Kritik Terhadap Kenabian Adonis

Written by | Pemikiran Islam

Akhir-akhir ini, permasalah Ahmadiyah kembali mencuat. Yang terbaru kerusuhan di Cikeusik, Banten, walau sarat kejanggalan[4]. Selain itu, kurang tegasnya pemerintah untuk menentukan nasib keabasahan aliran mereka juga menjadi salah satu penyebab mudahnya munculnya konflik-konflik yang baru. Meskipun SKB tiga mentri telah di terbitkan, akan tetapi kurang efektif. Sebab, sanksi terhadap pelanggarannya tidak diberikan[5]. Dilain pihak, aliran-aliran bernuansa agama juga bermunculan. Dilanjutkan dengan sikap mereka yang selalu bersikeras dan berlindung dibalik undang-undang HAM. Kemudian, aliran-aliran memaksakan haknya sebagai kelompok minoritas yang minta dilindungi. Singakatnya, kelompok minoritas seperti ini layaknya api dalam sekam.

Meskipun demikian, Ali Ahmad Said Asbar sebagai pemikir kontemporer dari Suriah ini, atau yang lebih dikenal dengan Adonis menyatakan bahwa itu suatu hal yang wajar dan kelaziman[6]. Sebab, pemilihan suatu kaum dengan kenabian adalah tindakan diskriminasi, yang mengharuskan orang lain tergantung pada kaum tersebut. Dengan ini, penulis ingin menerangakan tetang konsep kenabian yang diajukan oleh Adonis. Yang diawali dengan problem kenabian di era kontemporer dan fenomena nabi palsu. Selanjutnya, pembahasan mengenai kehidupan Adonis dan pemikirannya serta ide-idenya untuk menguatkan teori kenabiannya. Lalu dilanjutkan dengan konsep kenabian dalam Islam dan penolakkan terhadap tawaran kenabian Adonis. Yang terakhir ditutup dengan kesimpulan dan relevansinya terhadap agama dan apakah idenya dapat penguatkan kenabian Mirza Ghulam Ahmad dalam keyakinan Ahmadiyah beserta aliran-aliran yang bernuansa keagamaan atau sebaliknya?.

 

B.   Fenomena Nabi Palsu

Jika kita cermati, salah satu penyebab munculnya nabi-nabi palsu setelah Nabi Muhammad yang sah adalah karena adanya perbedaan penafsiran dalam memahami QS al Ahzab (33): 40. Yaitu pada istilah khatamun nabiyyin yang disandang oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagia orang mengasumsikannya sebagai “khatama syaiu au khatama ‘alaihi” (dia memberi cap, menyetempel, merekamkan, atau membubuhkan cap sebagai pengesah)[7]. Selain itu, makna yang lebih utama, lebih tinggi, paling sempurna dan lainnya[8]. Sehingga mereka meyakini adanya peluang untuk menjadi nabi selama memiliki tanda-tanda kenabian. Akhirnya, kesesatan menguasai mereka yang disebabkan oleh mainset salah.

Mirza Ghulam Ahmad (MGA), sang pendiri aliran Ahmadiyah menyatakan kenabiannya dengan menyitir hadits dan ayat, lalu menafsirkannya. Hadits yang diriwayatkan al Daruquthni nomor 1816 dalam bab Shalat Kusuf dan Khusuf , dimana gerhana tersebut adalah tanda dari kehadirannya. Hadist ini penuh kontroversi, bahkan palsu mauquf kepada Muhammad bin Ali karena banyaknya perawinya yang lemah[9]. Kemudian, al Quran juga digunakan mereka untuk menguatkan kenabian Mirza. Yaitu al Ahzab ayat 40, yang ditafsirkan semau mereka pada kalimat khotamun Nabiyyin. Dimana itu berarti hanya stempel, yang paling mulia, utama, dan lainya[10]. Begitu pula dalam al Shaf ayat 6, Nabi ‘Isa a.s,menginformasikan kepada  pengikutnya,  akan  datang seorang rasul bernama Ahmad sesudahnya nanti, ini bukan berarti nama Ahmad tersebut untuk Mirza Ghulam Ahmad, tetapi yang dimaksudkan adalah Nabi Muhammad. Ibn ‘Abbas, yang lebih mengerti mengenai maksud ayat: “…dan (Isa) memberi kabar gembira akan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, bernama Ahmad…” Dalam kaitan ini Ibn ‘Abbas dalam kitab tafsirnya, tidak menjelaskan adanya nama lain selain nama rasulullah Muhammad. Rupanya paham kenabian Ahmadiyah ini bermula dan doktrin kewahyuannya[11]. Mungkinkah orang akan mempersoalkan apakah paham kenabian diatas, sebagai yang dilontarkan  oleh Mirza Ghulam Ahmad dapatkah paham itu dikategorikan sebagai pembaharuan dalam Islam? Atau justru sebaliknya yaitu sebagai bid’ah ‘aqidah?. Singkatnya, penggunaan al Quran maupun hadits untuk memperkuat keyakinan kurang tepat.

Tadzkirah adalah kitab suci Ahmadiyah turut menyumbang bukti kenabian Mirza Ghulam Ahmad dan kebenaran ajarannya. Mirza Ghulam Ahmad mengaku sederajat dengan ke-Esa-an Allah: “Wahai Ahmad-Ku, Engkau adalah tujuan-Ku, kedudukan-Mu di sisi-Ku sederajat dengan ke-Maha-Esaan-Ku, Engkau terhormat pada pandangan-Ku”[12]. Lalu, berdasarkan firman Tuhan yang diterima oleh “nabi” dan “rasul” ahmadiyah yang terdapat dalam kitab suci Tadzkirah yang berbunyi, artinya. “dialah Tuhan yang mengutus rasulnya”Mirza Ghulam Ahmad” dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar dia memenangkan atas segala agama-agama semuanya”[13]. Kemudian, Ahmadiyah mengklaim Tadzkirah sebagai kitab suci yang paling benar: “Sesungghuhnya kami telah menurunkan kitab suci Tadzkirah ini dekat dengan Qadhian (India). Dan dengan kebenaran kami menurunkannya dan dengan kebenaran dia turun”[14].  Selain itu, Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Rasulullah: “Dan katakanlah, Hai manusia sesungguhnya saya rasul Allah kepada kamu sekalian”[15]. Dalil-dalil diatas membuktikan kebenaran klaimnya, meskipun disanksikan keabsahannya.

Demam nabi palsu juga berdampak di Indonesia. Ada yang hasil dari kearifan lokal dan ajaran Islam, serta ada juga mencampuradukan dengan berbagai ajaran agama. Lia Eden sang pendiri Kerajaan Surga, memproklamirkan dirinya sebagai nabi di Jakarta[16]. Ahmad Moshaddeq asal Jakarta, pendiri al Qiyadah al Islamiyah ini mengklaim bahwa dia membawa ajaran dan seorang utusan menggantikan posisi Nabi Muhammad SAW. Sejak 23 Juli 2006 setelah bertapa selama 40 hari 40 malam mengaku mendapat wahyu dari Allah[17]. Tahun 2007, muncul Sakti A. Sihite yang menyatakan dirinya sebagai rasul, lalu rajin mempropagandakan[18]. Ali Taetang, berasal dari Banggai, Sulawesi Tengah pada tahun 1956 mendirikan aliran Imamullah. Dan diteruskan oleh Zikrullah yang mengaku telah diangkat Allah menjadi nabi meneruskan ayahnya Ali Taetang[19]. Selain dari nabi-nabi palsu yang tersebut di atas, masih ada beberapa yang mengaku dirinya sebagai utusan Tuhan. Singkatnya, batas teritorial tidak menghalangi pengangkatan diri pribadi sebagai nabi.

Dari bukti-bukti di atas, diasumsikan bahwa kenabian yang berbasis keyakinan tidak selesai setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Ditambah lagi, faktor pemikiran yang terus berkembang tidak stagnan. Kerancuhan pola pikir juga ikut andil dalam penyelewengan dari pemahaman yang benar. Selain itu, kurangnya pemahaman terhadap ajaran-ajaran al ma’tsur menyebabkan masyarakat mengamini fenomena ini. Di lain pihak, faktor psikologis memiliki ruang dalam diri manusianya. Kemudian, pangaruh dari lingkungan yang mengitarinya juga bisa menjadi penyebab. Jadi, banyak faktor yang melatarbelakangi perubahan pola piker indivu manusia, baik internal maupun eksternal.

Dari fenomena di atas, Ahmadiyah paling banyak mendapat sorotan. Majelis Rabithah ‘Alam Islami melalui surat edaran bertanggal 14-18 Rabiul Awwal 1394 Hijriyah, telah memberi himbauan kepada negara-negara Islam dunia akan kesesatan dan bahayanya[20]. Keputusan Majelis Ulama Indonesia, dalam musyawarah nasional ke dua jug telah mentapkan bahwa Ahmadiyah adalah ajaran yang sesat[21]. Kemudian, Malaysia berdasarkan Keputusan Raja-raja dan musyawarahnya yang ke 101 diadakan pada tanggal 18 Juni 1975, menyetujui pendapat Jawatan Kuasa Fatwa Majelis Kebangsaan bahwa Ahmadiyah telah keluar dari Islam dan tidak boleh menyatakan sebagai orang Islam, serta tidak boleh dikembumikan di pemakaman muslim[22]. Selain itu, Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani tiga mentri negara turut mempersempit ruang gerak kegiatan Ahmadiyah. Dipihak lain, pemerintah provinsi dan daerah juga berlomba-lomba melarang aliran ini, seperti Jawa Timur[23], Jawa Barat[24], dan kota Bogor[25]. Jadi, permasalahan aliran ini kerap memicu polemik sehingga larangan terhadap aktivitasnya berkelanjutan.

Kemudian aliran-aliran lain juga disesatkan MUI. Al Qiyadah al Islamiyah garapan Ahmad Moshaddeq dilarangan Majelis Ulama Indonesia. Melalui fatwa nomor 04 tahun 2007, dan ditetapkan di Jakarta tanggal 21 Ramadhan 1428/ 03 Oktober 2007. Hal itu dikarenakan, ajarannya meyakini syahadat baru, yang berbunyi: “Asyhadu alla ilaha illa Allah wa asyhadu anna masih al Mau’ud Rasul Allah”. Lalu, adanya nabi/rasul baru sesudah Nabi Muhammad SAW, dan belum mewajibkan shalat, puasa dan haji. Selanjutnya, Salamullah karya Lia Eden dengan pengakuannya sebagai Imam Mahdi dan ia didampingi malaikat Jibril dilarang oleh MUI melalui fatwa tertanggal 22 Desember 1997 di Jakarta. Sedangkan Sakti A. Sihite dengan Inkar Sunnah-nya, jauh-jauh hari telah mendapat larangan MUI dalam keputusan tanggal 16 Ramadhan 1403/ 27 Juni 1994. Karena tidak menganggap sunnah sebagai dasar dan sumber hukum[26]. Aliran Imamullah besutan Ali Taetang dan putranya Zikrullah, menjadi terlarang. Sebab, dia mengangkat dirinya sebagai nabi serta ajarnanya menyimpang dari ushuluddin. Artinya, aliran-aliran senada juga menjadi terlarang melalui fatwa-fatwa MUI yang telah ditetapkan.

 

C.   Adonis dan Pemikirannya

1.   Kehidupan Adonis

Ali Ahmad Said Asbar, atau yang lebih dikenal dengan Adonis. Ia lahir di Syiria tahun 1930. Ayahnya merupakan guru agama berlatar belakang Syi’ah[27] dan ia belajar agama dari ayahnya. Adonis merupakan pemikir kontemporer yang memiliki ide dan proyek yaitu “Al Tsabit wa al Mutahawwil” atau “Yang Mapan (Statis) dan Yang Berubah (Dinamis)”. Proyek ini, merupakan cara pandang Adonis terhadap tradisi Arab-Islam. Nama Adonis bukanlah nama asli. Nama ini diberikan oleh Anton Sa’adah, pendiri dan ketua partai Nasionalis Syiria tahun 1940-an. Partai itu bertujuan menyatukan “Bulan Sabit dan Bintang”, maksudnya mempersatukan Syiria, Irak, dan Libanon sebagai bulan sabit, dan Siprus sebagai bintangnya[28]. Persatuan ini berdasarkan pada persatuan budaya Negara-negara tersebut dimasa lalu, yaitu kesatuan yang berdasarkan pada peradaban Pheonik kuno. Dengan ini, ia ingin menyatukan dalam Syiria Raya. Dan untuk mencapai tujuan tersebut, Anton Sa’adah membentuk lembaga sastra dan seni untuk menyerukan tujuan dan mewujudkan impian partainya. Disinilah Ali Ahmad Said bergabung dan mendapat nama Adonis dari Anton Sa’adah[29].

Pada dasarnya nama ini adalah salah satu nama dewa dalam legenda Babilonia  kuno. Dewa muda ini dicintai Aphrodite, sang dewi cinta, merupakan symbol dari kebaikan dan keindahan. Dengan pemberian nama tersebut kepada Ali Ahmad Said, Anton Sa’adah yang ingin menghidupkan kembali masa lalu Negara-negara tersebut. Ia meyakni bahwa masa lalu tersebut merupakan bagian dari proyek Syiria Raya atau Bulan Sabit dan Bintang[30]. Menurut pengakuannya nama ini telah ia pakai ketika ia berumur dua belas tahun, sejak itu juga dia telah menulis puisi[31].

Masa muda Adonis bertepatan dengan masa-masa pergolakan, demam revolusi, perjuangan melawan kolonialisme, dan masa pencarian modernisasi disegala aspek dalam dunia Arab. Kehadiran Khalil Gibran memiliki kontribusi yang sangat signifikan dalam membangkitkan semangat baru, bahasa puisi yang lebih segar, dan imajinasi baru serta strukturnya. Masa-masa pertumbuhan Adonis sangat dipenuhi hal-hal baru, yaitu ia mulai membaca dengan baik puisi-puisi Eropa. Sebelumnya juga ia telah mempelajari puisi tradisional oleh ayahnya, orang yang sholeh dalam menjalani hidupnya sesuai dengan kultur agama Islam.

Dimasa pencarian ini, ia memiliki gairah yang kuat untuk perubahan, apa lagi pergolakan politik (secara umum setelah perjuangan rakyat Palestina pasca berdirinya Israel tahun 1984), dimana puisi modern mulai dieksplor dengan memberontak dari system dan irama syair yang selama ini didominasi oleh puisi Arab sejak dahulu. Dimana ia menyingkap rahasia keseimbangan kreasi antara peraturan sosial-politik yang menjadikan puisi menjadi halus, lebih menarik dan sesuai etestika, serta tidak tekstual. Maka, puisi Adonis menjadi lebih kaya, lebih dramatis, kaya makna, lebih komplek, dan lebih ilmiah, khususnya pada lavel bahasa dan struktur kalimat. Hampir sebagian besar karyanya bernuansa puisi. Namun karya fenomenal adalah al Tsabit wa al Mutahawwil: Bahts fi al Ibda wa al Ibtida ‘inda al Arab, awalnya adalah disertasi Adonis di Lebanon, kemudian dibukukan. Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam”. Dalam pembahasannya, Adonis banyak terinspirasi oleh dealektika Hegel[32].

 

2.     Konsep Kenabian Adonis

Kenabian merupakan masalah yang mendasar dalam suatu agama. Melalui nabi manusia diperingatkan, melalui wasilahnya pesan-pesan Allah disampaikan, melaluinya syari’at ditegakan, dengannya juga bukti kebesaran-Nya ditujukan, dan dengan perantarannya kitab-Nya diajarkan kepada hamba-Nya. Bila kenabian disanksikan runtuhlah semua yang dibawanya. Jika ada sesuatu yang lebih sempurna dari kenabian, lantas apa gunanya syari’at yang selama ini dianut dan diyakini telah sempurna sejak empat belas abad yang lalu oleh kaum muslim. Oleh sebab itu, kesakralan Muhammad sebagai yang terkhir harus dipertahankan.

Adonis dalam memandang kenabian dalam Islam sangat tidak relevan dengan sifat Allah yang Maha Adil dan Bijaksana. Allah telah memberikan akal pada manusia sejak ia ditugaskan sebagai khalifah. Oleh sebab itu, adalah suatu kesalahan yang bila menurunkan nabi ditengah-tengah manusia. Itu dikarenakan sebuah tindakan diskriminatif terhadap kaum yang lain. Adonis menguatkan argumnnya itu dengan pendapat Ibn al Rawandi[33], Jabir bin Hayyan[34], dan Muhammad bin Zakariyya al Razi[35]. Pertama, Adonis menggunakan  argument Ibn al Rawandi[36], meskipun ini perpanjangan dari pendapat dari sikap kelompok Barahima[37] terhadap kenabian.

Alasan Adonis yang diajukan mengenai penolakkannya terhadap kenabian diantaranya sebagai berikut. Pertama, yang dibawa oleh para rasul adalah tidak terlepas dari dua hal, rasional dan irasional. Jika yang dibawa para rasul itu rasional, maka cukup menggunakan akal yang sempurna ini guna menangkap dan mencapai rasional itu. Sementara jika irasional, maka itu tidak dapat diterima. Kedua, akal menunjukan bahwa Allah adalah bijak. Yang bijak tidak akan disembah oleh makhluk kecuali melalui sesuatu yang ditunjukan oleh akal mereka. Bukti-bukti rasional menunjukan bahwa alam memiliki Pencipta yang Mahakuasa dan bijaksana. Dia memberikan kepada manusia nikmat-nikmat yang harus kita syukuri. Kita pun kemudian dapat merenungkan tanda-tanda penciptaan-Nya melalui akal. Ketiga, dengan akal, makhluk bisa menagkap sesuatu yang jelek dan irasonal. Keempat, dosa besar dalam kenabian adalah mengikuti orang yang sama dengan kita dalam bentuk, jiwa, dan akalnya. Ini menujukan bahwa kita seperti benda mati yang diperlakukan seenaknya, diangkat dan direndahkan, atau bagai budak.

Argumen selanjutnya Adonis mengangkat teori kimia murni racikan Jabir bin Hayyan[38]. Yang kemudian diasusmsikan oleh Adonis yaitu jika menemukan dalam proses pembentuknya satu jalan (dari luar jalan sendiri) maka ia tidak memerlukan dari jalan kedua. Kemudian, besarnya kemungkinan yang terjadi dalam fenomena alam ini, tidak mengaharuskan kita untuk mempercayai apa yang terjadi dihadapan kita. Hukum inilah yang dijadikan landasan Adonis untuk menganulir kenabian.

Landasan ketiga Adonis dalam penolakannya terhadap kenabian adalah dari dua sisi[39]. Pertama rasional, premisnya adalah bahwa akal merupakan sumber pengetahuan. Oleh kerena itu, ia harus diikuti, bukan mengikuti. Seperti yang diungkapjan al Razi mengatakan “ Sang Pencipta Yang Mahamulia memberi dan menganugrahkan kepada kita akal hanyalah kita mendapatkan dan sampai pada kebahagian dunia dan akhirat…dengannya kita dapat menangkap apa yang berguna bagi kita…”[40]. Yang kedua, dari sisi historis. Yaitu, penetapkan kenabian pada suatu kelompok manusia tertentu saja sementara yang lain tidak, memberikan mereka kelebihan atas manusia lainnya, menjadikan manusia membutuhkan mereka. Akhirnya, hal ini mempertajam permusuhan di antara mereka, dan banyak manusia yang mati. Ini merupakan tindakan diskriminasi.

Pada dasarnya apa-apa yang diperintahkan agama (Islam) kepada pengikutnya untuk hamba-Nya yang berakal. Bila ditelisik, hampir kewajiban agama diwajibkan bagi yang sudah aqil dan baligh. Kedua hal tersebut menjadi syarat mutlak terkabulnya amalan seorang hamba. Sebab, meskipun ia berakal, akan tetapi dia dalam keadaan tidur, ia tidak berkewajiban dan terbebas dari dosa[41]. Selain itu, Ibnu Rusyd dalam Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid membagi syariat Islam menjadi dua, yaitu ibadah yang bisa diterka melalui akal dan ibadah yang akal tidak sampai untuk memahaminya[42]. Seperti, shalat, sa’i, melempar batu (jumrah), ihram, talbiyah serta seluruh gerakan-gerakan di dalamnya, akal fikiran manusia tidak bisa mencapai maksud dari gerakan-gerakan tersebut. Ini bukan berarti itu irasional, akan tetapi itu disebabkan oleh ketidakmampuan akal mencapainya. Kemudian, ajaran agama yang akal manusia tidak sampai mencapainya, lantas ditolak atau ditinggalkan, tetapi sebagai muslim kita tetap mengerjakannya secara ta’abuddi. Artinya, syari’at yang tidak bisa dicapai akal irasional dan ditolak. Bila demikian, ajaran agama tidak utuh lagi dan tidak seimbang. Maka, apa-apa yang dibawa rasul dibagi menjadi dua, rasional dan supra-rasional.

Syariah ataupun hukum adalah mengikat ataupun memaksa. Ketika seorang hamba mengakui keimanan adanya Allah Yang Maha Esa dan Dia-lah satu-satunya Tuhan yang paling berhak untuk disembah, serta kesaksian bahwa Muhammad bin Abdullah adalah seorang utusan yang membawa syari’ah dari Allah SWT. Selain itu, meyakini kesempurnaan ajarannya dan bahwa ia rasul terakhir. Maka, secara tidak langsung seorang muslim telah menyatakan kesediaan dan kesiapan untuk menjalankan semua yang diajarkan tanpa terkecuali (kaffah)[43]. Sama halnya, ketika seorang hendak menjadi warga negara, maka, ia menyatakan kesiapannya dan kesedianya mengikuti semua aturan serta undang-undang yang berlaku. Dilain pihak, peratusan yang telah ditetapkan bersifat memaksa. Artinya bila melanggar akan terkena sanksi. Misalnya pelanggaran terhadap tata tertib lalu lintas, maka si pelanggar akan ditilang. Singkatnya, aturan yang ada diberlakukan untuk mengatur dan harus ditaati.

Nabi Muhammad SAW adalah seorang utusan pembawa risalah yang mewajibkan umatnya mengikutinya. Sebab, nabi diutus untuk menyempuranakan akhlak umat manusia[44]. Oleh karena itu, Allah menjadikan Muhammad sebagai contoh yang nyata untuk dicontoh atau suri tauladan[45]. Selanjutnya, pengertian dari sunnah atau hadits adalah apa-apa yang bersumber dari nabi, baik dari perkataannya, tingkahlaku, dan ketetapan. Sunnah ataupun hadits adalah sumber kedua setelah al Quran dalam Islam, dan keduanya harus diikuti. Ini artinya, umat muslim berkewajiaban untuk mengikuti Muhammad dalam bentuk, jiwa, dan akalnya. Dilain pikah, Muhammad sebagai nabi yang ma’shum, ia sangat pantas untuk diidolakan dalam berbagai hal dan aspek kehidupan. Ironisnya, banyak masyarakat saat ini mengidolakan public figure, baik dari kalangan artis, selebritis, olahragawan dan lainnya, namun mereka mengebaikan latar belakang kehidupannya dan tingkah lakunya. Bahkan, dibeberapa kusus, para public figure sering berurusan dengan hukum atau melecahkan nilai-nilai agama serta adat. Jadi, meneladani Muhammad SAW adalah suatu keniscayaan.

Sedangkan teori yang diambil Adonis dari Jabir bin Hayyan adalah murni sains. Seperti yang diungkap diawal bahwa perbedaan mendasar antara ahli kimia Yunani dan Jabir bin Hayyan adalah kesimpulan dari hasil observasi kimia yang dikaitkan ke ranah spiritual. Ahli kimia Yunani lebih sering menarik ke dalam tataran spiritual, sedangkan Jabir bin Hayyan tidak. Selain itu, konsep Jabir bin Hayyan merupakan murni teori kimia yang ditarik oleh Adonis ke dalam filsafat dan agama. Hal ini mengingatkan kita pada pergeseran paradigma dari Barat klasik yang menyatakan bahwa bumi adalah pusat perputaran tata surya ke teori Copernicus yang beranggapan bahwa matahari-lah pusat tata surya[46]. Pada awalnya, teori ini hanyalah murni sains, akan tetapi ditarik ke ranah filsafat sebagai pijakan pergeseran paradigma. Jadi, teori Jabir bin Hayyan merupakan murni sains, tidak tepat bila dimasukan ke dalam agama.

Dari agrumen-argumen penolakan tetang kenabian yang diajukan Adonis, dapat disimpulkan bahwa akal adalah sumber satu-satunya pengetahuan, sebab ia anugrah tertinggi Tuhan kepada manusia. Kemudian, pemilihan suatu kaum terhadap kaum yang lain melalui kenabian merupakan tidakan diskriminasi yang menyebabkan pertumpahan darah. Lalu, ajaran yang dibawa oleh nabi tidak lebih dari dua hal, rasional dan irasional. Yang rasional cukup dengan akal, dan irasional ditolak. Selanjutnya, besarnya suatu kemungkinan terhadap suatu fenomena, ini tidak mengharuskan kita untuk mempercayai kebenaran kejadian tersebut. Sebab, kemungkinan besar ada kebenaran juga di luar klim mayoritas. Selain itu, Adonis melihat agama dari kacamata manusia, bukan dari apa yang Tuhan kehendaki. Yang terakhir, al Quran sebagai wahyu tidak lebih hanyalah berisi mitologi dan khurafat serta tidak mendatangkan manfaat apa pun. Singkatnya, kenabian merupakan tidakan yang salah.

 

D.    Konsep Kenabian dalam Islam

            Bila kita menelaah makna kata nubuwwah, maka kita akan dapati beberapa arti yang bertolak belakang dengan definisi kenabian menurut Adonis, dimana ia beranggapan bahwa nabi bukanlah orang yang layak untuk diikuti, dan sebuah kesalahan bila kita selaku manusai yang sama meniru jiwa dan tingkahlakunya. Diantara maknanya dalam pengertian Islam adalah, al rif’ah dan al syarof atau keagungan dan kemulian, artinya ketika seorang dipilih menjadi nabi maka ia menjadi terhormat baik dimata manusia dan dihadapan Allah. Selain itu, kaum yang menjadi asal nabi merupakan kaum yang terhormat dan terpandang. Sedangkan, makna al irtifa’ dan al ‘uluwu atau yang tinggi dan luhur[47], diasumsikan bahwa seorang nabi merupakan orang yang mulia dan berbudi luhur, atau memiliki kepribadian yang diatas manusia umumnya. Dengan ini, para nabi harus mempunyai sifat-sifat wajib[48]. Selanjutnya, ia juga berarti al mulhim, yang mendapat ilham dan mengabarkan perkara-perkara ghaib yang terjadi pada masa yang akan datang[49].Hal ini menunjukan kenabian adalah special, sebab Allah yang memilih dan menentukannya. Dipihak lain, suatu kewajaran bila selaku manusia yang banyak kesalahan dan kekurangan kita mengikuti seseorang yang amat special dan sempurna dari berbagai sisi. Jadi, nabi bukanlah manusia biasa yang tidak pantas untuk diikuti.

Ada tiga hal yang mendasari kebutuhan manusia kepada nabi. Sebab-sebab tersebut pada dasarnya adalah tujuan utama kerasulan (risalah) itu sendiri. Tiga pokok yang tidak bisa diketahui kecuali dengan pengetahuan indrawi dan akal, dan mereka pun tidak tunduk kecuali dengan perintah Tuhan yang menciptakannya. Pertama[50], iman kepada yang ghaib. Pokok keimana ini adalah tauhidullah, mengesakan Allah dan sifat-sifat-Nya, dan ayat-ayat-Nya yang menunjukan akan kesempurnaan serta kesucian-Nya. Juga, meng-esakan-Nya dalam ibadah, syukur, dzikir, artinya hanya suatu kewajiban yang merupakan sebab yang paling tinggi. Adalah suatu fitrah manusia untuk ber-Tuhan dan mengesakannya[51]. Seberapapun kekuatan untuk meninggalkan dan mengabaikan terhadap yang ghaib, sesungguhnya ia sangat tergantung dengannya. Para penganut paham matrelisme yang mengagungkan akal, menolak segala sesuatu yang tidak tampak dan tak ter-pancaindrakan. Namun, pada hakekatnya penolakan ini juga tidak masuk akal. Selain itu, masyarakat Barat-modern mendasari segala tidakannya dengan akal, bahkan menuhankannya. Akan tetapi, mereka masih banyak yang mempercayai paranormal, dukun, bahkan hewan peramal. Dimana itu semunya sangat bertolak belakang dengan rasio sehat manusia. Dipihak lain, kita mengetahui jiwa, akal, dan lainnya, semuanya tidak bisa ter-indra, namun keberadaannya kita yakini. Begitupula dengan kekuatan yang ada dibalik setiap benda dan kejadian di muka bumi ini.

Alasan kedua[52] adalah kepercayaan akan ba’ats, kebangkitan setelah kematian, hisab, perhitungan atau pertanggungjawaban, dan jaza, pembalasan atas iman dan segala amal perbuatan. Dan ketiga[53], melatakan dasar-dasar dan pokok-pokok bagi amal keagamaan atau ibadah, batas yang tidak memberi ruang bagi kecenderugan hawa nafsu, agar dia menjadi kalimah yang mempersatukan, jadi pencegah dari perpecahan dan jadi panutan dalam segala keadaan. Dari tiga hal diatas kebutuhan manusia atas kenabian, membuktikan bahwa nabi-nabi yang berlandaskan wahyu Ilahi tidak mungkin terjadi kontradiksi, seperti yang tudingan Adonis. Sedangkan, perbedaan ajaran dan klim seperti yang dimaksud Adonis, itu semua disebabkan faktor manusia yang berlebihan.

Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa tujuan hidup manusia bukanlah penerungan filosofis tetang Tuhan atau kasih Tuhan yang mistis, sebab itu merupakan doktrin tetang ke-Esaan Zat, melainkan konsep aktif ‘ibadah, atau suatu pengetahuan mengenai kehendak Tuhan dan implementasinya yang tidak kenal takut dalam kehidupan. Tuhan bukanlah suatu yang hanya dirasakan, atau dikagumi dan dipuja tetapi harus diakui sebagai Yang Esa. Pengakuan diri ini hanya bisa dilukisan dalam tauhid dan hanya itu yang mendorong sikap ‘ibadah[54].

Kemudian,wahyu merupakan kebijaksanaan dan kehandak Ilahi harus lahir dari Tuhan sendiri dan tidak boleh bergantung pada cara kerja alamiah dari fikiran manusia. Menurutnya kesalahan yang dilakukan para filsuf adalah mereka tidak berlaku adil pada keagungan sejati Tuhan dan wahyu-Nya. Mereka membenarkan bahwa pencipta wahyu adalah Akal aktif. Akan tetapi ketika mereka mengetahui wahyu-wahyu nabi, mereka ingin mendamaikan fenomena ini dengan doktrin-doktrin mereka[55].

Ibn Taimiyah membedakan wahyu dengan sihir, bahwa sihir tidak mungkin bergantung pada kekuatan jiwa ataupun wahyu kenabian. Ia bergantung pada roh-roh  jahat dan setan-setan. Sedangkan yang pertama pada Allah dan malaikat-malaikat. Para filsuf tidak menempatkan kenabian pada tempatnya, sehingga mereka beranggapan bahwa orang-orang suci itu lebih baik disbanding para nabi[56]. Ini disebabkan mereka memiliki akses langsung ke sumber intelektual yang di situ malaikat yang mengilhami nabi hanyalah sebuah simbol yang diciptakan oleh kemampuan imajinatif. Menurut Ibn Taimiyah nabi adalah seorang yang diberi pesan oleh Allah. Nabi yang biasa adalah seorang pembaharu, dia membawa pesan kepada suatu kaum yang tidak menggugat kebenaran pesan itu semata-mata tidak dapat secara moral, berbuat sesuai dengan apa yang mereka akui sebagai kebenaran. Sedangkan fungsi nabi adalah memperbaiki mereka secara moral. Tetapi jika yang diperbaiki tidak bersedia menerima kebenaran, maka tugas nabi menjadi bersifat revolusioner[57].

Sedangkan, Ibn Hazm menerangkan bahwa kenabian memiliki dua aspek, yaitu kesadaran supranatural dan mu’jizat. Kenabian sebagai pengutusan Allah kepada sekelompok orang (pada umat manusia) yang Dia kehendaki dengan menganugrahkan keunggulan pada mereka, tanpa alasan apapun kecuali itu kehendak-Nya, dan pada mereka Dia telah menyampaikan pengetahuan tanpa perlu melalui tahab-tahab untuk mempelajari atau bersusah payah mencarinya[58]. Oleh sebab itu, kenabian adalah sebuah kemungkinan atau sunnatullah. Sebab, kemutlakkan Allah menyangkal esensi-esensi yang nyata atau kekuatan alam, serta kekuatan mu’jizat melampaui nalar sadar alam nyata. Selanjutnya, Ibn Hazm membedakan antara sihir dan mu’jizat. Sihir dilakukan atas doktrin bahwa seorang ahli sihir hanya dapat mengubah (atau berpura-pura dapat mengubah) sifat-sifat yang tidak hakiki dari benda-benda. Sedangkan Allah, dengan tangan para nabi tidak hanya merubah sifat-sifat mengubah sifat-sifat hakiki banda-benda, bahkan dapat melahirkan subtansi-subtansi baru[59]. Ilmu sihir bisa dipelajari setipa orang. Sedangkan kenabian dan mu’jizat merupakan karunia Ilahi. Keduanya, aktualitas mu’jizat-mu’jizat nabi dan penutupan kenabian dengan diutusnya nabi Muhammad SAW[60].

Selanjutnya al Ghozali, menurutnya kalbu memiliki dua pintu; pertama, pintu yang terbuka menuju kepada alam malakut (alam kerajaan), yakni lauh al mahfuzh dan alam malaikat, kedua, pintu yang terbuka menuju kelima saluran alat inderawi (panca indera) yang selalu bersentuhan dengan kerajaan dunia atau alam semesta. Pintu pertama merupakan jalan para wali, sedangkan pintu yang kedua merupakan jalan para ulama (cendekiawan)[61].

Bagi al Ghozali, para nabi dan para wali sama-sama memperoleh ilmu langsung dari Allah, bukan melalui belajar, penelitian dan penelaahan. Para wali tidak seperti para ulama yang mendapatkan ilmu dengan belajar dan meneliti. Para wali langsung mendapatkan ilmu dari Allah (ilmu laduni)[62]. Bahwa pengetahuan keduanya tidak didapatkan melalui upaya dan kerja keras, melainkan merupakan anugerah. Sebagaimana kenabian, pengetahuan wali tidak didapatkan melalui pembelajaran dan penelaahan. Pengetahuan atau ilmu para wali didapatkan langsung dari Allah melalui ilham.

Ilham berbeda dari wahyu. Perbedaannya bahwa penerima ilham tidak melihat malaikat yang memberikan ilmu, sementara dalam wahyu para nabi melihat Jibril ketika memberikan wahyu itu. Ini artinya, para wali dan orang-orang pilihan, bisa berhubungan dengan alam malakut dan alam malaikat (lauh al mahfuzh), namun tetap saja tidak bisa berinteraksi langsung dengan Jibril[63]. Karenanya, seorang yang bisa berhubungan dengan alam malakut dan alam malaikat, tidak mendapatkan wahyu, melainkan hanya mendapatkan ilham.

Jika demikian, perbedaan antara nabi dan wali tidaklah signifikan. Bukankah derajat seseorang, salah satunya ditentukan oleh ilmunya. Jika cara dan metode ilmu para wali dan para nabi tidaklah berbeda, maka derajatnya pun tidak berbeda. Al Ghozali menyatakan bahwa secara khusus para wali mendapatkan ilmu melalui riyadlah dan penyucian batin[64]. Dalam kenyataannya, al Ghozali meyakini bahwa para nabi berada dalam derajat yang paling tinggi. Sikap al Ghozali yang membedakan dengan sangat jelas antara nabi dan para wali terlihat dari pernyataannya; tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikat Allah kecuali Allah. Dan tidak ada yang mengetahui hekikat kenabian kecuali Allah dan nabi sendiri[65]. Kemudian, al Ghozali menegaskan bahwa kekuatan mata batin dan daya penyaksian (musyahadah) para sufi dan wali ada batasnya[66]. Dan orang yang paling tahu kemaslahatan semua hamba Allah, apalagi kemaslahatan akhirat, hanya Rasulullah.

Kenabian adalah anugerah[67] yang diberikan Allah kepada orang-orang pilihan. Kenabian tidak bisa dicapai dengan latihan-latihan (riyadloh) batin. kalau pun ada, paling hanya sebatas menjadi wali Allah. Dan wali Allah status dan kedudukannya di bawah kenabian. Mereka tidak mendapatkan wahyu setera para nabi. Para wali hanya mendapatkan ilham, bukanlah wahyu seperti yang diterima oleh para nabi.

Ibn Hazm, Imam al Ghozali dan Ibn Taimiyah sepakat kenabian adalah sunnatullah bila terjadi kerusakan pada hamba-Nya, diantaranya syirik dan kekafiran merajai kehidupan, kedzaliaman, kejahatan, orang-orang lemah tertindas serta kerusakan di laut dan bumi yang disebabkan oleh ulah tangan manusia[68]. Nabi diturunkan di tengah-tengah kaum yang dianggap paling terhormat, keadaannya paling baik diantara yang lain, meskipun mereka kaum musyrik. Akan tetapi dia terjaga dari semua perbuatan yang tercela dengan kehandak Allah. Oleh sebab itu, para nabi memiliki sifat-sifat yang mulia. Seperti nabi Muhammad sejak kecil ia mendapat gelar al Amin (yang dapat dipercaya). Kemudian, orang-orang disekelilingnya juga turut menjaga dari segala kerusakan dan bahaya. Pemilihan kaum ini dimaksudkan agar para musuh (kafir) mengetahui kemunculannya serta dia merupakan manuisa yang terhormat, sebab dari keturunan dan nasab yang terhormat pula[69]. Selain itu, apakah mungkin seorang nabi adalah pendusta? Sedangkan kita ketahui, sifat wajib nabi /rasul diantaranya jujur. Apakah nabi Muhammad telah berbohong selama beliau diangakat sabagai nabi dan rasul? Padahal, selama empat puluh tahun sebelum itu ia terkenal sebagai orang yang dapat dipercaya.

Selain itu, fungsi dari kenabian diantaranya menerangkan hal-hal yang tidak bisa terima oleh akal. Sebab, kemampuannya sangat terbatas[70]. Akal acap kali dipengeruhi oleh hawa nafsu. Bila nafsu menguasi akal, maka manusia sangat rendah dari semua makhluk. Sebaliknya, ia menjadi mulia. Namun tarik ulur keduanya sering dimenangkan oleh nafsu[71]. Kerusakan di muka bumi ini lebih banyak di sebabkan oleh ulah manusia[72] yang menuhankan akal mereka dan menuruti nafsu, tanpa memerhatikan akibat serta keseimbangan alam[73]. Disamping itu, segala sesautu yang dihasilkan oleh akal sangatlah relative dan serba kekurangan[74]. Oleh sebab itu, ilmu pengetahuan selalu berkembang. Perkembangannya ada yang bersifat dealektik serta represif. Itu tercermin dalam perkembangan ilmu filsafat. Antara al Kindi, Ibn Sina, al Ghozali, dan Ibn Rusyd[75]. Juga dalam perkembangan ilmu pada masa Daulah Bani Abasiyyah. Ibnu Qoyyim berasumsi bahwa tujuan akal adalah mengetahui yang global, maka untuk menerangkan perinciannya (baik dan buruk) kita membutuhkan syariat. Meskipun akal dapat membedakannya, akan tetapi ia tetap lemah. Sebab, ketika akal dikuasai keburukan, akal itu sendiri tidak bisa keluar dari penguasaan tersebut, itu dikerenakan kelabilan akal. Maka, agama hadir sebagai pemberi peringantan disegala kondisi[76]. Sebab, agama tidak mengenal situasi dan kondisi. Ibn Taimiyah menyatakan bahwa syariat adalah cahaya yang menerangi apa yang bermanfaat dan berbahya, dan syariat adalah cahaya Allah di bumi-Nya dan keadilan-Nya terhadap hamba-Nya, serta cara Dia menjaga mereka. Bagi yang mengikutinya maka akan aman[77]. Singkatnya, akal dan ilmu pengetahuan sangat terbatas bila dijadikan tolak ukur kebenaran.

Dari konsep-konsep kenabian yang diajukan oleh para ulama salaf, bisa diasumsikan bahwa kenabian menurut Islam adalah utusan dari manusia yang dipilih dan ditentukan Allah secara langsung. Ia tidak bisa diraih melalui seperti wali. Lalu, kaum yang terpilih melalui kenabian, juga bukan merupakan tindakan diskriminasi. Bukti kenabian adalah mu’jizat. Ajarannya berlandaskan wahyu disampaikan secara langsung oleh malaikat Jibril. Ia memiliki derajat yang lebih tinggi dari para wali dan orang suci sekalipun. Sedangkan, kenabian tersebut bukan kewajiban Allah, namun sunnatullah. Selain itu, al Quran merupakan mu’jizat terbesar nabi Muhammad. Fungsi dari agama ataupun wahyu adalah pemberi petunjuk manusia yang telah dianugrahi akal yang labil. Karena agama itu berasal dari Allah, maka ia juga harus dilihat dengan apa yang dikehendaki-Nya.

Nabi Muhammad merupakan Nabi yang terakhir (khatam al nabiyyin)[78] dan tidak ada nabi setelahnya. Ajarannya bersifat universal untuk semua manusia dan meyempurnakan syari’at nabi-nabi sebelumnya serta memiliki mu’jizat yang agung sepanjang zaman yaitu Al Qur’an yang kemurniannya dijaga oleh Allah SWT.

 

 

E.   Penutup

Dari pembahasan di atas, kita dapat mengasumsikan bahwa tema kenabian tidak habis diperdebatkan. Ditambah dengan fenomena munculnya nabi-nabi palsu. Pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW pemegang sah gelar khotamun al nabiyyin, bermunculan nabi-nabi palsu dengan berbagai klaim dan ajaran yang menyimpang. Baik di tanah asli kelahiran Islam, maupun di negara-negara lain, termasuk Indonesia. Hal ini dikarenakan pemahaman yang salah terhadap terma khotamun al nabiyyin yang disandang Nabi Muhammad SAW.

Sedangkan konsep yang diajukan Adonis tentang kenabian sangat bermasalah. Dari teori yang diambil dari Ibn Rawandi, Jabir bin Hayyan, dan al Razi, Adonis menyatakan bahwa kenabian adalah tindakan diskriminasi Tuhan. Sebab, Tuhan yang Maha Bijaksana telah menganugrahkan akal. Dengannya manusia bisa menentukan yang benar dan salah, dan tidak membutuhkan lagi jalan yang lain. Dari sini, kita bisa mengasumsikan bahwa Adonis melihat agama dari kacamata manusia, bukan agama yang apa yang dikehendaki Tuhan[79]. Selain itu, Adonis bisa dikategorikan sebagai atheis[80], meskipun ia sering menolaknya bila ditanya tetang itu. Dilain pihak, pandangan Adonis menganulir semua kenabian yang pernah ada, dan mengutaman akal adalah lemah.

Makalah ini hanya membahas sedikit dari pemikian Adonis. Masih banyak dari konsep yang ditawarkannya belum tersentuh oleh penulis. Selain itu, pembahasan yang singkat ini, sangat dimungkinkan banyaknya kekurangan. Oleh sebab itu, dengan kesadaran penuh penulis membuka pintu masukan dan saran dari berbagai pihak. Sebab, ini merupakan pembahasan permulaan dari pemikiran Adonis. Kebenaran tidak butuh pengakuan, apalagi butuh kesepakatan, tanpa pengakuan dan kesepakatan ia adalah tetap sebuah kebenaran.

Wallahu ‘alam bi showab…

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, jld. 1, 2, 3, dan 4, (Yogyakarta, LKiS, 2007)

Al Ghozali, Al Munqidz Min al Dlolal, (Iskandariyah, Dar al Andalus, 2003)

_______, Al Madnun al Kabir, (Kairo, Maktabah al Nahdloh al Mishriyah, 1309 H)

_______, Ma’arij al Quds, (Kairo, Maktabah al Nahdloh al Mishriyah,1927)

Al Shadri, Sayyid Mahdi, Ushul al ‘Aqidah fi al Nubuwwah, jld. 2, (Beirut, Dar al Zahro)

Amstrong, Karen, Sejarah Tuhan, cet-11, (Bandung, Mizan, 2007)

Armansyah, Jejak Nabi Palsu, (Jakarta, Hikmah, 2007)

Badawi, Abdurrahman, Min Tarikh al Ilhad fil Islam: Ibn al Rawandi. (Kairo, Maktabah al Nahdhah al Mishriyyah, 1945)

_______, Sejarah Ateis Islam-Penyelewengan, Penyimpangan, Kemapanan. (Yogyakarta, LKiS, 2003)

Detik.com.

Fathoni, Muslih, Drs. MA., Paham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Prespektif, cet- 2,  (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002)

Gatra, Dunia Baru Milik Cina, edisi 7 Pebruari 2011.

Hanafi, Hasan, Min al ‘Aqidah il al Tsaurah: al Nubuwwah-al Ma’ad, (Kairo, Maktabah Madbuly)

Hazm, Ibn, Kitab al Fishal fi al Milal wa al Ahwa wa al Nihal, (Beirut, Dar al Kutub, 1975)

Hakim, Hāfidz ibn Ahmad, Buku Pintar Aqidah Ahlu Sunnah,  (Solo, At Tibyan, 2010)

Isa, Muhammad Walid al Daah Ahmad Walid al Tholib, Al Nubuwwah wa al Risalah Baina al Imam al Ghozali wa Syaikh al Islam Ibn Taimuyyah, (Saudi Arabia, Jami’atu Ummu al Qura, 1418 H)

Jabir bin Hayyan,  A‘alamu al ‘Arab, editor Zaki Najib Mahmud, (Kairo, Maktab al Mashr, 1962)

_______,  Mukhral Rasail: ‘Kitab al Tashrif’, editor Paul Kraus, (Kairo, Al Khanaji, 1935)

Jaiz, Hartono Ahmad,  Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat, (Jakarta, Al Kautsar, 2008)

_______, Aliran-aliran Sesat di Indonesia, (Jakarta, Al Kautsar, 2008)

Khalifah, Sa’id Ibrahim, al Nubuwwah ‘inda Ibn Taimiyyah wa Rodduhu ‘ala al Mukholifin, (Saudi Arabia, Jami’atu Ummu al Qura)

Kuhn, Thomas S., The Structure of Scientific Revolutions, terj. Tjun Sujarman, cet-5, (Bandung, Rosda, 2005)

Nadwi, Sayid Abul Hasan Ali, Tikaman Ahmadiyah Terhadap Islam, cet-2, (Jakarta, Fadlindo, 2006)

Rahman, Fazlur, Kenabian di Dalam Islam, (Bandung, Pustaka, 2003)

Rahardi, F., Menguak Rahasia Bisnis Gereja, (Jakarta, Visimedia, 2007)

Ridla, Muhammad Rashid, Wahyu Kepada Muhammad, cet-2, (Bandung, Dunia Pustaka Jaya, 1987)

Rusyd, Ibnu, Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid, (Beirut, Dar Ibn Qashosh, 2005)

Taimiyah, Ibn, Kitab Nubuwat, (Kairo, Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 1402 H)

Tadzkirah

TEMPO Interaktif, Jakarta, Komunitas Salihara, Selasa, 02 Desember 2008.

Toha, Anas Malik, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta, Gema Insani Press, 2005)

vivanews.com


[1] Makalah disampaikan dalam seminar untuk memenuhi tugas akhir Program Kaderisasi Ulama (PKU) ankgatan IV Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Pondok Modern Darussalam Gontor Indonesia.

[2] Penulis utusan dari PM. Gontor berasal dari Merauke, Papua.

[3] Anas Malik Toha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta, Gema Insani Press, 2005), h.49.

[4] Detik.com.

[5]  vivanews.com

[6] Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, jld. 2, (Yogyakarta, LKiS, 2007), h., 18.

[7] Armansyah, Jejak Nabi Palsu, (Jakarta, Hikmah, 2007). h, 19.

[8] M. Amin Djamaluddin, Ahmadiyah dan Pembajakan Al Quran, cet-9, (Jakarta, LIPPI, 2008). h, 80.

[9] Sayid Abul Hasan Ali Nadwi, Tikaman Ahmadiyah Terhadap Islam, cet-2, (Jakarta, Fadlindo, 2006), h. 57.

[10] Ibid, h. 77.

[11] Ibid. 111.

[12] Tadzkirah, h. 579.

[13] Tadzkirah, h, 621.

[14] Tadzkirah, h. 637.

[15] Tadzkirah, h.352.

[16] Hartono Ahmad Jaiz, Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat, (Jakarta, Al Kautsar, 2008), h. 185.

[17] Armansyah, Jejak Nabi Palsu, (Jakarta, Hikmah, 2007), h. 57.

[18] Ibid, h. 9.

[19] Hartono Ahmad Jaiz, Aliran-aliran Sesat di Indonesia, (Jakarta, Al Kautsar, 2008), h. 65.

[20] M. Amin Djamaluddin, Ahmadiyah dan Pembajakan Al Quran, Op.Cit. h, 100-102.

[21] Keputusan Musyawarah Nasional ke II Majelis Ulama Se-Indonesia, nomor: 05/Kep/Munas II/MUI/1983. Ditetapkan di Jakarta, 17 Rajab 1400 / 1 Juni 1980.

[22] M. Amin Djamaluddin, Ahmadiyah dan Pembajakan Al Quran, Op.Cit. h, 102.

[23] Gubernur Jawa Timur mengeluarkan SK nomor 188/94/KPTS/013/2011 tentang larangan aktivitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jawa Timur. Beberapa larangan itu meliputi, JAI dilarang menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan maupun media elektronik. Kedua, dilarang memasang papan nama organisasi JAI di tempat umum. Ketiga, dilarang memasang papan nama pada Masjid, Musholla, Lembaga Pendidikan dan lain-lain dengan identitas JAI. Terakhir, dilarang menggunakan atribut JAI dalam segala bentuk.

[24]Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 tanggal 3 Maret 2011, tentang Pelarangan Ahmadiyah di seluruh wilayah Jawa Barat.

[25]SK Walikota Bogor No. 300.45-122, tanggal 3 Maret 2011, tentang Pelarangan Terhadap Segala Bentuk Aktifitas Jemaat Ahmadiyah di wilayah Kota Bogor.

[26] www. mui.or.id. Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan.

[27] www.wikipedia.com

[28] Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, jld. 1, (Yogyakarta, LKiS, 2007), h. xvi.

[29]Raja’ al Niqasy, Ashwar  Ghadibah fil Adab Wa Naq, h, 26-27

[30] Ibid. h. xvi-xvii.

[31] TEMPO Interaktif, Jakarta, Komunitas Salihara, Selasa, 02 Desember 2008.

[32] Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, jld 2, h, xxxvi.

[33] Dia adalah Abu al Husain Ahmad bin Yahya bin Ishaq al Rawandi. Hidup di abad III H. tentang meninggalnya dan kelahirannya diperselisihkan. Lihat, Abdurrahman Badawi, Min Tarikh al Ilhad fil Islam: Ibn al Rawandi. (Kairo, Maktabah al Nahdhah al Mishriyyah, 1945), h. 75.

[34]Abu Abdullah Jabir bin Hayyan bin Abdullah al Azdiy. Dia adalah ahli kimia dari bangsa Arab. Terdapat perselisihan pada tahun kelahirannya, namun yang paling terkenal adalah tahun 101 H/ 721 M. dan meninggal sekitar tahun 199 H/ 815 M. 

[35] Dia adalah Abu Bakar Muhammad bin Zakariya al Razi. Lahi pada 251 H/ 865 M dan meninggal 311 H/ 923 M.

[36] Adoni, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, jld. 2, Op.Cit., h. 108-110.

[37] Barahima adalah sebutan kelompok bagi mereka yang menolak kenabian. Lihat: Abdurahman Badawai, Sejarah Ateis Islam, (Yogyakarta, LKiS, 2007).

[38] Jabir bin Hayyan,  A‘alamu al ‘Arab, editor Zaki Najib Mahmud, (Kairo, Maktab al Mashr, 1962), h. 162. Lihat: Jabir bin Hayyan, Mukhral Rasail: ‘Kitab al Tashrif’, editor Paul Kraus, (Kairo, Al Khanaji, 1935).

[39] Adoni, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, jld. 2, Op.Cit,  h. 116.

[40] Abu Bakar al Razi, Rasail Falsafiyah, jld. 1, edt. Paul Krauss, (Kairo, Maktabah Iskandariyah, 1939), h.17-18.

[41]Tidak akan dicatat kesalahan hamba selama ia dalam tiga keadaan:…keadaan tidur sampai ia bangun…” Sunan Abu Daud, No 4403, Bab Fi al Manun Yasriqu aw Yushibu Haddan, Juz 13, h. 57.

[42]Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid, (Beirut, Dar Ibn Qashosh, 2005), h. 10-13.

[43] QS. Al Baqarah 208.

[44]Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”. Sunan Baihaqi.

[45] QS. Al Ahzab 21.

[46] Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, terj. Tjun Sujarman, cet-5, (Bandung, Rosda, 2005), h. 67.

[47] Sa’id Ibrahim Khalifah, Al Nubuwwah ‘inda Ibn Taimiyyah wa Rodduhu ‘ala al Mukholifin, (Saudi Arabia, Jami’atu Ummu al Qura,), h. 39.

[48] Sayyid Mahdi al Shadri, Ushul al ‘Aqidah fi al Nubuwwah, jld. 2, (Beirut, Dar al Zahro), h. 15.

[49] Muhammad Rashid Ridla, Wahyu Kepada Muhammad, cet-2, (Bandung, Dunia Pustaka Jaya, 1987), h. 94.

[50] Muhammad Rashid Ridla, Wahyu Kepada Muhammad, Op.Cit, h.96.

[51] QS. Al Rum 30.

[52] Ibid, h. 98.

[53] Ibid. h. 98.

[54] Ibn Taimiyah, Kitab Nubuwat, (Kairo, Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 1402 H), 77-79.

[55] Ibid, h. 4-23.

[56] Ibid, 172.

[57] Ibid, 172-173.

[58] Ibn Hazm, Kitab al Fishal fi al Milal wa al Ahwa wa al Nihal, (Beirut, Dar al Kutub, 1975), h. 69.

[59] Ibid, 76-77.

[60] QS. Al Ahzab 40.

[61] Al Ghozali, Al Munqidz Min al Dlolal, (Iskandariyah, Dar al Andalus, 2003), h. 31.

[62] Ibid., h. 37.

[63] Al Ghozali, Al Madnun al Kabir, (Kairo, Maktabah al Nahdloh al Mishriyah, 1309 H), h. 22.

[64] Fazlur Rahman, Kenabian di Dalam Islam, (Bandung, Pustaka, 2003), h. 93.

[65] Al Ghozali, Al Munqidz Min al Dlolal. Op.Cit., h. 51.

[66] Al Ghozali, Ma’arij al Quds, (Kairo, Maktabah al Nahdloh al Mishriyah,1927), h. 167.

[67] Al Ghozali, Al Munqidz Min al Dlolal. Op.Cit., h. 39.

[68] Muhammad Walid al Daah Ahmad Walid al Tholib Isa, Al Nubuwwah wa al Risalah Baina al Imam al Ghozali wa Syaikh al Islam Ibn Taimiyah, (Saudi Arabia, Jami’atu Ummu al Qura, 1418 H), h. 342. 353.

[69] Ibid, 343.

[70] Sayyid Mahdi al Shadri, Ushul al ‘Aqidah fi al Nubuwwah, Op.Cit., h. 17.

[71] Ibid. h. 21-22.

[72] QS. Al Rum. 41.

[73] Gatra, Dunia Baru Milik Cina, edisi 7 Pebruari 2011.

[74] Muhammad Rashid Ridla, Wahyu Ilahi Kepada Muhammad, Op.Cit. h. 106.

[75] Perseteruan antara para filsuf tersebut tertuang dan dapat di lacak pada karya-karya mereka. Tahafut al Falasifah karya Imam al Ghozali, dan Tahafut Tahafut karya Ibnu Rusyd.

[76]Sa’id Ibrahim Khalifah, Al Nubuwwah ‘inda Ibn Taimiyyah wa Rodduhu ‘ala al Mukholifin, Op.Cit., h. 190.

[77] Ibid. h. 190.

[78] QS. Al Ahzab 40.

[79] Adonis, jld 3, h. xxxvii.

[80]Ulil Absar Abdalla, dalam diskusi JIL, “Bedah Pemikiran Adonis”, dengan narasumber M. Jadul Maula dan Ulil Absar Abdallah, serta moderator Abdul Muqsith Ghozali, 24 Februari 2004.

Last modified: 08/05/2011

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *