Indonesia Ideal Menurut KH Hasyim Asy’ari

Written by | Opini

Oleh: A Kholili Hasib

“Belanda telah merusak kehormatan negara kita dan mengeruk kekayaan. Belanda telah mencoba memisahkan ulama dari umat. Dalam berbagai hal, Belanda telah merusak kepercayaan umat terhadap ulama dengan berbagai cara.” (K.H. Hasyim Asy’ari)

————

Hasyim asyari-imagesInpasonline.com-K.H. Hasyim Asy’ari (1871-1947) — pendiri NU — merupakan salah seorang tokoh Islam di Indonesia yang hidup dalam tiga masa; penjajahan Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1964 berdasarkan Keputusan Presiden No. 294/1964 KH. Hasyim Asy’ari diakui sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional atas jasa-jasanya dalam memperjuangkan Indonesia dari penjajahan.

Dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, peran ulama tidak bisa diabaikan. Konon, pada detik-detik menjelang pengumuman kemerdekaan, Bung Karno tak melupakan ulama untuk diminta nasihatnya. Di Cianjur ia menemui dua ulama besar, yaitu KH. Abdul Mukti dari Muhammadiyah, dan KH. Hasyim Asy’ari dari NU untuk meminta masukan tentang kemerdekaan Indonesia.

Pada zaman perang kemerdekaan, KH. Hasyim Asy’ari meminta agar umat Islam Indonesia ikut serta berkontribusi untuk Indonesia. Sebagai komponen terbesar, Muslim Indonesia harus berada pada peran vital. Baginya, Indonesia harus dibangun oleh para cerdik pandai Muslim, bukan orang asing. Pada tahun 1945, para kiai NU se-Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya mengadakan pertemuan khusus yang dimpimpin oleh KH. Wahab Hasbullah. Dalam kesempatan itu, KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan tausiyah tentang kewajiban umat Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan. Berpijak dari tausiyah itu, maka pertemuan tersebut mengeluarkan resolusi yang dikenal dengan ‘resolusi jihad’.

K.H. Hasyim Asy’ari adalah pejuang yang dikenal tidak pernah mau tunduk kepada penjajah Belanda dan Jepang. Ia sering dibujuk Belanda untuk tunduk, namun selalu ditolaknya. Akibat sikapnya yang non-kooperatif terhadap Belanda ini, pesantren Tebuireng pernah dihancurkan Belanda.

Pada sekitar tahun 1935, Belanda memainkan politik tipu muslihat. Gubernur Belanda bersikap melunak kepada pesantrennya. Pemerintah penjajah menawarkan bantuan. Tidak cukup itu, Belanda mengumumkan akan memberikan gelar Bintang Perak kepada KH. Hasyim Asyari atas jasanya dalam mengembangkan pendidikan Islam. Tetapi gelar kehormatan dalam bidang pendidikan dan bantuan itu ia tolak.

Penjajah Belanda tidak putus harapan. Untuk kedua kalinya KH. Hasyim Asy’ari didekati dengan melakukan lobi-lobi melalui orang-orang suruhan Belanda. Menyampaikan maksud dari pemerintah Belanda akan memberikan gelar yang lebih tinggi lagi yaitu memberikan Bintang Emas. Pemberian kedua ini pun ia tolak sekali lagi. Sebab beliau tahu bahwa pemberian gelar itu cuma akal-akalan Belanda supaya beliau jinak kepada penjajah asing (KH. Saifudin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, hal. 607).

Kyai Hasyim mengharamkan menerima bantuan Belanda. Siapa saja yang menerima dianggap berkhianat terhadap Islam dan Indonesia. Maka kurikulum pesantren pun murni, tidak ada pesanan penjajah, sistem juga tidak diubah ikut-ikutan sistem Belanda yang sekuler itu. Penolakan terhadap penjajah asing sudah mendarah-daging dalam diri santri di sejumlah pesantren di bumi Nusantara ini. Pesantren yang didirikan — juga pesantren-pesantren umumnya di tanah Jawa — pada masa itu dijadikan benteng perjuangan dan agen perubahan sosial.

Kyai Hasyim pernah menyampaikan pidato tegas dalam acara pertemuan ulama seluruh Jawa Barat di Bandung. Ia mengatakan: “Kita seharusnya tidak lupa bahwa pemerintahan dan pemimpin mereka (Belanda) adalah Kristen dan Yahudi yang melawan Islam. Memang benar, mereka seringkali mengklaim bahwa mereka akan netral terhadap berbagai agama dan mereka tidak akan menganak emaskan satu agama, akan tetapi jika seseorang meneliti berbagai usaha mereka untuk mencegah perkembangan Islam pastilah tahu bahwa apa yang mereka katakana tidak sesuai dengan apa yang mereka praktekkan. Kita harus ingat bahwa Belanda berusaha agar anak-anak kita menjauhkan mereka dari ajaran-ajaran Islam dan mencekoki mereka dengan kebiasaan buruknya. Belanda telah merusak kehormatan Negara kita dan mengeruk kekayaan. Belanda telah mencoba memisahkan ulama dari umat. Dalam berbagai hal, Belanda telah merusak kepercayaan umat terhadap ulama dengan berbagai cara” (Soeara Masjoemi 15 Agustus 1944 dalam Samsul Ma’arif, Mutiara-Mutiara Dakwah KH. Hasyim Asy’ari, hal. 294).

Dalam buku Intelektual Pesantren, ditulis bahwa Kyai Hasyim dikenal sebagai ahli strategi. Beliau berkeinginan mengubah sturktur masyarakat dengan pesantren sebagai pintu atau hulu. Pesantren, menurutnya bukan sekedar tempat pendidikan atau lembaga moral religius. Namun sebagai sarana untuk membuat perubahan mendasar dalam masyarakat Indonesia secara luas. Yang diinginkan oleh KH. Hasyim Asy’ari dari semua sikapnya ini adalah supaya bangsa Indonesia bisa hidup mandiri, bebas dari intervensi asing, dan membangun negara yang adil dan beradab. Untuk mewujudkan cita-cita itu, bagi kiai Hasyim, pesantren adalah sarana yang baik.

Dalam mendirikan pesantren, KH. Hasyim Asy’ari memperhitungkan tempat secara cermat. Pesantren yang ia dirikan misalnya berada di dekat pabrik gula, dimana pabrik gula pada zaman itu biasanya menjadi tempat berkumpulnya kemaksiatan dan budaya tidak bermoral. Di tempat itu justru KH. Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren. Tujuannya tiada lain untuk mengubah pola hidup masyarakatnya. Jika pusat kemaksiatan hilang, maka secara otomatis kebaikan cepat menyebar ke masyarakat.

           Demikianlah, cita-cita besar KH. Hasyim Asy’ari, mengubah bangsa Indonesia dari keburukan menjadi kebaikan dengan cara mendirikan pesantren. Pola hidup santri pesantren yang dikenal mengedepankan tradisi adab, akhlak mulia, tawadhu, taat ibadah dan lain-lain ingin disebarkan ke masyarakat secara umum. Dengan sistem pesantren yang didirikannya, telah mampu mencetak banyak intelektual Islam dimana sebagian besar dari mereka mampu merintis pesantren baru dan berkembang.

Di antara kelebihan lain Kyai Hasyim adalah kemampuan menyampaikan keilmuan dan membuat jaringan intelektual terutama di pula Jawa. Jaringan intelektual yang dibangun mampu membentengi rakyat Indonesia dari pengaruh budaya asing seperti penjajah Belanda dan Jepang. Sebab, untuk membangun kekuatan bangsa Indonesia, diperlukan jaringan intelektual Muslim sebagai penggerak. Bagi Kyai Hasyim, para intelektual Muslim, jangan sampai terpecah tapi harus menyatu. Indonesia akan lemah jika intelektual Muslim lemah. Pada tahun 1944, beberapa tokoh Islam mengangkat KH. Hasyim Asy’ari sebagai ketua MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang komponennya dari beberapa organisasi Islam di Indonesia.

Perjuangan KH. Hasyim Asy’ari pada zaman dahulu adalah supaya syariah membumi di tanah Indonesia. Untuk itulah beliau, sepulang dari belajar di Makkah mendirikan jam’iyyah Nadlatul Ulama’ (NU) – sebagai wadah perjuangan melanggengkan tradisi-tradisi Islam berdasarkan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tetapi, dalam berdakwah, KH. Hasyim Asy’ari memperhitungkan keadaan sosial dan masyarakat pada saat itu. Berdakwah sesuai kebutuhan dan keperluan dengan tetap mempertimbangkan aspek tradisi keagamaan. Misalnya penekanan masalah ukhuwah dan Ahlussunnah wal Jama’ah.

Ketika keadaan umat Islam Indonesia terjadi perpecahan pada masa penjajahan. KH. Hasyim Asy’ari tetap mengusahakan untuk membuat persatuan di antara mereka. Jika umat Islam — sebagai komponen terbesar bangsa Indonesia — terpecah, maka akan berpengaruh besar terhadap bangsa Indonesia secara keseluruhan. Apalagi Indonesia masih sedang dalam cengkeraman penjajah. Jadi persatuan Indonesia, harus diasaskan terlebih dahulu oleh persatuan umat Muslim Indonesia.

           Persatuan menurut KH. Hasyim Asy’ari harus dibangun di atas dasar keikhlasan dan kesadaran individu. Selain itu, perlu adanya kesadaran berdasarkan agama yang satu yaitu Islam. Daerah yang dihuni juga satu yaitu Jawa, dan madzhab fikih yang dianut yaitu al-Syafi’i (KH. Hasyim Asy’ari, al-Tibyan, hal. 35). Maksudnya adalah, dalam persatuan Indonesia perlu memperhatikan Islam. Begitu pula dalam persatuan umat Muslim Indonesia jangan abaikan madzhab mayoritas, yaitu al-Syafi’i.

            Dari perjalanan perjuangannya selama tiga zaman itu, KH. Hasyim Asy’ari terlihat ia membangun pola-pola yang strategis menuju Indonesia yang ideal. Yaitu dengan menjadikan pesantren sebagai basis perjuangan; menjadikan pesantren sebagai ‘miniatur’ Indonesia, mandiri tidak mudah dibujuk atau ditipu penjajah asing, mengutamakan persatuan umat Muslim sebagai landasan menuju persatuan Indonesia. Persatuan Indonesia itu wujud atas dasar adanya persatuan kaum Muslimin Indonesia.

Selain pesantren, ia menjadikan organisasi NU sebagai ‘wasilah’. Nahdlatul Ulama yang berarti ‘Kebangkitan Ulama’, dimaksudkan untuk kebangkitan ilmuwan Muslim. Jika ulama bangkit, maka rakyat juga bangkit. Jika rakyat bangkit maka negara Indonesia ikut bangkit.

Pemikiran dan kiprah Kyai Hasyim Asy’ari menunjukkan kecintaan yang sangat mendalam terhadap negeri Indonesia. Dunia pendidikan dan keilmuan dijadikan sebagai media utama melawan kekuasaan penjajah. Ketika penjajah hendak kembali menacapkan kukunya di Indonesia, maka Kyai Hasyim dengan tegas menolak dan menyerukan jihad melawan penjajah.

Fatwa yang dikeluarkan pada 14 September 1945 itu menyerukan: (1) Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan, (2) Umat Islam, terutama warga NU, wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia, (3) Kewajiban tersebut adalah “jihad” yang menjadi kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam (fardhu ain) yang berada dalam jarak radius 94 km (yakni jarak dimana umat Islam boleh melakukan shalat jama’ dan qasar). Adapun bagi mereka yang berada di luar jarak tersebut, wajib membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak 94 km tersebut.

Kita tahu apa yang kemudian terjadi. Kemerdekaan RI – dengan rahmat Allah – berhasil dipertahankan. Penjajah pergi. Sepatutnya para pemimpin bangsa menghayati dan mengatur negara ini sebagai cita-cita para ulama yang shaleh itu, ulama pewaris Nabi. Ironis jika kemudian konsep-konsep dan hukum penjajah lebih dijunjung tinggi ketimbang fatwa-fatwa ulama. (***)

 Tulisan dimuat Republika halaman ISLAMIA, Kamis 20 Agustus 2015

Last modified: 21/08/2015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *