India-Centric: Kejahilan Melihat Islam dan Sejarah Islam Nusantara

Written by | Opini

Dalam bukunya “Historical Fact and Fiction” al-Attas mengatakan, “Historians have been unjustifiably skeptical and produced all sorts of conjectures without adducing positive proofs; conjectures in which the role of India dan Indians have been unduly magnified. They have been doing this order to fit their theory of the spread of Islam from India and Indians, an Islam already colored by Hindu-Buddist mode of thought and belief concordant with the autochthonous tradition of the Malay peoples, in such a way as to explain that the ground was prepared for the “easy” adaptation of Islam by the peoples of the Archipelago.” (hal. 148)

Para sejarawan berpendapat demikian hanya berdasarkan dugaan yang terlalu dibesar-besarkan tanpa mengemukakan bukti-bukti yang positif. Mereka mencari-cari pembenaran untuk mendukung teori mereka. Mereka melihat Islam “versi” India adalah faktor penyebab mengapa Islam datang lebih awal di Nusantara dan mudah diterima oleh masyarakat Nusantara. Mereka mengatakan, Islam “versi” India yang telah terwarnai ajaran Hindu dan Budha memang sesuai dengan tradisi asli masyarakat Nusantara yang beragama Hindu dan Budha.

Seperti yang disebutkan al-Attas dalam bukunya tersebut, Professor Fatimi selain mengamini teori India tersebut — dengan memberikan pernyataan bahwa orang-orang Gujarat, Bengali dan etnis-etnis India lainnya termasuk Persia adalah mereka yang memonopoli penyebaran Islam di Nusantara dari abad ke-13 Masehi hingga abad ke-17 Masehi — juga menyangkal peran orang-orang Arab sebagai pionir dalam membawa dan menyebarkan Islam di Nusantara dengan mengatakan bahwa orang-orang Arab yang disebutkan dalam sumber-sumber sejarah dalam Bahasa China dan bahasa-bahasa Eropa yang menyinggung penyebaran Islam di Nusantara harus dipahami bukan mengacu pada orang-orang Arab, tapi orang-orang Persia, Persia keturunan Arab, atau orang-orang Muslim pada umumnya. Lebih lanjut al-Attas mengatakan, orang-orang Arab dibuat hilang identitasnya dan ditelan habis oleh multi etnis yang Fatimi katakan sebagai “imperium Arab”.

Namun berbeda dengan para sejarawan dan Fatimi, al-Attas meyakini bahwa para pembawa dan penyebar awal Islam di Nusantara dan mereka yang datang setelahnya yakni mulai abad ke-12 hingga ke-16 adalah orang-orang Arab.

Al-Attas mengatakan ada bukti-bukti rasional yang dapat diuji dan dibuktikan dengan fakta-fakta empiris yang menunjukkan para “misionaris” Islam awal yang memperkenalkan dan menyebarkan Islam di Asia Tenggara, serta mendirikan kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra, Semenanjung Melayu, Jawa, Borneo/Kalimantan, Sulu dan Mindanao adalah orang-orang Arab (para sayyid) yang datang dari Arab Selatan.

Kejahilan ini memang merupakan kesalahan framework para orientalis dalam menganalisis sejarah Islam dan Islam di Nusantara. Framework tersebut tidak sekadar digunakan para orientalis dalam dunia akademik saja. Namun juga sangat membantu kaum penjajah Indonesia dalam mengerdilkan peran Islam, memposisikan Islam sebagai agama yang anti budaya bangsa, menghilangkan identitas Islam serta menjauhkan umat Islam Indonesia dari agamanya.

Seorang orientalis Belanda bernama C. Snouck Hurgronje yang menjadi penasehat pemerintah Hindia Belanda dalam urusan Bahasa-Bahasa Timur dan Hukum Islam, dan sebagai Penasihat urusan Pribumi dan Arab, serta terlibat sebagai peletak dasar segala kebijakan kolonial Belanda menyangkut kepentingan umat Islam adalah pahlawan bagi Belanda tapi “musuh dalam selimut” bagi bangsa Indonesia. Dia melakukan beberapa penelitian, menghasilkan beberapa karya tulis dan memberikan nasehat-nasehat kepada pemerintah Hindia Belanda. Salah satu nasehat yang dia berikan kepada Belanda, bahkan juga dia usahakan sendiri dengan jalan berkotbah adalah usaha untuk memisahkan politik dari Islam (id.wikipedia.org). Semua yang dia dedikasikan kepada pemerintah Hindia Belanda adalah rangka melanggengkan kekuasaan Belanda atas Indonesia.

C. Snouck Hurgronje juga tidak ketinggalan menggunakan framework yang salah tersebut di atas. Dia meyakini Islam yang ada di Nusantara berasal dari Gujarat, India.

Menurut analisa penulis, teori Gujarat yang dia yakini dan kembangkan — baik disengaja maupun tidak olehnya — adalah satu dari rangkaian proses melanggengkan penjajahan Belanda kepada Indonesia secara non-fisik setelah berakhirnya masa penjajahan secara fisik. Dengan menghubungkan Islam Nusantara dengan hal-hal yang “berbau” India membuat umat Islam Nusantara jauh dari dan asing dengan agamanya sendiri. Dengan demikian, akan lebih mudah bagi umat Islam Nusantara untuk tidak percaya kepada ajaran agamanya sendiri dan percaya kepada ajaran selain Islam dan paham lainnya seperti paham sekuler. Dan ternyata proses ini telah membuahkan hasil nyata.

Yang patut disayangkan, kesalahan framework ini hingga kini diikuti dan diterapkan oleh para sejarawan, ilmuwan, pejabat pemerintah dan anggota masyarakat lainnya (termasuk yang Muslim) warga negara kita. Hal itu bisa terlihat dari usaha-usaha dalam mengangkat dan membesarkan masa-masa kerajaan Hindu dan Budha. Usaha yang sebenarnya telah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda ini telah lama menunai hasilnya. Dalam kehidupan sehari-hari tidak mengherankan hal-hal yang “berbau” India (Hindu dan Budha) lebih familiar dan dominan dibandingkan yang Islami. Bahkan yang bernuansa Islam dinilai dan dianggap miring dan negatif.

Dr. Adian Husaini dalam beberapa tulisannya mengungkapkan dan mempermasalahkan dominasi Hindu dan Budha tersebut.

Ia mencatat ada beberapa bukti dominasi tersebut:

Pertama, adanya dogma yang mengajarkan bahwa Majapahit dengan agama Hindunya adalah pemersatu Nusantara. (Namun seperti yang dinyatakan al-Attas, sebenarnya agama Islam dan bahasa Melayu yang telah di-Islamisasi adalah dua faktor pemersatu Nusantara);

Kedua, tokoh-tokoh dalam sejarah Hindu atau Budha seperti Gajah Mada lebih dihargai dan dikenal dibandingkan tokoh-tokoh dalam sejarah Islam Indonesia seperti Sultan Agung dan Raden Patah yang tentu juga punya andil dan jasa yang besar;

Ketiga, peninggalan Hindu dan Budha seperti candi lebih dihargai dan diperhatikan dibandingkan peninggalan Islam seperti masjid dan pesantren;

Keempat, adanya keyakinan yang menyatakan Hindu dan Budha adalah faktor pendukung kejayaan Indonesia dan Islam adalah penghancur kejayaan Indonesia;

Kelima, budaya bangsa dianggap sama dengan Hindu-Budha;

Keenam, identitas nasional Indonesia sering digambarkan sama dengan Hindu-Budha dan bahasa Sansekerta. Sedangkan yang Islami dianggap bukan identitas nasional;

Ketujuh, simbol-simbol negara dan simbol sejarah sangat “dekat” dengan warna Hindu-Budha dan jauh dari warna Islam (hidayatullah.com).

India-Centric ternyata bukan sekadar digunakan dalam melihat Islam dan sejarah Islam Nusantara. Lebih dari itu, dengan pandangan India-Centric Barat pernah menyebut negara yang kini bernama dengan Indonesia dengan nama “The Dutch East Indies” (Indonesia: Hindia Belanda).

Mereka menyebut anak benua India atau Asia Selatan, Asia Tenggara dan kepulauan Oceania dengan nama “East Indies”. Mereka menyebut kepulaua Karibia dengan nama “West Indies”. Mereka menyebut penduduk asli Amerika dengan Red Indian (orang India berkulit Merah) atau American Indian (orang India Amerika).

Christopher Columbus ketika pertama kali datang ke benua Amerika menyangka benua Amerika adalah India dan menyebut penduduknya dengan nama “Indian” (orang India).

Pada kenyataanya dan ini bisa dengan mudah diketahui oleh siapapun juga, wilayah-wilayah tersebut bukanlah India atau bagian dari India, dan penduduk asli Amerika juga bukan orang India. Jadi, menghubungkan wilayah-wilayah tersebut beserta penduduknya dengan India adalah kesalahan besar dan kejahilan (kebodohan) yang nyata.

Menghubungkan Islam dan sejarah Islam Nusantara dengan segala sesuatu yang “berbau” India adalah kesalahan besar dan kejahilan yang nyata karena tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Lebih dari itu, jika hal itu dilakukan oleh bangsa Indonesia malah merugikan bangsa sendiri karena sama saja dengan menghilangkan identitas bangsa Indonesia, membuat umat Islam Indonesia tidak mempunyai perasaan memiliki negeri mereka dan mengerdilan bangsa Indonesia sendiri. Wallahu a’lam.

Penulis adalah peneliti ISFI (Islamic Studies Forum for Indonesia) Kuala Lumpur Malaysia

Last modified: 07/12/2011

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *