Karakteristik Pemikiran Liberal

Written by | Opini

Demikian juga dalam perang pemikiran (ghozwul fikri), umat Islam harus mengetahui musuh yang dihadapi. Salah satunya adalah karakteristik pemikirannya. Pengusung dan pendukung Islam Liberal sebagai salah satu musuh umat Islam dalam ghazwul fikri, sudah tentu harus dikenal dengan baik pemikiran mereka. Tujuannya agar  umat Islam mengetahui seberapa jauh penyebaran pemikiran mereka dan paham apa yang harus dilakukan.

Tulisan ini mencoba mengungkap beberapa karakteristik para pengusung pemikiran Islam liberal, yang meliputi:

Pertama, mereka percaya pada Allah, tapi bukan Allah yang memiliki sifat-sifat yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. Mereka tidak menyukai Allah yang menentukan mana yang baik dan yang buruk bagi manusia. Mereka juga tidak menyukai Allah yang membuat berbagai aturan bagi manusia sehingga mengurangi kebebasan manusia untuk berbuat dan berkreasi. Mereka lebih menyukai konsep Tuhan yang diambil dari akal manusia, yaitu Tuhan yang tidak mencampuri urusan individu manusia. Mereka berkeyakinan bahwa akal lah yang berhak membuat aturan bagi manusia. Akal juga yang bisa menentukan baik-buruknya manusia, tidak boleh ada yang membatasi akal, termasuk Tuhan dan agama. Karenanya mereka menyebarkan berbagai opini ke masyarakat supaya umat Islam juga menganggap bahwa akal-lah yang berhak membuat aturan hidup bagi manusia. Akal yang menentukan mana yang baik bagi manusia dan mana yang buruk bagi manusia. Di antara opini-opini itu antara lain adalah bahwa aturan yang ada di Al-qur’an, hanya untuk masa di mana al-Qur’an diturunkan. Tidak untuk zaman sekarang ini, apalagi masa depan. Karenannya, manusia dengan akalnyalah yang harus ”menafsir” ulang dan menyesuaikan al-Qur’an dengan kondisi saat ini.

Ada juga di antara mereka yang mengatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang berlaku pada zaman ini adalah ayat-ayat makkiyah saja yang berisi tentang ajaran-ajaran agama secara global dan bersifat universal. Sedangkan ayat-ayat madaniya yang banyak menjelaskan tentang aturan-aturan kemasyarakatan, mereka anggap hanya berlaku untuk masyarakat di zaman itu. Karenanya mereka akan menentang penerapan perda  syari’ah karena dianggap sebagai aturan masyarakat primitif.

Ada juga di antara mereka yang mencoba membuat keraguan umat terhadap kesakralan dan keotentikan Al-Qur’an sebagai wahyu Allah Swt. Diantaranya mereka mengatakan, ”Al-Qur’an merupakan produk budaya Arab (muntaj tsaqafi)”, ”Al-Qur’an adalah karangan Muhammad”, dan lain-lain. Dr. Luthfi Assyaukanie, aktivis Islam Liberal, mengejek keyakinan umat Islam terhadap al-Qur’an dengan ungkapannya sebagai berikut: ”Sebagian besar kaum muslim meyakini bahwa al-Qur’an dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdzan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum muslim juga meyakini bahwa Al-Qur’an yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam”. (lihat dalam Ijtihad Islam Liberal, 2005, hal. 1).

Di antaranya ada juga yang mengatakan bahwa mushaf utsmani yang beredar dan dibaca di kalangan umat Islam saat ini, bukanlah al-Qur’an yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw, karena saat penyusunan mushaf utsmani terdapat kepentingan-kepentingan politik dari Khalifah Utsman. Inti dari itu semua adalah supaya umat Islam ragu terhadap al-Qur’an dan tidak menjadikan Allah sebagai pembuat aturan bagi manusia. Boleh menggunakan aturan Allah, asal aturan itu sesuai dengan akal rasio manusia. Jadi bukannya akal yang mengikuti aturan Allah (al-Qur’an dan Hadits), akan tetapi aturan Allah-lah yang harus sesuai dengan akal manusia. Apabila tidak sesuai, harus dicari penafsiran-penafsiran sehingga aturan itu menjadi sesuai dengan akal rasio manusia. Sehingga muncullah hermeneutik, metode yang mereka gunakan untuk ”menafsiri” al-Qur’an supaya sesuai dengan akal rasio. Dengan hermeneutik inilah mereka ”menafsiri” ayat-ayat yang ingin mereka buat supaya sesuai dengan akal pikiran mereka.

Bila usaha aktivis Islam Liberal ini dibiarkan terus menerus dan akhirnya mempengaruhi umat, bisa jadi akan menghasilkan keadaan umat yang mirip dengan gambaran yang diberikan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang perubahan keyakinan orang Barat ketika menerima pemikiran liberal. Mereka yang sebelumnya percaya God created man, telah berubah menjadi Man created God.

Kedua, Islam liberal menganggap bahwa kebenaran Islam itu tidak absolut. Mereka menyebarkan opini bahwa kebenaran adalah bukan milik umat Islam saja, tapi semua agama sama-sama benar. Sebab sama-sama jalan menuju Tuhan yang satu.
Agama yang diridloi Allah bukan hanya agama Islam saja. Surga juga bukan hanya untuk umat Islam saja tapi juga untuk umat agama lain. Seseorang menjadi religius bukan hanya agama yang menjadi faktor utamanya. Orang kafir termasuk ateis pun bisa jadi moralis dan religius, bahkan melebihi umat Islam sehingga berhak menyandang gelar ”Nabi” dan otomatis mereka berhak mendapatkan surga. (ingat! Para Nabi Allah semuanya beragama Islam). Dengan alasan ini, Islam liberal mendorong dan mendukung kebebasan dan toleransi beragama (lihat karakteristik yang kelima)

Ketiga, mereka tidak mempertimbangkan lagi kaidah-kaidah dalam istimbatul ahkam yang disepakati para ulama. Namun kadang mereka juga mencomot kaidah-kaidah tertentu untuk mendukung pemikiran mereka. Bahkan tidak jarang mencomot suatu kaidah yang sudah populer di kalangan umat, namun maknanya sudah dibelokkan dari makna semula. Memang mereka tidak mempunyai sistem yang baku dalam pengambilan hukum (istimbatul hukm) dari nash al-Qur’an dan hadits. Jalan dan metode apapun yang mereka gunakan untuk mendapatkan produk hukum yang mereka inginkan, dan tidak terikat dengan kaidah-kaidah yang telah disepakati para ulama. Itu semua mereka lakukan dalam rangka membuat ”interpretasi baru” terhadap agama. Dan interpretasi baru itu tidak mungkin mereka dapatkan apabila mereka masih menggunakan kaidah-kaidah yang disepakati oleh para ulama dalam istinbatul ahkam.  Biasanya interpretasi baru terhadap agama yang mereka inginkan adalah seputar kebenaran absolut agama Islam, gender, hak asasi manusia, dan lain-lain.

Selain itu, mereka juga ingin menghilangkan otoritas ulama dalam berijtihad, yaitu dengan menyebarkan opini agar umat Islam tidak lagi terikat dengan hasil ijtihad, fatwa dan interpretasi para ulama, karena pada dasarnya, menurut para aktivis liberal,  setiap manusia adalah ulama dan dengan akalnya masing-masing, setiap manusia bisa membuat interpretasi sendiri terhadap agama.

Keempat, mereka mendorong pemisahan negara dari agama. Agama tidak boleh masuk politik karena agama itu suci, sedang politik itu kotor. Segala sesuatu dan usaha yang dianggap akan memasukkan nilai-nilai agama dalam negara dan politik, akan mereka tolak. Tidak hanya itu saja, mereka juga berusaha membuat opini di masyarakat supaya pola pikir masyarakat sesuai dengan pola pikir mereka. Penerbitan Perda Syari’ah mereka tentang dengan alasan menyebabkan diskriminasi. Partai politik berazaskan agama pun tidak mereka setujui. Mereka berargumentasi dengan sejarah kelabu yang terjadi di Eropa masa lalu, yaitu ketika kerajaan-kerajaan di Eropa pada saat itu memaksakan suatu agama/sekte dan menekan agama/sekte lain. Yang terjadi adalah pembunuhan dan penyiksaan para penganut agama atau sekte minoritas. Namun sayangnya aktivis Islam liberal mengabaikan atau sengaja menyembunyikan tentang fakta sejarah ketika Islam memimpin dunia. Yang terjadi bukanlah penindasan, akan tetapi kemakmuran, keadilan dan toleransi. Selain itu pemikiran tentang pemisahan negara dan agama juga dilandasi oleh konsep mereka tentang Tuhan (lihat karakteristik yang pertama). Mereka tidak mengakui ke-universalitas-an (syumuliyyah) Islam. Mereka tidak mau Islam mengatur seluruh kehidupan manusia. Menurut mereka akal-lah yang berhak mengatur manusia. Bukan Islam ataupun Tuhan.

Kelima, percaya penuh pada kebebasan dan toleransi beragama. Kebebasan beragama sepenuhnya berarti bukan hanya kebebasan dalam beragama tapi bebas dari agama juga. Dengan kata lain bebas beragama dan bebas untuk tidak beragama. Mereka berusaha untuk meniadakan istilah kafir, murtad dan berusaha untuk mengabaikan dan mengubah perlakuan dan/atau sanksi-sanksi yang ditetapkan oleh agama terhadap kedua golongan itu. Mereka lebih senang dengan menggunakan istilah non muslim, karena lebih netral. Mereka juga akan selalu membela ajaran-ajaran sesat yang bermunculan. Kesemuanya itu mereka lakukan dengan menggunakan jargon membela hak asasi manusia (hak kebebasan sebebas-bebasnya). Namun sayangnya, mereka cenderung tidak memberi kebebasan bagi umat untuk menerapkan syari’ah dalam kehidupan mereka. Ini menunjukkan cara pandang ganda dari para aktivis liberal.  Wallohu a’lamu bish-showab.

 

Last modified: 25/07/2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *