Kritik Epistemolog Islam dalam Pemikiran Islam Kontemporer: Telaah Kritis Atas Pemikiran Muhammad ‘Abid al-Jabiri

Written by | Pemikiran Islam

Diantara penulis Arab yang pertama mengangkat tema kritik pemikiran ini Sadiq Jalal Azam, seorang pemikir Muslim kontemporer beraliran Marxist berasal dari Syiria. Pada tahun 1972, beliau menerbitkan buku yang berjudul Naqd al-Aql al-Dini. Buku ini pertama kalinya diterbitkan pada tahun 1969, yaitu dua tahun setelah peristiwa yang sangat memalukan bagi sejarah modern bangsa Arab, Kekalahan pada perang enam hari pada bulan Juni 1967. Buku mengkritik pola pikir keagamaan yang yang berkembang dikalangan bangsa Arab, sebuah pemikiran yang dalam pandangannya sangat bersifat metaphysical-oriented. Disini ‘Azam mempertanyakan ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan alam ghaib seperti mengenai pean Tuhan dalam sejarah, malaikat, dst. Buku ini telah melahirkan reaksi keras dari beberapa kalangan. Akhirnya,diapun di dihadapkan kedepan pengadilan.[1]

Lebih sepuluh tahun kemudian, yaitu tahun 1984, Mohammad Arkoun, pemikir kelahiran asal al-Jazair dan menetap di Paris ini, juga tampil degan tema yang sama dengan bukunya Pour une Critique de la Raison Islamique. Secara umum buku ini adalah sebuah upaya untuk mendekonstruksi epsitemologi dan metodologi pemikiran Islam yang dianggapnya sebagai faktor utama kemunduran Islam dan stagnansi pemikirannya. Dengan menggunakan berbagai metode yang dicatutnya dari berbagai disiplin ilmu humaniora dan filsafat postmodernsme yang sedang berkembang di Barat, Arkoun mempertanyakan otentisitas al-Qur’an, otoritas sunnah dan juga ‘ulama silam. Seperti halnya al-Qur’an mushaf ‘utmani yang dikatakannya sebagai produk konfigurasi politik penguasa ketika itu, Arkoun juga berpandangan bahwa karya-karya ‘ulam Islam dahulu tidak terlepas dari pengaruh ideology yang dominan saat itu. Buku ini diterjemahkan Hashim Salih, murid dan juga teman baik Arkoun, kedalam bahasa Arab dan dia beri judul Tarikhiyyah al-Fikr al-Arabi.[2]

Pada periode yang hampir bersamaan, Muhammad Abid al-Jabiri, tokoh intelektual dan filsuf Maroko kontemporer, juga sedang menggagas projek intelektualnya, yang dinamainya dengan Naqd al-‘Aql al-‘Arabi.[3] Jabiri kemudian menuangkan ide kritiknya itu dalam dua karya tulisnya yang berketebalan lebih kurang 600, yaitu Takwin al-Aql al-Arabi[4] (Formasi Akal Arab) dan Bunyah al-Aql al-Arabi (Struktur Akal Arab). Dalam kedua buku ini Jabiri mencoba untuk menulusuri formasi awal terbentuknya pemikiran Islam, dan kemudian mekonstruksinya sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah struktur baru dalam epistemologi Arab Islam.  Teori yang dikembangkannya dalam kedua buku ini kemudian dia aplikasikan untuk membaca pola pikir politik dan etik bangsa Arab dalam bukunya al-Aql al-Siyasi al-‘Arabi dan al-Aql al-Akhlaqi al-Siyasi.[5]

Mengkuti jejak intelektual diatas, Nasr Hamid Abu Zayd tahun 1990 juga menerbitkan karya yang bernuansa kritis pemikiran dan dia beri judul Naqd al-Khitab al-Dini.[6] Buku ini sebenarnya merupakan kritik sekaligus jawaban terhadap para pengkritisinya yang melemparkan tuduhan dan kritikan atas karya intelektualnyanya berjudul Mafhum al-Nass dan al-Imam al-Shafi’I wa Ta’sis al-aydulujiyyah al-Wasatiyyah. Di buku ini, Nasr mencoba menulusuri apa yang disebutnya aliyat al-fikr pemikiran Islam kontemporer. Dia mngkritisi model pikiran yang dikembangkan kelompok salaf yang menurutnya telah gagal untuk membuat disgtingsi jelas antara agama dan pemikiran agama, tapi dia juga tidak bersetuju dengan pola pikir yang dikembangkan oleh Islam Kirinya Hasan Hanafi yang menurutunya sangat penuh dengan muatan ideologis. Apa yang menarik dari buku ini adalah pengarang bmencoba untuk menkonseptualisasi kembali makna wahyu dalam hubungannya dengan realitas sosial dan kemasyarakatan.

Selain keempat tokoh diatas, sesungguhnya masih banyak lagi pemikir, tokoh intelektual, dan filsuf Arab Muslim kontemporer yang tampil dengan ide-ide kritik pemikiran keagamaan. Sekedar contoh sebut saja misalnya Halim Barakat dengan al-Mujtama’ al-‘Arabi al-Mu’asir[7], Hisham Sharabi dengan teori Neopatriarchy-nya[8], Hasan Hanafi dengan projek al-Turath wa al-Tadid-nya[9],yang keduanya merupakan sebuah kritik atas struktur masyrakat Arab dan pola pikirnya, Adonis dengan karyanya al-Thabit wa al-Mutahawwil, Tayib Tizini dengan Min al-Turath ila al-Thawrah, Mahmud Amin, Abdullah Laroui, Fazlur Rahman dan lain sebagainya. Intinya para pemikir ini merasa perlu untuk menilai kembali tradisi keilmuan Islam yang telah kita warisi dari generasai Muslim abad pertegahan sebagai usaha untuk merespon tantangan zaman dan menjawab persoalan yang sedang berlaku. Dalam konteks inilah saya melihat para pemikir Islam menempuh berbagai cara. Ada yang masuk dari jalur metodologi sementara yang lain dari jalur epistemologi. Kelompok yang menjadikan metodologi sebagai fokus pembaharuan, juga terbagi kepada dua kategori; ada yang menjadikan usul fiqh sebagai lahan pembaharuan, sementara yang lain memfokuskan diri pada pembaharuan metodologi tafsir. Meskipun berangkat dari sudut pandang yang berbeda, pada prinsipnya mereka mempunyai pandangan yang sama yaitu metodologi usul fiqh dan tafsir al-Qur’an klasik sudah tidak sanggup menjawab tantangan zaman. Metode qiyas, dan tafsir yang berputar-putar sekita pemahaman terhadap nas tanpa melihat setting sosial, kultur dan politik yang sedang berkembang hanya akan menjadikan ajaran Islam tersebut kaku dan sebagai akibatnya akan gagal merespon kebutuhan umat. Dalam konteks inilah para pemikir Muslim seperti Arkoun, Hasan Hanafi, Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Shahrur, Fetim,a Mernisi, dan lain-lain mencoba menawarkan metodologi yang variatif, dari metode hermenetik, ke historical critiism, ke metode dekonstruksi ala derrida. [10]

Dalam pengamatan penulis Muhammad ‘Abid al-Jabiri kelihatnnya tidak begitu tertarik untuk mereformulasi metode-metode ini,[11] karena dalam pandangannya yang menjadi masalah sentral itu bukan metodologi tapi epistemologi.  karena memang metodologi tak lain hanyalah sebuah refleksi eksternal dari bangunan epistemologi itu sendiri. Oleh sebab itulah ia telah tertarik untuk merekonstruksi epistemologi daripada membangun metodologi alternatif.

Disini Jabiri sepertinya memiliki concern yang sama dengan Syed Muhammad Naquib al-Attas. Sebagaimana Jabiri, Attas juga melihat epistemologi sebagai isu kunci dalam pemikiran Islam kontemporer. Akan tetapi Attas berbeda dengan Jabiri. Al-Attas tidak melihat adanya masalah pada epistemologi Islam yang telah dibangun oleh para ‘ulama masa silam. Menurutnya epistemologi yang telah dikonstruksi para ‘ulama-‘ulama dan tokoh filsafat Muslim abad pertengahan seperti Ibn Sina, al-Ghazali, al-Razi, al-Amidi, al-Nasafi, dan setersunya, cacat sama sekali tidak empunyai cacat. Bahkan dia berpadangan bahwa dengan epistemologi inilah perabadan Islam bisa maju dan mencapai kemuncaknya. Menurut al-Attas kerancuan yang terjadi pada pemikiran Islam hari ini adalah disebabkan telah terkonteminasinya ilmu pengetahuan yang berkembang hari ini dengan nilai dan norma budaya Barat. Pemikiran Islam telah mengalami sekularisasi dengan masuknya konsep-konsep Barat yang secara diametrical betentangan dengan worldview Islam. Disinilah al-Attas selalu menekankan bahwa: “the greatest challenge that has surreptitiously arisen in our age is the challenge of knowledge, indeed, not as against ignorance; but knowledge as conceived and disseminated througout the world by western civilization,…”[12] Al-Attas jelas tidak setuju dengan pandangan yang mengatakan ilmu bersifat netral dan bebas nilai; karena ilmu itu baginya memang sarat nilai. Ismail Raji al-Faruqi, tokoh yang memppulerkan ide islamisasi ilmu pengetahuan, membenarkan pendapat Attas ini. Kata professor yang shahid ini: “The western social sciences- history, geography, political science, sociology and anthropology – were all developed under the impetus provided by romanticism.”[13] Berangkat dari keyakinan inilah kedunya selanjutnya mengembangkan ide Islamization of Knowledge meskipun dengan strategi yang berbeda. Kalau Faruqi dan kelompoknya menempuh jalur usul fiqh, Attas mengambil jalur filsafat dari sufisme sebagai batu pijakannya. Kritikan al-Attas atas epistemology Barat ini akhir-akhir ini banyak diafirmasi oleh ilmuwan dan cendikiawan Barat sendiri seperti yang dikemukakan Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution.[14] Kenyataan ini juga dibenarkan oleh Egon G. Guba dan Yvonna S. Lincoln,. Menurut kedua penulis ini, paradigma yang mereka definisikan sebagai “the basic belief system or worldview” itulah yang akan mengarahkan invistigasi riset, model metode yang digunakan, dan bahkan menentukan fondasi ontologi dan epistemologinya.[15] ‘Abd al-Wahhab al-Masiri, profesor emiretus bidang perbandinagn sastera, dalam beberapa artikelnya selalu menekankan bahwa epistemologi Barat itu sangat diwarnai dan dipengaruhi oleh sistem nilai budaya Barat sekuler; ia sangat bersifat eurocentric, dan bukan universal; ia lahir dari pengalaman Barat, oleh sebab itu ia hanya sesuai untuk masyarakat Barat. Dan partikularistik Barat ini tidak bisa begitu saja digeneralisasikan kepada komunitas lain, apalagi komunitas Muslim, karena secara prinsip bertentangan dengan worldview yang dianut oleh masyarakat tersebut. Masiri bahkan sampai pada kesimpulan m bahwa ide dan konsep yang dikembangkan dalam filsafat postmodernisme seperti dekonstruksi adalah sebuah teori yang lahir dari pandangan hidup Kristen dan Yahudi.[16] Muhammad ‘Abid Jabiri sejak dini juga telah menyadari hal ini. Itulah sebabnya ia mengkritisui pemikir Arab liberal yang dengan bangga mengadopsi metdologi orientalis atas nama objektifitas dan ilmiah; mereka seolah-olah tidak sadar bahwa metodologi dan worldview itu tidak mungkin dapat dipisahkan. Tulisnya:

Al-salafiyyah al-ishtishraqiyyah” hadhihi tadda’i anna ma yahummuha faqat, al-fahm wa al-ma’rifah wa annaha idh ta’khudhu min al-mushtashriqin manhajahum “al-ilmi” tatruku aydiyulujiyyatahum, wa lakinnaha tansa aw tatanasa annaha ta’khudhu al-ru’yah ma’a al-manhaj, wa hal yumkin al-fasl baynahuma?[17]

Sayangnya Jabiripun tidak konsisten dengan pandangannya inim, karena dalam banyak tulisannya ia selalu menggunakan Barat sebagai acuan berpikirnya.

 

Sekilas Biografi Muhammad ‘Abid al-jabiri

Muhammad ‘Abid al-Jabiri adalah penulis prolifik asal Maroko. Ia merupakan seorang pemikir Muslim kontemporer yang kreatif, sangat kritis dan sekaligus provokatif. Dikalangan pemikir Arab Jabiri memang dikenal sebagai seorang filosof kontemporer Arab yang memiliki ide-ide brilliant.

Dilahirkan di Figuig, sebelah Selatan Maroko pada tahun 1936. Ia menyelesaikan pendidikan ibtidaiyahnya di madrasah hurrah wataniyyah, sekolah agama swasta yang didirikan sebuah gerakan kemerdekaan ketika itu. Pendidikan menengahnya dia tempuh dari 1951-1953 di Casabalanca dan memperoleh Diploma Arabic High School setelah Maroko merdeka. Sejak dari awal Jabiri telah tekun mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya dia mulai pada tahun 1958 di Universitas Damaskus, Syiria. Jabiri tidak lama bertahan di universitas ini. Setahun kemudian dia berpindah ke Universtas Rabat yang baru saja didirikan, dinegara asalnya. Dia menyelesaikan program masternya pada tahun 1967 dengan tesis Falsafah al-Tarikh ‘inda Ibn Khaldun (Filsafat Sejarah Ibn Khaldun), dibawah bimbingan N. Aziz Lahbabi (w. 1992), juga seorang pemikir Arab Maghrib yang banyak terpengaruh oleh Bergson dan Sarter. Dia meraih gelar Doktor Falsafah pada tahun 1970 dibawah bimbingan Najib Baladi. Disertasi Doktronya juga berkisar seputar pemikiran Ibn Khaldun dan telah diterbitkan dengan judul Fikr Ibn Khaldun: Al-‘Asabiyyah wa al-Dawlah: Ma’alim nazariyyah khalduniyyah fi al-tarikh al-islami.[18] Jabiri muda merupakan seorang aktifis politik berideologi sosialis. Dia bergabung dengan partai Union Nationale des Forces Populaires (UNFP), yang kemudian berubah menjadi Union Sosialiste des Forces Populaires (USFP). Pada tahun 1975 dia menjadi anggota biro politik USFP.

Disamping aktif dalam politik, Jabiri juga banyak bergerak di bidang pendidikan. Dari tahun 1964 dia telah mengajar filsafat di Sekolah Menengah, dan secara aktif terlibat dalam program pendidikan nasional. Pada tahun 1966 dia bersama dengan Mustafa al-‘Omari dan Ahmed Sattati menerbitkan dua buku teks, pertama tentang pemikiran Islam dan kedua mengenai filsafat, untuk mahasiswa S1. [19]

Karya-karyanya

Jabiri merupakan seorang penulis yang prolifik; sangat kreatif, kritis dan sekaligus provokatif. Sifat kreatifnya telah menghantarnya menghasilkan puluhan karya tulis baik dalam bentuk buku, artikel dijurnal maupun makalah-makalah ilmiah yang dipresentasikannya di seminar-seminar internasional. Diantara karyanya yang terpenting Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, al-‘Aql al-Siyasi al-‘Arabi, Al-‘Aql al-Akhlaqi al-‘Arabiyyah: Drasah Tahliliyah Naqdiyyah li Nuzum al-Qiyam fi al-Thaqafah al-‘Arabiyyah.[20] Keempat buku ini merupakan realisasi projek Kritik Akal Arab yang ingin dibangunnya.; dua buku pertama terfokus pada kritik atas bangunan epistemologi Islam, sementara dua yang terakhir sebagai pengejewantehan ide dan konsep yang dibangunnya di dua buku pertama. Karya  terpentingnya yang lain termasuk al-Turath wa al-Hadathah,[21] Ishkaliyyah al-Fikr al-‘Arabi  al-Mu’asir,[22] Tahafut al-Tahafut: intisaran li ruh al-‘ilmiyyah wa ta’sisan li akhlaqiyyat al-hiwar, Qadaya al-Fikr al-Mu‘asir: al-‘awlamah, sira‘ al-hadarat, al-‘awdah ila al-akhlaq, al-tasamuh, al-dimaqratiyyah, wa nizam al-qiyam, al-falsafah, wa al-madaniyyah,[23] 1996. Al-Mashru‘ al-Nahdawi al-‘Arabi: muraja‘ah naqdiyyah,[24] Al-Din wa al-Dawlah wa Tatbiq al-Shari‘ah,[25] Mas’alah al-Huwiyyah,[26] Al-Muthaqqafun fi al-Hadarah al-‘Arabiyyah: Mihnah Ibn Hanbal wa Nukbah Ibn Rushd,[27] Al-Tanmiyyah al-Basyariyyah fi al-Watan al-‘Arabi.[28]

Ide-ide Jabiri memang briliant dan original. Banyak konsep dan terma-terma baru yang ia telurkan dan tiga bangunan epistemologi Arab-Islamnya yakni bayani, ‘irfani, dan burhani merupakan sumbangannya terbesar dalam wacana pemikiran Arab Islam kontemporer, meskipun ketiga bangunan epistemologi teresebut menjadi bahan kritik. Jabiri memang sangat provokatif dalam melemparkan ide-idenya. Hal inilah akhirnya telah mendorong para pemikir lain untuk melakukan respon dan kritikan terhadap ide-idenya. Diantara buku-buku yang telah secara tajam menyorot pikiran-pikiran Jabiri adalah Nadhariyyah al-‘Aql  al-‘Arabi dan Wahdah al-‘Aql al-‘Arabi rangkain dari projek Naqd Naqd al-‘Aql al-‘Arabi oleh George Tarabisi,[29] Min al-Ishtishraq al-Gharbi ila al-Istighrab al-Maghribi oleh Tayyib Tizini,[30] Tajdid al-Manhaj fi Taqwim al-Turats oleh filosof Maroko Taha ‘Abdurrahamn,[31] dan Hal Hunaka ‘Aql ‘Arabi oleh Hisham Ghasib[32] plus beberapa artike lain yang dimuat dibeberapa majalah dan jurnal.

Nama Jabiri sendiri mulai orbit ketika dia menerbitkan bukunya Nahnu wa al-Turath tahun 1980 yang kemudian disusuli dengan al-Khitab al-‘Arabi al-Mu’asir: dirasah naqdiyyah tahliliyah. Kedua buku tersebut sepertinya sengaja dipersiapkannya sebagai pengantar kepada grand projek intelektual yang sedang dirancangnya yaitu: naqd al-al-‘aql al-‘arabi (Kritik Akal Arab)-nya.[33]

Kritik Jabiri atas Pemikiran Islam Kontemporer

Jabiri punya ambisi besar untuk membangun sebuah epistemologi baru yang sesuai dengan perkembangan masyarakat hari ini. Dia merasa tidak puas dengan usaha pembaharuan yang telah dan sedang dilakukan oleh para pemikir dan intelektual Arab-Muslim. Dia mengkritik gerakan salaf, karena kehilangan objektifitas dan historisitas (la tarikhiyyah wa ‘llamawdu’iyah) dalam membaca turats.[34] Mereka terlalu mengagungkan pencapain masa silam sehingga cenderung mengabaikan realitas sosial masyarakat, seolah-olah tidak berpijak pada bumi nyata. Kritik seperi ini bukan menjadi moinopoli Jabiri. Hampir keseluruhan pemikir Muslim hari ini mempunyai pandangan yang sama ketika melihat kelompok salaf ini. Dua pemikir Arab beraliran Marxis dan Lenin, Tayyib Tizini dan Abdullah Laroui misalnya juga melemparkan kritikan yang sama atas pembahruan model salafi ini. Menurut Tizini turats harus didekati dalam konteks hubungannya yang dialektis dengan masalah sosio-ekonomi dan kondisi politik masyarakat, kalau tidak maka akan gagal melihat kontinuitas (istimrariyyah) pemikiran itu sendiri, dan selanjutnya tidak dapat menagkap kekhususan pemikiran itu sendiri sepanjang periode yang dilaluinya.[35] Abdullah Laroui, pemikir beraliran Leninis, juga menyesalkan hal yang sama. “Arab intellectuals think according to two rationales. Most of them profess the traditionalist rationale (salafi); the rest profess eclecticism. Together, these tendencies succeed in abolishing the historical dimension… Ahistorical thinking has but one consequence: failure to see the real.”[36]

Di zaman modern ini, gerakan salaf ini, menurut Jabiri, direpresentasikan oleh gerakan islah nya (pembaharuan) Muhammad ‘Abduh. Dalam penilainnya gerakan yang di motori mujaddid mesir ini masih jauh dari apa yang diharapkan, meskipun ia mengakui keberhasilan ‘Abduh dalam merubah cara berpikir masyarakat Muslim yang sebelumnya sangat kaku dalam melakukan inovasi-inovasi pemikiran dalam menjawab tantangan zamannya. Ia juga berhasil dalam memerangi khurafat dan taqlid serta mengembalikan prinsip ijtihad dalam kerangka pembahruan Islam, dan selanjutnya mengembalikan akal pada posisinya yang seharusnya. Namun Jabiri sangat menayangkan bahwa akal yang diagungkan ‘Abduh masih berkisar pada konsep akal abad pertengahan, yaitu akal yang berputar-putar dalam tataran etika, bukan pada akal sebab akibat. Bagi Jabiri inilah sesungguhnya akar kegagalan kaum modernis, mereka tidak melakukan kritik atas akal itu sendiri.  padahal menurutnya inilah prasyarat sebuah ‘Kebangkitan’ (nahdah). Dengan nada agak meyindir, Jabiri menyatakan bagaimana kita bisa bangkit dengan akal yang tidak terjaga (aql nahid). Kenapa kritik harus kita lakukan. Jabiri berpandangan karena sesungguhnya kelemahan dan keterbelakangan bangsa Arab Islam itu disebabkan oleh konsep akal Arab Islam itu sendiri yang terkungkung oleh tembok-tembok epistemologi yang terbangun sejak awal periode pembentukan ilmu-ilmu Islam.

Selain Jabiri, Nasr Hamid Abu Zayd juga mengkritisi model pemikiran yang dikembangkan kelompok salaf diatas. Menurutnya pemikiran salafi model ini tidak bijak dalam memisahkam antara turats yang merupakan produk interpretasi manusia yang berubah-ubah, dengan agama yang bersifat ilahiyah permanen. Bagi mereka keduanya sama saja; sehingga kritik turats dianggap identik dengan kritik agama.[37]  Meskipun kritikan Nasr ini sedikit mengandung kebenaran, karena memang turats bukanlah agama, namun sesungguhnya banyak kelompok liberal termasuk Nasr terperangkap dalam kesalahan yang sama. Bedanya mungkin terletak pada titik penekanannya saja. Jika kelompok salafi dipandang salah oleh Nasr Hamid karena menganggap turats sebagai sesuatu yang suci (qadasah), maka kelompok liberal pun bisa dipandang salah karena menafikan sifat kesucian dari agama, sehingga agama dan turats dianggap sama saja bagi mereka; yaitu sama-sama tidak suci. Keduanya bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman. Disini mereka gagal melakukan pembedaan mana yang merupakan pendapat dan hasil ijtihad ‘ulama dan mana yang merupakan wahyu ilahi. Nasr hamid bahkan sampai pada kesimpulan bahwa wahyu ilahi, berupa Qur’an pun, merupak teks kemanusian hanya karena sudah bersentuhan dengan unsur kemanusian, yaitu bahwa al-Qur’an keluar dari mulut seorang rasul, yang kebetulan seorang manusia. Dalam hal Nasr Hamid menuliskan seperti berikut.

Al-nass mundhu lahdhatihi al-ula – ay ma’a qira’ati al-nabi lahu lahdhah al-wahy- tahawwala min kawnihi (nassan ilahiyan) wa sara (nassan insaniyyan), liannahu tahawwala min al-tanzil ila al-ta’wil.[38]

Bagi Nasr yang suci bukanlah al-Qur’an yang kita kenal selama ini, tapi yang ada berada dialam metafisik yang mana tak seorang manusiapun dapat menjangkaunya.

Memang akhir-akhir ini ada usaha beberapa pemikir Arab Muslim untuk merelatifkan nilai-nilai ajaran al-qur’an dengan menyamakannya dengan budaya. Mereka misalnya mengatakan bahwa al-Qur’an adalah produk budaya, karena ia terbentuk dalam sebuah realitas budaya, dan menggunakan bahasa budaya ketika itu.[39] Karena Qur’an merupakan produk sejarah, maka tidak heran ada pandangan-pandangan yang mengatakan bahwa jilbab misalnya tidak wajib, karena memang mereka menganggap hal itu sebagai produk budaya Arab meskipun hukum ini secara sharih dijelaskan dalam al-Qur’an. Demikian juga halnya dengan hukum-hukum Islam yang lain seperti hudud, qisas, warisan, dan lain-lain. Mereka mengatakannya tidak relevan untuk diterapkan pada masyarakat modern sekarang, lagi-lagi karena ia mereka nilai bagian budaya dan masyarakat Arab. Ini tentu kesalahan yang fatal.

Meskipun demikian Jabiri juga tidak setuju dengan pendekatan dan solusi yang ditawarkan oleh kelompok liberal yang terlalu silau dengan kemajuan dan kecanggihan peradaban barat sehingga sanggup untuk menjadikannya model sebuah bangunan peradaban.[40]

Kelompok liberal juga sangat bervariasi; ada yang moderat dan ada juga yang radikal. Liberal radikal menentang segala bentuk pemikiran yang berbau keagamaan dan mitos. Komitmen mereka hanya pada rasionalisme, sains dan teknologi. Mereka menolak adanya interfensi agama dalam pengaturan kehidupan bernegara. Diantara pendukung aliran ini adalah seorang bernama Adonis, yang nama sebenarnya Ali Ahmad Sa’id. Dalam salah satu artikelnya, Adonis menyatakan bahwa salah satu faktor yang menjadikan bangsa Arab terbelakang adalah karena mentalitas mereka yang theocentris (lahutaniyyah). Mentalitas ini, katanya, secara berlebihan memisahkan manusia dan alam daripada Allah. Allah dijadikan sumber pokok (asal), pusat (mihwar), dan juga sebagai tujuan (ghayah). Maka jadilah Wahyu,  pada tataran epistemologisnya,  menjadi sumber utama ilmu dan keyakinan sempurna. Pada aras politik,  mentalitas ini direfleksikan dalam bentuk politik yang patriarki. Manusia dipandang bukan dari kualitasnya tapi dari kuantitasnya saja, mereka tidak punya pilihan apa-apa kecuali ‘perintah dan larangan’ saja.[41] Demikianlah, mentalitas lahutiniyyah melihat bahwa “manusia tidak bisa hidup kecuali lewat Tuhan. Di dunia nyata,  ia pun tidak hidup kecuali dengan agama, komunitas, negara, dan  keluarga. Oleh sebab itu,  ia tidak bisa mempraktekkan esensi kemanusianya sebagai seorang individu, karena ia tidak mempunyai kebebasan untuk berkreasi dan berinovasi.”[42] Maka, jika kita ingin maju, hal yang pertama dilakukan adalah mendobrak dan mendekonstruksi mentalitas ini. Artinya Tuhan harus dipinggirkan, dan akal di ‘Tuhan’kan. Sehingga dengan demikian jadilah kita manusia-manusia sekuler yang memisahkan diri dari ikatan ketuhanan. Demikian Adonis.

Berdiri sebaris dengan Adonis adalah beberapa intelektual asal Mesir seperti Fuad Zakariya, Faraj Fawdah, Muhammad Ahmad Khalafullah dan lain-lain. Zakariya menilai orang-orang menyerukan formalisasi syari’ah adalah orang yang punya kepentingan pribadi; mereka ini,menurut pandangannya, telah salah menghadirkan Islam dalam wacana kehidupan publik[43] Muhammad Ahmad Khalafullah juga memiliki pandangan yang sama. Mengikuti jejak ‘Ali ‘Abd al-Raziq, Ahmad Khalafullah menegaskan bahwa tanggung jawab Muhammad bin ‘Abdullah di Makkah bukanlah tanggung jawab sebagai pemimpin negara yang mengayomi kehidupan di Makkah, dan memimpin manusia untuk mengurus perkara-perkara mereka secara politik. Sesungguhnya tanggung jawabnya adalah tanggung jawab sosial religius, membimbing manusia kepada amal saleh yang dapat memperbaiki keadaan pribidi dan masyarakat mereka, tanpa ada pemaksaan ataupun sesuatu yang berbau kepemimpinan (al-siyadah).[44]

Dan diantara yang paling keras megkritik wacana penerapan syari’ah aadalah Faraj Fawdah. Dia menolak apa saja bentuk islamisasi masyarakat. Dia mengkritik gerakan Islam, karena baginya mereka ini tidak punya program dan rencana yang dipikirkan dengan matang untuk memimpin negara. Katanya mereka ini berpikir naif bahwa dengan penerapan syari’ah semua problem akan selesai. “ringakasnya saya menolak penerapan Syari’at Islam, apakah ia dilakukan sekaligus atau step by step… karena saya melihat dalam penerapan Syari’at Islam terkandung (konsep) dawlah diniyah (negara agama)… barang siapa menerima negara agama maka ia dengan sendirinya akan menerima applikasi Syari’ah Islam… dan barangsiapa menolaknya maka dia menolak penerapan Syari’at Islam.”[45] Kritikan Fawdah bukan hanya sampai disini saja, ia bahkan dengan lebih vulgar mengkritik para sahabat termasuk mereka yang dijanjikan Rasulullah masuk surga seperti ‘Uthman bin ‘Affan, Talha ibn ‘Ubaidillah, dan ‘Abdurrahman bin ‘Awf. Ia juga menuduh Ibn ‘Abbas melakukan korupsi. [46]

Jabiri mempertanyakan alternatif kebudayaan yang ditawarkan kelompok liberal. Katanya bagaimana mungkin kita dapat mengadopsi modernisasi model Barat, karena modernisasi itu sendiri menuntut pemutusan hubungan dengan masa pra-modernisasi itu sendiri. Periode sejarah mana yang harus diputuskan bangsa Arab ini untuk bisa maju seperti Barat, padahal sejarah masa lalunya tidak sama seperti sejarah masa lalu Barat. Problema yang dihadapi oleh bangsa Arab tidak sama dengan bangsa Eropa, oleh sebab itu tidaklah mungkin kita mengadopsi budaya Barat untuk menyelesaikan masalah kita.[47]

 Jabiri kembali mengkritik kelompok liberal karena menggunakan metode orientalis dalam membaca turats. Para sarjana dan professor-profesor Arab telah mengambil metode orientalis ini atas nama objektifitas ilmiah; mereka lupa, katanya,  bahwa ketika mereka mengadopsi metodologi tersebut, dengan sendirinya mereka juga mengadopsi worldview-nya, karena keduanya memang tidak bisa dipisahkan. Model bacaan orientalis ini, kata Jabiri, hanya akan berujung pada penyimpulan bahwa warisan Islam itu berasal dari Yahudi, Nasrani, Yunani, Parsi, dst. Jabiri menyebut cara baca kelompok ini dengan ‘al-salafiyyah al-istishraqiyyah. [48]

 Sesungguhnya kesalahan seperti ini banyak dilakukan para sarjana Arab Muslim hari ini. Atas nama objektifitas dan ilmiah, mereka memaksakan metode-metode Barat seperti hermeneutics, dekonstruksi, literary crticism untuk mengkaji al-Qur’an, padahal metode-metode itu sendiri lahir dari rahim ‘worldview’ sebuah peradaban sekuler yang secara fundamental berbeda dengan ojek wordlview objek yang dikaji. Sangat disayangkan bahwa Jabiripun tidak konsisten dengan kritikannya ini, karena dalam usahanya mendekonstruksi akal Islam, diapun banyak meminjam metodologi Barat, khususnya yang berasal dari mazhab-mazhab filsafat Perancis. Dia banyak berhutang pada Gaston Bachelard, Georges Canguilhem, Michel Foucoult, Derrida, dan lain-lain.[49] Akibat dari pengaplikasian metode ini, akhirnya Jabiri jatuh kepada konklusi yang salah sama dengan konklusi yang dihasilkan pendukung pemikiran liberal. Jabiri misalnya menafikan originalitas dan sumbangan para pemikir, ahli falsafah, dan mutakallimun Arab Timur seperti Ibn Sina, al-Ghazali, dan Syi’ah dsb, karena dalam penilainnya pikiran-pikiran tersebut bersumber dari filsafat Hermes, dan ia tidak bersifat rasional dan sebaliknya irrational yang disebutnya dengan alla-ma’qul al-dini.

 Anehnya dalam konteks ini Jabiri sepertinya mengasingkan pemikir Arab Maghrib, katanya. Tokoh-tokoh seperti Ibn Rushd, Ibn Tufayl, Ibn Bajah, Ibn Khaldun, bahkan Ibn Hazm yang literalis itu, karena dia melihat tokoh-tokoh ini telah berhasil melakukan al-qati’ah al-ibistimiyyah (epistemic rupture). Maksudnya pikiran filsafat Ibn Rusd sama sekali tidak punya kaitan dengan pikiran Mu’tazilah, Ibn Sina, dan al-Ghazali. Yang selalu dipertanyakan oleh banyak orang sebenarnya bagaimana Jabiri dapat mengatakan pemikiran Ibn Sina dan al-Ghazali itu tidak rasional (irrational), padahal Ibn Sina telah memproduksi buku sains, Qanun al-Tibb, yang menjadi pegangan selama beberapa abad di universitas-universitas Barat.

 Selanjutnya Jabiri menilai bahwa baik sikap salafi maupun liberal bukanlah sebuah alternatif terbaik menyelesaikan problema yang sedang dihadapi masyarakat Arab-Muslim. Kesalahan mereka, katanya, terletak pada cara berpikir merekayang mengadopsi pola pikir qiyasi, pola pikir yang punya kecenderungan untuk selalu memberi otoritas referensial pada model masa lampau (namuzhaj salafi). Mereka sering membuat analogi dalam menyelesaikan masalah, menganalogikan fakta-fakta aktual dengan dengan hal ghaib “qiyas al-ghaib ‘ala al-shahid’ (analogi yang invisible dengan yang visible), menganalogikan masa lalu dengan masa sekarang, dan masa akan datang dengan masa lalu dan sekarang

Epistemologi Bayani, ‘Irfani, dan Burhani

Salah satu sumbangan Jabiri dalam diskursus pemikiran Arab Islam kontemporer adalah tiga kerangka epistemologi yang dibangunnya sebagai hasil dari kajian kritis historisnya atas pemikiran Arab Islam.Ketiga sistem tersebut adalah bayani, ‘irfani, dan burhani.[50] Al-nizam al-‘ma’rifi al-bayani dikembangkan oleh para fuqaha’. Sistem berpikir ini sangat bergantung pada teks; teks berada diatas akal (filsafat). Ilmu fiqh, tafsir, pilologi, menurut Jabiri, merupakan produk episteme ini yang disebutnya sebgai al-ma’qul al-dini (religious rasionalitas). Karakteristik utama episteme ini adalah ketergantungannya pada teks, bukan pada akal. Yang dimaksudkannya dengan teks disini adalah al-Qur’an dan Sunnah. Episteme ini menurut Jabiri sangat kuat sekali mendominasi pemikiran Arab Islam sehinggakan sejak dari awal kelahirannya sampai sekarang ia tidak menglami perkembangan. Dalam pandangan Jabiri, usul fiqh misalnya dari sejak dibangun Imam Syafi’I hingga sekarang tidak mengalami perubahan signifikan apapun; demikian juga ilmu nahwu, ia tidak menunjukkan perubahan atau perkembangan yang berarti. Kata Jabiri, “bukankah ilmu nahwu lahir dengan sempurna bersamaan dengan Sibawaih, demikian juga dengan ilmu usul fiqh yang telah sempurna ditangan Syafi’i, dan sejarah telah sempurna di tangan Ibn Ishaq dan al-Waqidi dan seterusnya? Dengan sinis Jabiri sempat mengungkapkan begini: “bukankah para tokoh-tokoh ini, meskipun hidup dalam periode yang sama, hidup dalam satu periode, yaitu periode kodifikasi (‘asr al-tadwin), yang selanjutnya menjadi referential umum (al-itar al-marja’i al-‘am) sejarah peradaban arab? Dengan demikian, lanjut Jabiri, berarti kita ini sekarang hidup dalam putaran sejarah masa lalu, didepan kita berdiri sebuah kontinuitas sejarah yang terbentuk menjadi sebuah referential framework umum yang bersifat permanen. Dengan demikian, lanjutnya, sejarah kita hari adalah sejarah masa lalu, sehingga solusi yang di tawarkanpun hanya solusi masa lalu, padahal, katanya, problema yang kita hadapi hari secara subsuntial sudah berubah dari masalah masyarakat lalu. Akan tetapi, kita sepertinya, lanjutnya, masih hidup dengan problem masa lalu. Inilah yang disebutkan Jabiri sebagai “gerak diam” (harakah ‘itimad) yang menjadi karakteristik peradaban Arab. Kita masih belum melakukan “gerak tranformasi” (harakah al-naqlah), yaitu sebuah gerak yang dapat melakukan lompatan dari satu periode keperiode selanjutnya. Dan yang penting dicatat katanya adalah bahwa proses transformasi ini juga diiringi tranformasi epistemologi. Jadi disana harus ada epistemic rupture. Hal ini berhasil dilakukan oleh peradaban Barat, dimana mereka telah berhasil melompat dari periode klasik ke medieval dan selanjutnya ke modern dengan tiap periode mempunyai ciri khas epistemologinya msaing-masing. Hal ini berbeda dengan peradaban Arab yang sepanjang sejarahnya hanya mengenal epistemologi yang sama. Atas dasar ini Jabiri kemudian sampai pada kesimupulan bahwa akal Arab sama sekali tidak berubah bahkan sejak dari zaman jahiliyyah. Selanjutnya ia menekankan bahwa akal Arab Islam bukan akal sababiyyah (sebab akibat), tidak emperikal dan rasional. Fungsi

Adapun sistem episteme ‘irfani adalah sistem filsafat yang dikembang oleh para sufis yang dipengaruhi dimana intuisi memegang peran penting dalam menggapai kebenaran dan memperoleh ilmu. Akal pada ketika ini, menurut Jabiri, menjadi pensiun (al-‘aql al-mustaqil). Sistem ini disebut Jabiri sebagai alla ma’qul ‘aqli. Menutunya lagi sistem ini dianut oleh pemikir seperti Ibn Sina, al-Ghazali, Shi’ah Isma’iliyyah, dan al-imamiyyah. Bagi Jabiri sistem inilah yang menjadi biang kedok kejumudan Islam.

 Adapun episteme burhani adalah episteme yang dibangun oleh filsafat Arab yang berekembang si Afrika Utara dan Spanyol. Ibn Rushd menurut Jabiri merupakan sosok yang paling sempurna merepresentasikan tipe burhani ini.[51] Tipologi sistem ini tidak berpegang pada nass semata, juga tidak pada intuisi, tapi pada akalnya Ibn rushd dan eksperimen-nya Ibn Khaldun. Sesungguhnya, katanya lagi, inilah yang membuat barat maju seperti sekarang ini. Para saintis Barat telah dengan jitu mengaplikasikan semangat rasionalisme Jabiri dan emperisismenya dalam sistem peradaban mereka. Oleh sebab itu, lanjutnya, kalau kita ingin maju bersaing dengan realitas yang ada kita harus dapat mengembangkan semangat rasioanlisme dan juga ekmperisisme.

Tidak dinafikan bahwa Jabiri telah memerikan kontribusi signifikan dalam pemikiran Arab Islam kontemporer. Namun apakah disadarinya atau tidak, jabiri telah melakukan beberapa kesalahan. Misalnya dalam usahanya untuk membuktikan dan mempertahanakan rasionalitas mazhab ala Arab Maghribi, dimana dia menjadi bagian daripadanya, Jabiri sering melakukan pemilahan atas turats-turats yang hanya mendukung pendapatnya saja. Misalnya dia hanya berpegang kepada empat buku teks dari Syiah untuk membuktikan keterpengaruhan dengan budaya asing pemikiran ini. Sementara untuk membuktikan hal yang sama dari kelompok sunni dia hanya memilih yang punya kecendrungan salafi ash’ariyyah seperti Maqalat Islamiyyin-nya Imam al-Ash’ari, al-Farq bayn Firaq-nya ‘Abdul Qahar, Mihayah al-Aqdam-nya Shahrastani, al-Masail fi al-Khilaf bayn al-Basriyyin wa al-Baghdadiyin-nya Ibn Rushd al-Naysaburi, dan al-Fatawa-nya Ibn Taimiyyah.[52] Apa yang lebih fatal lagi adalah bahwa Jabiri disebut Tarabisi, telah melakukan praktik plagiat,  karena tidak menyebutkan sumber rujukan ide-idenya,  meskipun secara jelas ide itu berasal dari orang lain. Jabiri, kata Tarabisi, sering memplintir tulisan orang lain — secara sadar atau tidak —  sesuai dengan keinginannya. Kajiannya tidak orisinil. Oleh sebab inilah, banyak penulis seperti ‘Ali Harb yang menilai bahwa kajian turats Jabiri penuh dengan muatan ideologis, Arab centrism.[53]

Dalam hubungan ini, Jabiri menekankan bahwa penilaian sempurna tentang tradisi filsafat Arab-Muslim mesti dimulai dari periode penulisan (asr al-tadwin). Berbeda dengan kebanyakan pemikir lain, Jabiri berkseimpulan bahwa fondasi dasar Akal Arab itu bukan bermula pada periode Rasulullah dan zaman khalifah al-Rashidun, tapi pada masa-masa selanjutnya. Dan Jabiri percaya sekali bahwa filsafat didunia Islam hanya untuk tujuan politik sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan.[54] Artinya,  hatta Islam pun, bagi Jabiri, tidak memberikan pengaruh apa-apa dalam dunia keintelektualan Islam. Menurut Jabiri ada tiga model epistemologis yang berkembang pada periode penulisan ini, Bayani, ‘Irfani, dan Burhani.

Menurut S.M.N. al-Attas bahwa kedatangan al-Qur’an merupakan sebuah revolusi besar-besaran dalam pemikiran masyarakat ketika itu. Ia bukan saja merubah sistem dan struktur masyarakat Jahiliyyah tapi yang terpenting adalah mentransformasikan worldview yang dianut ketika itu, dari yang bersifat wordly oriented kepada divinely oriented. Proses inilah yang disebut al-Attas sebagai Islamisasi. Dalam tulisannya dia mengunggkapkan.

 

The truth was that the revelation of the holy Qur’an in Arabic caused a revolution in the language; the jahili mind was engulfed in conceptual upheval and dissolved in utter disarray by it. The Arabic of the holy Qur’an not only sounded strange and yet compellingly magical to him, but it meant drastic change in the familiar mental forms the language once projected to his vision.[55]

Penggalan episteme yang dibuat oleh Jabiri ini sebenarnya telah banyak mendapat kritikan. Bukan saja karena tidak secara komprehensif menggambarkan sejarah perjalanan Akal Arab karena tidak dapat mencakup tipologi pemikiran sastra dan orang awam (folk), tapi juga karena dia tidak menggunakan metodologi yang tepat dalam pengkajiannya dan juga tidak konsisten. Toha Abdurrahman, misalnya, adalah salah seorang yang paling kritis menilai bangunan epistemologi dan metodologi Jabiri dalam mengkritisi turats. Bahkan dia sampai kepada kesimpulan bahwa  Jabiri sendiri mungkin tidak memahami dengan baik metodologi yang dia gunakan.[56] Inilah salah satu penyebab yang menjadikannya tidak bersikap kosisten. Menurut Abdurrahman, Jabiri mengajak untuk membaca turats secara komprehensif. Padahal, prakteknya, kajiannya senidiri yang sangat parsial. Buktinya,  adalah penggalan epistemologi yang dibuatnya. Menurut Jabiri,  setiap konstruk epistemologi adalah berdiri sendiri dan menghasilkan ilmu spesifik pula. Epistemologi Bayani, misalnya, telah menghasilkan fiqh, usul fiqh, tafsir, dan kalam, sementara Irfani melahirkan tasawwuf, dan Burhani menelurkan filsafat. Dengan pola pikir seperti itu, sebenarnya Jabiri telah bersikap parsial (tajzi’iyyah), padahal dia menyatakan, bahwa Fiqh, Usul Fiqh, Tafsir, Nahu, Balaghah adalah merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.[57] Artinya,  seorang ahli fiqh bisa berpikir dalam kerangka bayani, irfani, dan burhani. Seorang Ghazali adalah pemikir yang menggunakan epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani sekaligus. Kenyataan ini berlawanan dengan pernyataannya yang mengkategorikan pemikiran Ghazali kepada bentuk Bayani dan Irfani, dan tidak Burhani sama sekali. Masih banyak lagi kelemahan-kelemahan model yang ditawarkan Jabiri untuk mengkaji Turats yang telah dibahas oleh para intelektual lain.[58] Sehingga Prof. Nuruddin al-Ghadir berkesimpulan bahwa sesungguhnya buku-buku Jabiri itu tidak layak terbit, karena pada prinsipnya kajian-kajiannya dalam turats bukan untuk merekonstruksi turats, tapi malah menghancurkannya. Ghadir menuliskan “berdasarkan fakta ini (kritik yang dilakukannya), maka sesungguhnya proyek Jabiri itu pada akhirnya hanya akan mencabik-cabik turats pada tahap yang sangat jauh, bahkan mencabik ekistensi budaya ummat Islam.” (wa bihadha fainna al-Jabiri fi nihayah mahsru’ihi yasilu ila tajazzu’i al-turats fi ab’ad mustawiyatihi, bal wa tajazzu’i kiyan al-ummah al-islamiyyah al-thaqafi). Sesungguhnya bila kita secara cermat dan jujur mengkaji model-model kajian turats yang ditawarkan oleh para pemikir kontemporer Arab Muslim yang lain, maka besar kemungkinan kita juga akan sampai pada kesimpulan seperti yang dibuat oleh al-Ghadir ini.

Baik sadar atau tidak Jabiri sebenarnya telah hanyut kedalam rentak kelompok liberal yang menurutnya menjadikan peradaban Barat sebagai model ideal dalam membangun kembali peradaban Islam. Gagasan Jabiri yang perlu dipertanyakan juga adalah keinginannya agar umat Islam melakukan epistemic rupture sebagaimana yang dilakukan Barat. Alasannya karena, menurut Jabir proses ini sudah pernah dilakukan oleh Ibn Rusd. Yaitu ketika Ibn Rush telah berhasil memutus hubungan epistemologinya dengan mazhab pemikiran yang dibangun Ibn Sina dan al-Ghazali, yang menurutnya secara kuat terpengaruh oleh pemikiran Hermeticism Yunani. Tapi benarkah Ibn Rushd berhasil melepaskan diri dari jaringan pemikiran yang dibangun oleh ahli falsafah Arab Timur dengan mazhab peripatetiknya. Rasanya Jawabannya adalah negatif. Sebab realitasnya Ibn Rushd sebagaimana al-Farabi dan Ibn Sina terpengaruh oleh pemikiran Yunani. Karya-karyanya dikenal sebagai the best “Commentator of Aristotle”. Komentar-komentarnya terhadap Aristotle telah menjadi standard literatur di universitas-universitas Barat pada akhir abad ke 17.[59] Ibn Rushd sangat menaruh hormat yang sangat tinggi terhadap Artitotle. Dia mendiskripsikan ketokohan Aristotle sebagai “the rule in nature and the model that the nature produced to show the ultimate in human perfection.”[60]

Memang benar bahwa Ibn Rushd bukan tipikal, “a slavish follower of Aristtole,”[61] tapi ahli filasafat yang telah berhasil memberikan arah tersendiri dalam filsafat. Namun Jabiri tidak dapat menafikan bahwa pada Ibn Rushd-lah tradisi filsafat peripatetik mencapai titik kulminasinya.[62]

Sayangnya dalam kancah pemikiran di Indonesia, perbedaan-perbedaan ini jarang dikedepankan, sehingga seolah-olah pikiran-pikiran Jabiri, Nasr Hamid dan lainnya, ditampilkan nyaris tanpa cacat, sebagai alternatif baru yang menjanjikan kemajuan bagi umat Islam. Menurut George Tarabisyi betapapun beragamnya model pembacaan turats yang diketengahkan oleh pemikir Arab kontemporer tersebut, sesungguhnya semuanya justru berakhir pada pemenggalan/penjagalan turats itu sendiri (madhbahah al-turats).[63]

 

 


* Makalah disampaikan pada Seminar Sehari “Kajian Pemikiran Islam Kontemporer”, Ahad, 22 Mei 2005, bertenpat di International Islamic University Malaysia.

[1] Sadiq mencoba menjawab beberapa kritikan tersebut dalam cetakan terbaru buku ini. Lihat Sadiq Jalal al-‘Azam, Naqd al-Fikr al-Dini, cet. 7 (Bayrut: Dar al-Tali;ah li al-Tiba’ah wa al-Nashr, 1994).

[2] Tarikhiyyat al-Fikr al-‘Arabi al-Islami, (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi, 1986). Diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh  Rahayu S. Hidayat dan diberi judul Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru (Jakarta: INIS, 1994).Secara literal judul buku tersebut berarti Nahwa Naqd al-Aql al-Islami. Menurut Hashim Saleh, judul buku tersebut sengaja tidak diterjemhkan secara literal karena dikhawatirkan akan mengundang kritik dan reaksi keras kelompok Muslim yang lain, khususnya para ulama.

 

[3] Lihat: Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Al-Khitab al-‘Arabi al-Mu’asir, cet.4 (Bayrut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1992), 15.

[4] Bayrut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1989, cet.4.

[5] Menurut Kamal Abdul Latif meskipun kedua tokoh ini menggunakan predikat yang berbeda untuk mesdikrisikan Akal yang menjadi objek kritikan mereka, seacara substansial keduanya tidak mempunyai pandangan yang berbeda dalam melihat permasalahan umat Islam. Keduanya percaya bahwa sudah masanya umat Islam melakukan dekonstruksi atas pemikiran Islam klasik yang selama ini mendominasi alam pemikiran Islam. Dalam pandangan Abdul Latif sesungguhnya karya kedua pemikir ini bila dibaca secara seksema akan terlihat saling melengkapi. Lihat Kamal ‘Abdul Latif, “Mashru’ al-Naqd fi Qira’ah al-Turath, hawl al-takamul fi aرmal Muhammad ‘Abid al-Jabiri wa Muhammad Arkoun,” dalam Majallah Mustaqbal al-‘Arabi, no. 86, April 1986, 25-44.

Pandangan berbeda diutarakan Ali Harb dalam menilai titik fokus pemikiran kedua tokoh ini. Menurut kritikus Arab ini, Arkoun menjadikan Islam itu sendiri sebagai objek kritikannya, oleh sebab itu tidak heranlah kalau dia menggunakan perkataan Kritik Akal Islam. Sementara Jabiri, melihat permasalahan utamanya adalah nasionalisme Arab, dan diskursusnya pun dia tujukan kepada masyarakat Arab, itulah sebabnya dia memilih perkataan al-Aql al-Arabi. Perbedaan kedunaya juga dapat dilihat dari segi strategi kritik. Kritik Arkoun langsung menohok pusat jantung Islam itu sendiri yaitu al-Qur’an dan Sunnah, sementara Jabiri menjauhkan diri dari mendiskusikan hal tersebut, karena merasa bahwa belum sampai masanya untuk berbuat demikian. Lihat ‘Ali Harb, Naqd al-Nas (Bayrut: Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993), 115-6.

[6] Qahirah: Maktabah Madbuli, 1990.

[7] Bayrut: Markaz Dirasat Wahdah ‘Arabiyyah, 1991.

[8] Hisham Sharabi, Al-Nizam al-Abawi wa Ishkaliyah Takhalluf al-Mujtama’ al-‘Arabi (Bayrut: Markaz Dirasat Wahdah ‘Arabiyyah, 1993)

[9] Al-Qahirah: Maktabah Anjlu Misriyyah, 1987. Cet.3

[10] Lihat misalnya Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982); Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini (Qahirah: Maktabah Madbuli, 1990); Abdullah Ahmad an-Na’im, Towards an Islamic Reformation (Syracuse: Syracuse University Press, 1990); ‘Abdul Hamid Abu Sulayman, The Criris of Muslim Mind, terj. Yusuf Talal Larenzo (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1991); dan Taha Jabir al-‘Ulwani, Islah al-Fikr al-Islami (Virginia: Al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami).

[11] Meskipun demikian ini kemudian tidak menjadikan pandangan Jabiri tentang beberapa isu yang selalu menjadi objek kritikan para intelktual kontemporer terutama masalah tatbiq al-shari’ah berbeda dengan pandangan liberalis lain. Sebagiamana yang lainnya, dia juga menekankan tentang prlunya mempertimbangkan prinsip maslahah dalam tatbiq shariu’ah, dia juga mempertanyakan relevansi hukum potong tangan bagi pencuri, dan hukum waris berkenanaan dengan wanita yang mendapat hanya separuh dari anak laki-laki, dan seterusnya. Lihat Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Al-Din wa al-Dawlah wa Tatbiq al-Shari’ah (Bayrut: Markaz Wahdah al-Dirasat al-‘Arabiyah), 171-4; Abdul Hadi Abdul Rahman, Sultah al-Nass, 115ff.

[12] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: International Institute of Islammic Thought and Civilization, 1993), 133.

[13] Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge, 37.

[14] Lihat Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution (Chicago: The University of Chicago Press, 1970).

[15] Egon G. Guba and Yvonna S. Lincoln, “competing Paradigm in Qualitative Research,” Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln (eds.), Handbook of Qualitative Research (California: SAGE Publication, 1994), 105, 107

[16] Lihat ‘Abd al-Wahhab al-Masiri, “Al-Fikr al-Gharbi: Mashru’ Ru’yah Naqdiyyah,”Islamiyyah al-Ma’rifah, no.5, Juli 1996, 125-138;idem, “Al-Yahudiyyah wa ma Ba’da al-Hadathah,” Islamiyyah al-Ma’rifah, no. 10, 1997, 93-122.

[17] Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Nahnu wa al-Turath (Al-Dar al-Bayda’: Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1983), 14.

[18] Al-Dar al-Bayda’: Dar al-Thaqafah, 1971. Buku ini kemudian diterbitkan di London dan telah mengalami beberapa cetak ulang.

[19] Al-Fikr al-Islami li Tullab al-Bakaluriya (Al-Dar al-Bayda’: Dar al-Nashr al-Maghribiyyah, 1966) dan Durus fi Falsafah li Tullab al-Bakaluriyya (Dar al-Bayda’: Dar al-Nashr al-Maghribiyyah, 1966).

[20] Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Al-‘Aql al-Akhlaqi al-‘Arabiyyah: Drasah Tahliliyah Naqdiyyah li Nuzum al-Qiyam fi al-Thaqafah al-‘Arabiyyah (Bayrut: Markaz Dirasat Wahdah ‘Arabiyyah, 2001); Tahafut al-Tahafut: intisaran li ruh al-‘ilmiyyah wa ta’sisan li akhlaqiyyat al-hiwar (Bayrut: Markaz Dirasat Wahdah ‘Arabiyyah, 1998); Qadaya al-Fikr al-Mu‘asir: al-‘awlamah, sira‘ al-hadarat, al-‘awdah ila al-akhlaq, al-tasamuh, al-dimaqratiyyah, wa nizam al-qiyam, al-falsafah, wa al-madaniyyah (Bayrut: Markaz Dirasat Wahdah ‘Arabiyyah,1997).

[21] Bayrut: Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi.

[22] Bayrut: Markaz Dirasat Wahdah ‘Arabiyyah, 1990.

[23] Bayrut: Markaz Dirasat Wahdah ‘Arabiyyah, 1997.

[24] Bayrut: Markaz Dirasat Wahdah ‘Arabiyyah, 1996.

[25] Bayrut: Markaz Dirasat Wahdah ‘Arabiyyah, 1996.

[26] Bayrut: Markaz Dirasat Wahdah ‘Arabiyyah, 1995.

[27] Bayrut: Markaz Dirasat Wahdah ‘Arabiyyah, 1995.

[28] Bayrut: Markaz Dirasat Wahdah ‘Arabiyyah.1995.

[29] London: Dar al-Saqi, 1999, cet. 2.

[30] Dimashq: Dar al-Dhakirah, 1996.

[31] Bayrut: Al-Markaz al-Thaqqfi al-‘Arabi, 1994.

[32] ‘Amman, Jordan: Dar al-Tanwir al-‘Ilmi, 1993.

[33] Sebagai infromasi bahwa sejak tahun 1990an projek intelektual seperti yang digagas Jabiri sepertinya sedang menjadi trend bagi pemikir Arab Muslim kontemporer. Beberapa pemikir liberal masing-masing tampil dengan projek intelektual mereka. Hasan Hanafi misalnya, tampil dengan projek al-Turath wa al-Tajdid, Tayyib Tizini dengan Min al-Turath ila al-Thawrah, Mohammad Arkoun dengan Naqd al-‘Aql al-Islami.

[34] Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Nahnu wa al-Turats, 13.

[35] Dikutip dari Muhammad Najib Butalib, “Qira’ah fi al-Qira’ah”, 147.

[36] Abdullah Larou, The Crisis of the Arab Intellectual (Berkeley: University of California, 1974), 153-154.

[37] Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Khitab wa al-Ta’wil, 180.

[38] Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini, cet. 3 (Sina li al-Nashr, tt), 93.

[39] Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nass (Bayrut: Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi), 24.

[40] M.A. Jabiri, Ishkaliyyat, 41.

 

[41] Adonis, “Khawatir Hawla Madhahir al-Takhalluf al-Fikrti fi al-Mujtama’ al-‘Arabi,” dalam Al-Adab, no. 5, Mei 1974.

[42] Dikutip dari Issa J. Boullata, Trends and Issues, 28.

[43] Diantara tulisannya yang mengkritik gerakan Islam adalah Al-Sahwah al-Islamiyyah fi Mizan al-‘Aql (Bayrut: Dar al-Tanwir li al-Tiba’ah wa al-Nashr, 1987), dan “al-Falsafah wa al-Din fi al-Mujtama’ al-‘Arabi al-Mu’asir,” dalam Al-Mustaqbal al-‘Arabi, no. 76, June 1987,  Untuk kritik atas artikel ini lihat Muhyiddin ‘Atiyyah, “Hawl Maqal al-Falsafah wa al-Din fi al-Mujtama’ al-Arabi al-Mu’asir li al-Duktur Fuad Zakariyya,” dalam Al-Mustaqbal al-‘Arabi, no. 90, 1987, 138-143.

[44] Muhammad Ahmad Khalafullah, “Al-‘Urubah wa al-Dawlah al-‘Almaniyyah,” dalam Al-Mustaqbal al-‘Arabi, no. 5, 1979. Pendapat yang sama pernah dia kemukakan dalam debat dengan kelompok Islam yang diwakili ketika itu oleh al-marhum Shaikh Muhammad al-Ghazali, al-marhum Hasan Hudaybi, dan Muhammad ‘Imarah. Sementara dari kelompok sekularis diwakili oleh dirinya sendiri bersama Faraj Fuda. Pandangan Ahmad Khalafullah ini telah dibantah oleh pemikir Muslim diatas. Lihat Misr bayn al-Dawlah al-Diniyyah wa al-Madaniyyah (Kairo: Al-Dar al-Misriyyah, 1992) 

[45] Ahmad Jawdah, Hiwarat Hawla al-Syari’ah (Kairo: Sina li al-Nashr, 1990), 14.

[46] Issa J. Boullata, Trends and Issues, 157-159.

[47] M.A.Jabiri, Al-Mashru’, 130.

[48] M.A.Jabiri, Nahnu wa al-Turats, 14.

[49] Lihat Taha ‘Abdurrahaman, Tajdid fi Taqwim al-Turats (Bayrut: Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1994), 34; Ibrahim Abu Rabi’s, “Toward a Critical Arab Reason: The Contribution of the Moroccan Philosopher Muhamad ‘Abid al-Jabiri,” Islamic Studies, no.1, 2003.

[50] Sepanjang pengetahuan penulis baru seorang pemikir Muslim Indonesia yang secara ekssplisit mendukung sistem epistemologi ala Jabiri ini, yakni Amin Abdullah. Lihat Amin abdullah, “Hermeneutika Kontribusi Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora Kontemporer dalam Studi al-Quran, makalah di presentasikan dalam Seminar Nasional Hermeneutikan Al-Qur’an: “pergulatan tentang penafsiran Kitab Suci”, Yogyakarta, 10 April 2003. Akan tetapi berbeda dengan penggaas ide ini, diatangan Amin sistem epistemologi ini sepertinya mendapat modifikasi. Antara modifikasi yang ia lakukan adalah usaha untuk menyatukan ketiga-tiga sistem epistemologi tersebut diatas dalam satu sistem epistemologi. Permasalahan adalah bahwa Amin tidak mencoba terlebih dahulu menguraikan simpulan problem yang ditonjolkan Jabiri pada setiap sistem epistemologi diatas. Bagi Jabiri tidak mungkin metodologi bayani dengan ‘irfani disatukan. Karena lahirnya sistem ‘Irfani pun dalam pandangannya sebagai bentuk pemberontakan terhadap dominasi bayani. Lantas bagaimana mendamaikan dua sistem ini kalau bukan dengan menegasikan seluruh tuduhan dan kritikan yang dialamatkan Jabiri.

[51] Muhammad ‘Abid al-Jabir,  Takwin al-‘Aql al-‘Arabi (Bayrut: Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi), 254. 

[52] Nur al-Din al-Daghir, “Dirasah Naqdiyyah fi al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’asir (al-Jabiri Namudhajan).” Al-Minhaj, no. 28, 2003, 45-46.

[53] lihat ‘Ali Harb, Naqd al-Nass (Bayrut: Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993), 119.

[54] M. A. Jabiri, Nahnu wa al-Turats, 35.

[55] S.M.N. Al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: The International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1999), 9.

[56] Toha ‘Abdurrahman, Tajdid, 42.

[57] Ibid., 30.

[58] Rujuk hal.4.

[59] Oliver Leaman, “Averroes and the West”, in Mourad Wahba and Mona Abousenna (eds.), Averroes and the Enlightenment (Ahmerst, New York: Prometheus Books, 1996), 57.

[60] Armand A. Maurer, Medieval Philosophy (Toronto, Canada; Pontifical Institute of Medieval Studies, 1982), 100. 

[61] Oliver Leaman, Averroes and his Philosophy (London: Curzon Press, 1998), 8.

[62] Arthur Hyman and James J. Walsh (eds.), Philosophy in the Middle Ages (Indianapolis: Hacket Publishing Company, 1986), 293; and M. Saeed Sheikh, Islamic Philosophy (London: The Octagon Press, 1982), 131.

[63] Lihat George Tarabishi, Madhbahah al-Turats (London: Dar al-Saqi, 1993).

Last modified: 21/09/2010

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *