematian?  Sumber : http://72.14.235.132/search?q=cache:ShkCP3U6C9kJ:wap.korantempo.com/view_details.php%3Fidedisi%3D2561%26idcategory%3D98%26idkoran%3D102357

%26y%3D2007%26m%3D5%26d%3D27+virginia+woolf%2Bucu+agustin&cd=1&hl=en&ct=clnk, diakses 13 Maret 2009.

[ix] A Room of One’s Own adalah novel yang bercerita tentang apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh perempuan. Isi novel ini tidak dipandang penting oleh kritikus sastra saat itu. Bagi para kritikus sastra saat itu (yang kebetulan berjenis kelamin laki-laki), novel-novel bertema perang dianggap lebih penting daripada yang bertema pikiran dna perasaan perempuan. Berbeda sekali dengan penghargaan yang diberikan kepada para sastrawan perempuan pada masa Rasulullah SAW. Adalah Khansa ra, seorang sahabiyah yang sangat terkenal sebagai seorang penyair. Ibnu Atsir ra berkata bahwa telah menjadi kesepakatan ulama bahwa Khansa ra merupakan perempuan penyair terbaik, tak seorang pun yang dapat mengungguli keindahan syairnya, baik pada masa sebelumnya maupun masa sesudahnya. Bisa Anda bayangkan, para ulama yang sebagian besar laki-laki, mengakui reputasi seorang perempuan dalam bidang sastra. Jadi tidak benar tuduhan bias jender yang dilontarkan oleh para feminis terhadap para ulama, hanya karena mereka laki-laki, lantas mereka membuat karya yang memarjinalkan perempuan dan tidak mengakui prestasi perempuan.

[x] Ibid., hal.184-185.

[xi] Peneliti mengartikan kalimat ‘apa yang dilakukan teks’ sebagai ‘realitas yang selalu mengikuti alur sejarah’, yang kemudian menjadi pijakan para pengusung liberalisme untuk membuat aturan serta kaidah dalam memahami teks, termasuk teks-teks keagamaan.

[xii] Prof.Dr.Nyoman Kutha Ratna, S.U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra-Dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hal. 161.

 

Last modified: 07/04/2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *