KH Misbach, Sang Penerang Umat

Written by | Opini

Oleh: Anwar Djaelani

Inpasonline.com – KH Misbach –setidaknya bagi aktivis dakwah di Jawa Timur- adalah ulama yang tak akan mudah dilupakan. Hal ini terjadi karena jejak dakwahnya sangat panjang, sejak zaman penjajahan sampai di alam kemerdekaan. Lebih jauh, siapakah kiai yang oleh Herry Mohammad di buku “KH Misbach: Pesan dan Kesan” (terbit 1986) disebut sebagai  ulama-intelektual itu?

Terukir Panjang

Misbach lahir di Tuban pada 16/06/1914. Tokoh ini berperawakan sedang tapi berpostur relatif tinggi untuk rata-rata orang. Sampai 1935 dia masih tinggal bersama orang-tuanya di Tuban.

Misbach tumbuh-kembang di lingkungan keluarga yang terkategori sebagai orang biasa, dalam pengertian bukan dari kalangan kiai / ilmuwan atau pejabat. Orang-tuanya berprofesi pedagang.

Pendidikan Misbach diawali di Madrasah Al-Ulumi Al-Islamiyah, di kompleks Masjid Jami’ Tuban. Setelah tamat, dia lalu mengenal KH Fathurrahman -lulusan Al-Azhar Mesir- yang mendirikan Madrasah Al-Hidayah Al-Islamiyah Tuban. (Catatan: Di belakang hari, KH Fathurrahman menjabat Menteri Agama RI menggantikan Prof. Rasyidi).

Di Madrasah Al-Hidayah Al-Islamiyah Tuban, Misbach menyelesaikan tsanawiyah-nya. Tanpa putus, dia langsung ke jenjang aliyah di madrasah yang sama. Itupun dirasa tak cukup, karena di malam hari Misbach masih belajar di Pesantren Makam Agung dengan mengaji kitab-kitab agama berbahasa Arab terutama dalam masalah fiqih.

Selepas menyelesaikan aliyah, Misbach diminta menjadi guru di ‘almamater’-nya. Sembari mengajar di pagi-siang, di malam hari dia tetap menambah ilmu dengan mengaji kitab-kitab agama.

Di masa-masa inilah bakat kepemimpinannya tumbuh. Memang, keadaan di sekitarnya turut memberi andil yaitu meluapnya semangat muda untuk melawan tentara Jepang yang baru masuk Indonesia untuk menjajah. Maka, dibentuklah Persatuan Pemuda Al-Hidayah dan Misbah menjadi ketuanya.

Di masa sulit itu, organisasi yang diketuai Misbach tersebut terus berkembang dan berpengaruh sampai ke Lamongan, Babat, Gresik, dan Surabaya. Sayang, Jepang yang melihatnya sebagai sebuah ancaman, membubarkan Persatuan Pemuda Al-Hidayah. Bahkan, nasib yang sama juga menimpa sang ‘induk’ yaitu Madrasah Al-Hidayah Al-Islamiyah Tuban.

Setelah itu datang masa baru. Misbach pindah ke Bojonegoro. Di kota ini, dia yang memang suka menimba ilmu, bisa mendapatkannya dari berbagai forum yang rajin diikutinya. Misal, Misbach aktif di organisasi pemuda Hizbullah. Setelah itu, dia bergabung dengan kelompok dewasa yaitu Sabilillah. Dari lingkungan-lah Misbach banyak mendapat pengetahuan dan pengalaman baru yang pada gilirannya nanti turut mengantarkannya sukses mengemban amanat di sejumlah ‘posisi’ strategis.

Jika di Tuban Misbach pernah menjadi guru, maka di Bojonegoro berbagai jabatan pernah dipegangnya. Misal, Misbach pernah menjadi Wakil Kepala Kantor Agama Bojonegoro (pada 1943), anggota Badan Eksekutif (semacam Badan Pekerja Harian) Karesidenan Bojonegoro (juga di zaman penjajahan Jepang). Lalu, di awal masa kemerdekaan RI, Misbah menduduki jabatan sebagai Kepala Kantor Agama Karesidenan Bojonegoro menggantikan KH Fathurrahman yang ‘naik’ menjadi Menteri Agama.

Minat Misbach yang tak pernah henti atas masalah-masalah sosial-kemasyarakatan membawanya untuk tetap terlibat dalam percaturan politik praktis. Pada 1955, lewat Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) Misbach terpilih sebagai anggota Konstituante (semacam DPR/MPR).

Misbach aktif di Masyumi sampai 1960, saat Presiden Soekarno membubarkannya. Selepas itu dia lebih memfokuskan diri di dunia dakwah dengan memberikan pengajian di berbagai tempat.

Pada 1964 Misbach terpilih sebagai Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) Jawa Timur. Adapun DDII adalah organisasi dakwah yang dilahirkan oleh tokoh-tokoh Masyumi seperti –antara lain- M. Natsir.

Prestasi dakwah Misbach terus terukir. Pada 1975 Misbach terpilih sebagai salah satu Ketua Majelis Ulama Indonesia – Jawa Timur. Dia juga pernah tercatat sebagai Pembina Masjid Al-Falah Surabaya. Misbach pernah pula menjadi Kepala Departemen Agama Provinsi Jawa Timur.

Misbach tergolong unik. Dia kiai yang bukan keturunan kiai. Dia juga kiai yang tak pernah memiliki pesantren. Terasa, masyarakatlah yang secara diam-diam menyematkan ‘gelar’ kiai kepada tokoh yang tak lelah berceramah di mana-mana, bahkan sampai jauh di berbagai pelosok pedesaan itu.

Dalam hal cara berdakwah, Misbach sangat menekankan untuk selalu berpegang kepada ajaran mulia ini: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmahdan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS An-Nahl [16]: 125).

Terkait dengan dakwah, sebenarnya sangat banyak karya tulis Misbach. Karya-karya itu berupa naskah pidato, ceramah ilmiah, makalah untuk sebuah diskusi atau seminar, dan lain-lain. Misbach berbicara di banyak tema, seperti soal urgensi penegakan aqidah, strategi dakwah, peran umat dalam pembangunan bangsa, lingkungan hidup, dan lain-lain. Sayang, naskah-naskah itu tak sempat dihimpunnya. Padahal, andai naskah-naskah itu dikumpulkan, disistimatika, dan disunting, sangat mungkin akan lahir buku-buku yang nilai gunanya akan berumur sangat panjang. Di titik ini, ada pesan penting: Bahwa kepada semua muballigh sangat penting kiranya untuk rajin mendokumentasikan semua naskah yang pernah dibuatnya.

Sebagai pejuang dakwah, Misbach memiliki pergaulan yang luas. Sahabat-sahabatnya sangat banyak. Di tingkat nasional, antara lain dia bersahabat dengan M. Natsir dan KH Wahid Hasyim. Di Surabaya atau Jawa Timur, dia antara lain bersahabat dengan KH Abd. Wahid Suyoso dan KH Syafi’i A. Karim.

Sang Lampu

Misbach yang meninggal pada 1998 adalah sosok teladan. Dia selalu peduli atas usaha menyelesaikan persoalan-persoalan di tengah masyarakat. Dia seorang pembelajar yang selalu haus ilmu dan pada saat hampir bersamaan berusaha untuk menyampaikannya ke masyarakat. Alhasil, ada kesan kuat bahwa Misbach –sebagaimana filosofi dari namanya- adalah orang yang berguna di masyarakat seperti sebuah lampu yang dapat menerangi sekitarnya. []

Last modified: 28/08/2014

2 Responses to :
KH Misbach, Sang Penerang Umat

  1. An sandjaya says:

    Apakah kyai misbah ini termasuk kerabat KH fathurrahman kafrawi ?? kalo benar tentunya beliau lahir dari keluarga santri dan kyai..

  2. wiwik afifah says:

    assalamualaikum kalau boleh tau dapat bukunya dari mana ya? soalnya pengen baca bukunya tapi nggak tahu cari di mana.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *