Filsafat Perennialisme Hossein Nasr dan Ideologi Kesatuan Agama-Agama

Written by | Pemikiran Islam

Oleh: Kholili Hasib

Inpasonline.com-Kajian studi perbandingan agama (religious study), masih tetap menyisakan problem. Sebagai disiplin ilmu yang menjadi minat utama para orientalis, framework kajiannya belum bersih dari cara pandang orientalisme, yaitu bersifat ambigu, bias dan tidak secara terang menjelaskan muatan ilmiah dan teologis. Dalam konteks ini, penggunaan term Abrahamic Faiths yang terlahir dari kajian studi perbandingan agama tentunya perlu ditinjau ulang. Saat isu-isu di dalam ‘agama Abrahamik’ dimasukkan dalam zone filsafat agama, maka konsepsi ketuhanannya menjadi rumit, bahkan rancu. Asumsi dasarnya, agama Yahudi, Kristen dan Islam masuk dalam wilayah agama monoteis pengikut Nabi Ibrahim as. Sehingga mereka dalam satu payung bernama Millah Ibrahim. Dari sinilah kemudian wacana teologi agama-agama tersebut dimasukkan dan dipaksa untuk masuk pada satu ruang dengan posisi setara. Jerald F. Dirks mengibaratkan; Yahudi, Kristen dan Islam hakikatnya berada pada satu pohon yang sama. Sehingga terdapat banyak unsur-unsur pemersatu dari pada unsur pembeda di dalamnya[1].

Kehadiran wacana term Abrahamic Faiths disambut baik oleh pengusung paham pluralisme, di antaranya Seyyed Hossein Nasr (1933 – ), tokoh filsafat perenial (al-Hikmah al-Khālidah) asal Iran. Hossein Nasr yang mempopulerkan gagasan Transcendent Unity of Rreligion(kesatuan transenden agama-agama) Frithjof Schuon (1907-1998) [2], membangun hujjah­­-nya dalam kerangka berpikir filsafat perenial. Pemilahan antara hakikat esoteric dan hakikat exsoteric merupakan isu utama filsafat perennial. Dalam hal konsep Abrahamic Faiths, tema utama hikmah abadi tersebut terstrukur dalam wacana ketuhanan. Argumentasinya, meskipun sebutan Tuhan agama Yahudi, Kristen dan Islam berbeda, akan tetapi secara esoteris ia menunjuk pada satu Dzat, yakni Dzat Tuhan yang disembah oleh Nabi Ibrahim as. Sebelum menguraikan pemikiran Hossein Nasr tentang konsep Abrahamic Faiths terlebih dahulu kita perlu mengenal worldview dan struktur pemikiran Seyyed Hossein Nasr.

Paradigma Pemikiran Seyyed Hossein Nasr

Seyyed Hossein Nasr, profesor bidang Islamic Studies di George Washington University, Washington DC adalah tokoh filsafat perenial yang mempopulerkan pluralisme agama beraliran Trancendent Unity of Religion. Nasr adalah pengagum Frithjof Schuon. Bahkan Schuon telah dianggap guru spiritualnya. Ia berasal dari keluarga cendekiawan penganut sufi beraliran  Syi’ah. Lahir pada tanggal 7 April 1933 di Teheran. Ayahnya, Sayyed Valiallah adalah seorang dokter untuk keluarga kerajaan Iran. Salah satu nenek moyangnya, Seyyed Mulla Muhammad Taqi Poshtmashhad, adalah seorang ulama’ terkenal di Iran, dan makamnya yang terletak di sebelah makam raja Safawi Shah Abbas, masih dikunjungi oleh peziarah hingga  hari ini[3].

Karir intelektual Nasr berhubungan dengan aspek utama hubungan antar agama dan sains. Tema karya-karyanya beragam mulai tentang filsafat, studi agama, seni, mistisism hingga sains, di antaranya; Islam and the plight of Modern Man, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, Knowledge and the Sacred, Islamic Art and Spirituality, Islamic Life and Thought, Living Sufism, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition, Science and Civilization in Islam, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity, Islamic Science: An Illustrated Study. Disertasi doktornya berjudul Conceptions of Nature in Islamic Thought diterbitkan pada tahun 1964 oleh Harvard University Press merupakan usaha dia dalam kontribusi sains Islam. Buku pertamanya Sience and Civilization in Islam mengenai gagasan sains Islam dan mengkritik sains modern.[4]

Selain bidang sains, ia tersohor sebagai pakar filsafat Islam. Nasr membaca dan mempelajari beberapa teks-teks utama filsafat Islam di bawah bimbingan al-Asfar Mulla Sadra dan Syarah-Manumah Sabziwari. Ia mendapatkan banyak manfaat dari wawasan yang sangat berharga dan komentar yang diberikan oleh mereka secara lisan. Dengan cara ini, Nasr memperoleh pendidikan baik dari Barat modern maupun tradisional Timur, kombinasi yang jarang yang menempatkannya dalam posisi yang sangat khusus untuk berbicara dan menulis dengan berbagai isu-isu yang terlibat dalam pertemuan antara Timur dan Barat.[5]

Dalam bidang filsafat, ia mengusung filsafat perenial yang kemunculannya dikatakan sebagai respon kritis terhadap sekularisme yang telah mereduksi tradisi agama-agama. Oleh sebab itu, gagasannya ingin mengembalikan agama-agama sebagaimana mestinya, yang memiliki nilai-nilai sakralitas. Agama tidak bisa diubah begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupun post-modern yang telah meminggirkan agama itu. Ia mengklaim dengan konsep seperti ini ia berlaku adil terhadap semua agama, tidak ada yang perlu direduksi ataupun ditolak eksistensinya. Agama-agama sepenuhnya setara meskipun berbeda-beda. Inilah cara untuk mengekalkan tradisionalitas agama-agama. Dalam karyanya Knowledge and the Sacred, Hossein Nasr menjelaskan makna tradisional, yaitu asas ketuhanan yang orisinil yang diwahyukan kepada seluruh umat manusia dan alam semesta melaui para nabi. Dalam setiap agama terdapat tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain[6]. Dengan makna ini, berarti tradisionalisme Hossein Nasr merupakan garis yang menghubungkan pada puncak penyatuan agama-agama. Ujung hakikat ini disebut esoteric. Sedangkan bentuk agama adalah penjelmaan alami dimensi esoteric yang disebut exoteric.

Pendirian Nasr tersebut masih meniscayakan kontradiksi antar agama-agama. Mengembalikan agama ke habitat kesakralannya tentu tetap memiliki konsekuensi benturan, sebab konsep kesucian itu berbeda-beda, satu agama akan berbenturan dengan nilain-nilai kesucian agama lain. Jika dipaksakan untuk setara maka itu akan mereduksi pemahaman sebuah  ajaran agama dalam memandang agama lain. Namun Nasr mengungkapkan bahwa prinsip-prinsip ini adalah sesuatu yang telah ada sejak lama bahkan di zaman legenda mitologi kuno primitif[7].

Nasr menjelaskan, filasafat perenial sebenarnya sudah ada sejak lama. Hanya saja ia telah lama tenggelam oleh aliran filsafat keduniawian dan kemunculannya sebagai respon terhadap aliran itu. Ia muncul dengan membuktikan adanya doktrin metafisika di dalam intisari semua tradisi asli yang bersifat abadi. Di Barat ia dikenal pada tahun 1540 dibawa oleh Augustinus Steuchus yang menulis buku dengan judul De Perenni Philosophy. Selanjutnya dipopulerkan oleh Leibnitz pada tahun 1715. Filsafat ini mengandung pengertian bahwa suatu kebenaran kekal di pusat semua tradisi yang berkaitan dengan Sanatana dharma dalam agama Hindu atau al-Hikmah al-Khālidah dalam agama Islam Kebenaran esoteric telah terbagi di dalam semua agama [8].

Mengutip pendapat Schuon, Nasr menjelaskan, filsafat perenial memiliki pandangan luas terhadapa tradisi Islam. Sejatinya tradisi Islam itu terdapat dalam intisari tradisi-tradisi lainnya. Dengan persepktif filsafat perenial ini, kajiannya tidak tidak hanya memandang sisi dalam Islam, akan tetapi membahas masalah-masalah dalam semua agama[9]. Pandangan ini memilah dua dimensi hakikat, yakni esoteric dan exoteric. Dimensi esoteric merupakan dasar dan esensi segala sesuatu yang termanifestasikan dalam bentuk-bentuk luar yang disebut exoteric[10]. Dengan cara pandang alam begini, maka agama Islam atau agama formal lainnya hanyalah penjelmaan exoteris, intisari ajarannya sama dengan agama lain, yakni dimensi esoteric, dimana puncak dimensi ini adalah wujud Tuhan semesta alam.

Menurut filosofi tradisionalisme Nasr, agama memiliki dua sisi yakni; “bentuk” (form) dan “substansi”. Schuon dalam Islam dan Filsafat Perennial menjelaskan:

Setiap agama memiliki satu bentuk dan satu substansi. Islam menyebar ke seluruh dunia bagaikan kilat berkat substansinya, dan penyebarannya terhenti dikarenakan bentuknya. Substansi mempunyai hak-hak tak terbatas, sebab ia lahir dari Yang Mutlak sedangkan bentuk adalah relatif, dan karena itu hak-haknya terbatas[11].

Maka, menurut filsafat ini, orang tidak dapat menutup matanya dari dua fakta: pertama, bahwa tidak ada kredibilitas mutlak pada tingkat fenomena (“bentuk”), kedua, bahwa penafsiran harfiah dan eksklusif atas pesan-pesan agama diperdayai oleh ketidaktepatan mereka yang relatif sepanjang menyangkut orang-orang beriman dari agama-agama lain tetapi tentu saja tidak dalam daerah-daerah mereka sendiri yang telak ditakdirkan[12]. Sisi form atau exoteric menurut Schuon merupakan penjelmaan modal dasar (Archetype). Archetype yang merupakan hakikat Ilahiyah adalah dimensi absolut. Archetype ini memancarkan kebenaranya yang tercermin dan terekspresi pada form-form yang beragam[13].

Oleh sebab itu, pandangan tradisionalisme Nasr mengharuskan untuk memandang agama-agama itu harus melalui perspektif Archetype tersebut. Keabsolutan modal dasar terbagi-bagi ke dalam hakikat exoteric. Sedang kebenaran hakikat exoteric tersebut saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Sehingga sebagaimana penjelasan Schuon di atas hak-hak dimensi “bentuk” (form) terbatas. Hak kebenaran yang tak terbatas adalah “substansi” atau Archetype[14].

Maka yang diutamakan dalam pemikiran ini adalah substansinya, bukan ritus peribadatannya. Sebagaimana ditegaskan Schuon di atas, penyebaran agama dengan mengedepankan ritual adalah tidak tepat dan menyebabkan kegagalan. Sedangkan menurutnya, jika yang dikampanyekan itu adalah “substansi”, maka itu mempermudah. Sebab, “substansi” itu adalah milik bersama agama-agama. Ia intisari dari manusia beragama. Logikanya, kedepankan yang Absolute jangan yang Relatively Absolute.  Ia menejelaskan:

Di dalam, atau dalam pengertian Substansi, pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh suatu agama bersifat mutlak. Tetapi, di luar, atau dalam pengertian form dan seterusnya pada tingkat kemungkinan manusiawi, pernyataan-pernyataan tersebut bersifat relatif, jika metafisika dianggap tidak cukup mampu membuktikan ini, maka fakta-fakta itu sendiri yang akan membuktikannya.[15]

Pandangan ini bahkan bisa memudahkan jalan paham sinkritis. Sebab, intisari beragama itu terbagi di dalam agama-agama maka sebenarnya, mengimani satu ajaran secara kaffah berarti ia telah juga menikmati ajaran agama lain. Dia mengatakan tidak bermasalah bila seseorang mencampur ajaran-ajaran yang ia suka. Toh, semua agama adalah jalan untuk menuju kepada kebenaran abadi yang sama demi menciptakan universalisme[16]. Schuon beralasan, kerangka berpikir ini telah dilakukan oleh para sufi. Menurutnya wahyu-wahyu yang berbeda itu merupakan percikan cahaya dari satu Matahari Ilahi yang sama. Tuhan sama, ekspresi menyembah-Nya yang berbeda. Yang jelas, paradigma berpikir filsafat perenial mengharuskan untuk melihat “substansi” agama-agama, perbedaan ritual itu adalah ekspresi luar agama-agama yang tidak sepenuhnya absolut, tapi relatively absolute. Hak kebenaran juga dibatasi. Maka, dalam konteks hubungan antar agama sebaiknya yang didakwahkan adalah “substansi” bukan ritual bentuk-bentuk yang relatif itu.

Abrahamic Faiths dan Seyyed Hossein Nasr

Istilah the three Abrahamic Faiths (agama-agama Ibrahim a.s) populer dalam studi agama-agama sebagai payung untuk agama Yahudi, Kristen dan Islam. Istilah ini mengemuka setelah The Muslim-Jewish-Christian Conference (MJCC) atau Konferensi Muslim-Yahudi-Kristen pada tahun 1979 mengadakan konferensi agama-agama semitik di kota New York oleh American Academy of Religion (ARR). Tujuannya mengupayakan dialog antara ilmuan-ilmuan Yahudi, Kristen dan Islam mengenai persoalaan agama[17]. Hasil konferensi ini kemudian dibukukan dengan judul Trialogue of Abrahamic Faiths diterbitkan oleh International Institut of Islamic Thought (IIIT) dengan editor Ismail Raji al-Faruqi[18].

Ketiga agama semitik perlu duduk bersama karena mereka memiliki persamaan-persamaan. Unsur kesatuan itu, menurut penganut teori ini,  bukan saja dari faktor historis, akan tetapi mereka memiliki tali ideologis yang berkait. Oleh sebab itulah, maka terminologi ini kemudian diterjemahkan dengan Millah Ibrahim. Karena dianggap satu millah, maka sejumlah syariat Nabi Muhammad SAW, menurut kaum pluralis, memiliki kesamaan dengan syariat nabi-nabi sebelumnya dan bahkan ada bebarapa yang dipertahankan[19]. Mereka berasumsi bahwa masing-masing agama semitik itu diberi syari’at yang tidak mengikat satu sama lain.

Syari’at yang turun kepada Nabi Musa tidak mengikat kepada umat Nabi Isa, syari’at Nabi Isa tidak mengikat umat Islam. Dan syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW juga tidak mengikat umat Yahudi dan Kristiani[20]. Ketiga-tiganya adalah bagian dari Abrahamic Faiths (millah Ibrahim) – yang oleh Allah telah diberi porsi masing-masing. Hal itu menandakan bahwa ketiga agama – Yahudi, Kristen dan Islam – adalah memang satu rumpun. Perbedaan itu, baginya tidak lebih dari perbedaan fikih antar madzhab dalam tradisi Islam. Mereka berargumentasi dengan surat al-Mā’idah ayat 48 yang dikatakan bahwa al-Qur’an melegalisasi perbedaan itu.[21]. Dalam perspektif filsafat perenial, syari’at para nabi tersebut tidak lain adalah ekspresi dari hakikat esoteric yang dinamakan exoteric. Oleh sebab, itu pembiaran sesuai dengan ritualnya masing-masing tanpa saling menyalahkan adalah doktrinnya.

Asumsi yang berkembang di kalangan kaum pluralis menyatakan bahwa secara historis dan ideologis, agama Yahudi, Kristen dan Islam termasuk dalam lingkup Abrahamic Faiths. Sebabnya, ketiga-tiganya menyembah Tuhan yang disembah oleh Nabi Ibrahim, meski dengan penyebutan yang berbeda-beda. Nabi Ibrahim as (Abraham) adalah titik sentral ideologis agama-agama semit. Substansi Tuhan yang disembah oleh kaum Yahudi, Kristen dan Islam adalah sama, yang berbeda adalah pada aspek partikular (form), yakni penyebutan nama saja. Perbedaan penyebutan ini, dalam perspektif filsafat perenial tidak bermasalah, sebab hal itu disebabkan perbedaan ’ijtihad’ masing-masing agama saja. Titik temu itu terdapat dalam dimensi ”substansi” atau Archetype. Maka partikularitas “bentuk” bukanlah yang esensi, ia sekedar ‘pantulan’ dari “substansi”.

Sedangkan keterkaitan historis, dihubungkan dengan sejarah Nabi Ibrahim yang diberi gelar bapak para nabi (abū al- anbiyā’) dan bapak monoteisme. Disebut bapak bangsa karena dari keturunanya lahir nabi-nabi. Hal ini sudah dijanjikan oleh Allah SWT[22]. Karena berasal dari sumber yang sama, maka ketiga agama tersebut dikategorikan sebagai agama samawi – yakni agama yang bersumber dari Allah. Mereka memandang,  bentuk konsepsi tiga agama semit memang saling bertentangan. Tetapi dari segi metafisika, sebenarnya saling terkait satu sama lain. Hal ini terbukti dari segi kesejarahan, tiga agama besar yang termasuk Abrahamic Religions (agama-agama Ibrahim) berujung pada satu titik yang sama[23].

Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya Ideals and Realities of Islam berargumen bahwa Nabi Ibrahim as. adalah simbol bagi agama-agama samawi. Ia merupakan titik penghubung antara agama Yahudi, Kristen dan Islam. Sejarah agama-agama tersebut semuanya bermuara kepada Nabi Ibrahim as. Hossein Nasr menyebut ia adalah simbol agama moteisme. Sebabnya, semua mewarisi tradisi Ibrahim dengan warna yang berbeda-beda. Warisan yang masih kekal dan dipelihara adalah penyembahan kepada Tuhan Allah yang Esa, sesembahan yang dulu diibadahi oleh Nabi Ibrahim as. tradisi itu kemudian diwariskan kepada agama Yahudi pertama kali, berisi pesan-pesan hukum keilahian. Kemudian ketika agama Kristen lahir, ia juga membawa pesan Abrahamic yang lebih ketal dalam bentuk spritual. Pembawa pesan terakhir adalah Nabi Muhammad SAW dengan nama agama Islam yang kehadirannya membawa pesan yang lebih lengkap dari yang sebelumnya, yakni melingkupi hukum, dan spiritual[24]. Pesan yang dibawa masing-masing agama tersebut berbeda-beda. Bagi Nasr ini tidak masalah, sebab pesan (risālah) adalah termasuk hakikat exoteric yang keabsolutannya tidak mutlak.

Mengomentari kontradiksi yang terjadi di antara doktrin-doktrin agama, Nasr berapologi bahwa Allah SWT telah mengenalkan Diri-Nya sendiri dalam cara-cara yang berbeda dan bahkan terkesan berlawanan dalam setting kebudayaan yang berbeda[25]. Maksudnya, Allah SWT mengenalkan Diri-Nya kepada kaum Yahudi dengan bentuk yang berbeda dengan cara Allah SWT mengenalkan kepada agama Kristen dan Islam. Selanjutnya, kehadiran agama-agama samawi itu dikatakan merupakan ’sunnatullah’. Ia adalah kehendak Ilahi untuk menurukan agama-agama itu. Buktinya, katanya, bahwa jika Tuhan benar-benar ingin menyelamatkan dunia melalui Kristen misalnya, maka mengapa beberapa abad kemudian, Tuhan membiarkan lahirnya agama baru (baca: Islam)[26]. Maka menurut Nasr, menanggapi doktrin penyaliban dalam Kristen ia menyarankan mestinya Islam melihatnya bahwa itu benar menurut koridor Kristen. Yang perlu ditekankan di dalam soal exoteric ini adalah pengambilan sudut pandang. Islam boleh mengambil sudut pandangnya sendiri, itu wajar, namun secara bersamaan ia mesti melihat dari pandangan Kristen[27]. Cara inilah yang ia maksud akan mencapai kebenaran hakiki, yaitu kebenaran esoteris. Di sini tidak sulit kita menilai bahwa, apologi Nasr sebenarnya mengandung relativisme, dia juga  mereduksi pemahaman Islam. Muslim dipangkas hak pemahaman untuk memandang secara total menurut doktrin Islam. Sesuatu yang kontradiktif dari doktrin awalnya bahwa tradisionalisme membiarkan apa adanya agama-agama.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran Islam yang mengkritik doktrin-doktrin ketuhanan Yesus tentu’ menyakitkan’ bagi Kristen. Menurut Schuon, jika dalil-dalil Islam dipahami secara internal tentu timbul pemahaman eksklusif. Sebenarnya, itu wajar dalam doktrin tradisionalisme. Hanya saja hal itu belum mencapai pada kebenaran hakiki. Ia mengakatan:

…fenomena yang mencirikan suatu agama tertentu bukan merupakan bukti bahwa ia saja yang sah dan semua agama lainnya tidak. Mereka adalah hasil maksud ilahi untuk menciptakan suatu perspektif ruhaniah dan cara penyelamatan[28].

Keberagaman atau pluralitas memang sudah menjadi realitas kehendak Allah SWT. Akan tetapi apakah lantas realitas yang mewujud tersebut menjadi hujjah bahwa Allah SWT membenarkan semua yang mewujud di alam ini? Realitas kejahatan, atau kebatilan adalah kehendak ontologis Allah bukan kehendak legalistis. Adapun kebaikan adalah kehendak legalistis Allah SWT yang mentuntu adanya hukum yang harus diikuti[29]. Ada manusia yang shalih dan ada pula manusia jahat di bumi ini. Itu semua adalah hakikatnya kehendak Ilahi, namun apakah lantas Allah SWT membenarkan manusia jahat? Tentunya tidak. Jika menurut Nasr tidak ada perbedaan hakiki antar agama-agama sebab itu telah dikehendaki-Nya, maka mengapakah Allah SWT mengutus Rasul SAW dengan doktrin-doktrin yang mengkritik agama-agama Yahudi dan Nasrani. Dalam ayat-ayat al-Qur’an Allah SWT memperintahkan Rasulullah SAW untuk mengajak kaum Yahudi dan Nasrani untuk masuk Islam, sebagaiman terdapat dalam surat ’Āli ’imrān ayat 20. Dalam surat al-Baqarah ayat 111 dan al-Mā’idah ayat 18 disebutkan bahwa truth claim Yahudi dan Nasrani hanyalah angan-angan kosong belaka dan ditegaskan kebenaran itu hanya pada Islam.

Ringkasnya, ketika wacana Abrahamic Faiths dimasukkan ke dalam pemikiran tradisionalisme Hossein Nasr, yang mengemuka adalah klaim ketuhanan yang universal bagi agama-agama semitik. Klaim itu diperkuat dengan bungkus teori ”substansi” atau esoteric. Hal ini berakibat merampas pemahaman bahwa Islam adalah agama universal. Sekaligus menghilangkan pemikiran bahwa agama Kristen dan Yahudi adalah agama budaya[30]. Padahal universalitas agama Islam telah ditegaskan dalam al-Qur’an bahwa ia adalah agama Nabi Ibrahim as, Nabi Musa dan para nabi-nabi lainnya. Dengan perspektif ini maka Islam lah satu-satunya millah Ibrahim karena ia mewarisi doktrin Tawhīd Nabi Ibrahim as.[31]Sedangkan monoteisme Yahudi dan Kristen bukan Tawhīd tapi sudah tercampur paganisme.

Kerancuan Wacana Kesatuan Esoteris Abrahamic Fatihs

Sebelum Hossein Nasr, wacana mempertemukan agama-agama melalui dimensi metafisik telah digagas oleh Rene Guenon (1951) asal Prancis, dengan istilah Primordial Tradition (tradisi primordial). Schuon dan Nasr hanya mempopulerkan ide ini. Mengenai titik temu agama-agama Abrahamic Faiths, Schoun dan Nasr mengatakan bahwa agama-agama samawi hanya berbeda dalam aspek-aspek eksternal, namun mempunyai unsur batin yang sama[32]. Baik menurut Guenon maupun Schuon, substansi ilmu spiritual bersumber dari supranatural dan transenden, yang tidak dibatasi oleh kelompok agama tertentu. Dari asumsi ini, mereka berkesimpulan bahwa semua agama memiliki kebenaran dan bersatu pada dimensi Kebenaran (Tuhan yang sama). Wacana titik temu agama-agama semit ini berasumsi bahwa Tuhan agama-agama semit adalah sama, yaitu Allah, Elohim atau Yahweh yaitu sesembahan nabi Ibrahim.

Sebagaimana yang disebutkan di atas, dalam wacana Abrahamic Faiths bahwa perbedaan antara tiga agama semitik adalah perbedaan pada dimensi dogma dan ritual sedangkan pada level metafisik ataupun ketuhanan mereka bertemu pada satu titik. Berikut ini akan dibahas bahwa, ternyata perbedaan itu tidak hanya pada dimensi dogma dan ritual tetapi dimensi metafisik dan konsep ketuhanan, antar tiga agama semitik saling berbeda.  Keyakinan bahwa dalam dimensi batiniyah (esoteric) ketiga agama bertemu. Tuhan esoteric itu adalah satu oknum (satu Dzat). Ternyata kenyataan ini tidak sesuai dengan konsepsi agama-agama tersebut. Oknum Tuhan Yahudi dan Kristen ternyata berbeda.

Dalam sejarahnya, orang-orang Yahudi tidak mengenal Tuhan yang sebenarnya. Mereka juga tidak konstan menyembah Tuhan Yang Esa sebagaimana diajarkan oleh para nabi. Seorang pakar sejarah agama, J. Shotwell mengatakan bahwa sesungguhnya orang-orang Yahudi itu sejak masa pertama munculnya di pentas sejarah merupakan penghuni gurun yang suka berpindah-pindah, sangat terperngaruh dengan pemikiran-pemikiran kuno seperti takut kepada hantu (setan) dan percaya kepada roh-roh. Mereka menyembah batu, kambing dan pepohonan[33].

Ketika Nabi Musa as datang mendakwahkan tauhid kepada Bani Israil, menurut Will Durant, sorang ahli sejarah Barat, kaum Bani Israil sebagian tidak meninggalkan sama sekali penyembahan kepada kambing, dan lembu. Hewan-hewan itu menjadi lambang Tuhan mereka[34]. Sehingga sejak awal memang kaum Yahudi memiliki tradisi paganisme yang sulit dihilangkan – bahkan sejak Nabi Musa hingga Nabi Isa diangkat menjadi Rasul. Maka tidaklah heran ketika Nabi Musa meninggalkan kaumnya beberapa saat untuk pergi ke gunung, untuk menerima wahyu dari Allah, kaumnya menyembah patung sapi yang terbuat dari emas yang dibuat oleh Samiri[35].

Budaya paganisme Bani Israil yang kuat juga dapat dibuktikan dalam suatu kisah di Bibel Kitab Raja-Raja, bahwa Nabi Musa pernah membuat seekor ular dari tembaga yang kemudian disembah oleh kaumnya[36]. Prof. Ahmad Syalabi, sorang pakar perbandingan agama dari Mesir, mengatakan bahwa tradisi penyembahan yang dilakukan oleh agama Yahudi banyak dipengaruhi oleh kebiasaan bangsa Kan’an. Bangsa Yahudi, menurut Syalabi, begitu mudah terpengaruh oleh bangsa Kan’an dalam hal beragama. Tuhan yang disembah oleh bangsa Kan’an kemudian diambil alih oleh bangsa Israil. Bahkan setelah bangsa Israil mendiami negeri Kan’an itu, tempat ibadah mereka menyatu yang di dalmnya terdapat berhala Yahwah – sebutan Tuhan bangsa Israil – dan berhala Baal, Tuhan kaum Kan’an. Maka ketika bersembahyang kadang-kadang kaum Yahudi di Kan’an menyebut kedua Tuhan, Yahwah dan Baal[37].

Yahwah adalah sebutan Tuhan bagi agama Yahudi yang penuh problem [38]. Sejak awal orang Yahudi belum mengenal Tuhannya yang sebenarnya, buktinya hanya untuk menyebut saja mereka masih belum ada kejelasan. Seorang sarjana Barat, Smith juga memiliki kesimpulan yang hampir sama, ia mengatakan bahwa ada kemungkinan kata Yahwah berasal dari bahasa Ibrani yang mempunyai arti yang sama dengan kata Lord (tuan). Sehingga kata Yahwah pun sebutannya berubah menjadi Jehovah yang berarti tuan. Menurut Freedman, asal-usul nama Yahweh itu tidak jelas, akan tetapi, nama itu menunjuk kepada sumber dari tradisi kaum Median dan Kenit[39].

Maka dapat disimpulkan bahwa nama Yahweh tersebut masih bersifat dugaan, mereka belum mengetahui secara pasti apakah itu nama diri atau sebutan yang menduga-duga. Para sarjana Kristen dan peneliti agama Yahudi lainnya berkesimpulan sama. Harold Bloom misalnya dengan tegas ia katakan bahwa nama YHWH itu adalah nama yang belum diketahui dengan jelas bagaimana nama itu dilafalkan[40].

Ketidakpastian nama tersebut diduga karena memang nama itu bukan berasal dari tradisi Ibrani, akan tetapi berasal dari tradisi asing. Hal ini ditegaskan dalam buku Hebrew Origin yang menyatakan bahwa ketidaktentuan nama Tuhan Ibrani (Yah, Yahu dan Yahweh) dan penjelasannya yang kabur disebabkan nama itu berasal dari bahasa asing[41]. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat dikemukakan oleh O’Connor yang menyebutkan kata itu berasal dari tradisi suku Median dan Kenit. Karena nama itu masih kontroversial di kalangan internal Yahudi sendiri, maka kaum Yahudi ortodoks mengambil jalan aman, yakni tidak menggunakan kata Yahwah untuk menyebut nama Tuhan mereka, melainkan dengan sebutan Adonay atau Ha-Syem[42].

Selain sebutan tersebut, orang Yahudi juga memiliki sebutan lain untuk Tuhannya, yaitu El/Elohim atau Eloah. Nama ini menurut tradisi Ibrani dapat digunakan sebagai nama diri atau nama generik. Dalam AlKitab Perjanjian Lama kata El digunakan untuk menyebut Tuhan Israel yang disejajarkan dengan nama Yahweh. Dalam hal ini kata El sinonim dengan kata Yahweh. Dalam The Interpreters Dictionary of Bible dikatakan bahwa pada umumnya, “El” digunakan sebagai sinonim untuk “Yahweh”. Dalam bentuknya yang sekarang dalam sajak Bileam, El tidak lain adalah Yahweh yang membawa umatnya keluar dari Mesir[43].

Problem nama Tuhan dalam tradisi Yahudi berdampak juga dalam tradisi Kristen, sebab agama Kristen banyak mewarisi dari tradisi Ibrani. Perdebatan mengenai nama Allah cukup ramai di kalangan Kristen. Hal itu terlihat cukup terang ketika muncul Gerakan Nama Suci (Sacred Name Movement)[44] yang menolak penggunaan kata Allah dalam Bible dan mengganti dengan nama Yahweh – sesuai dengan tradisi Ibrani. Menurut Gerakan ini, nama Allah adalah bukan nama dari tradisi Yudaisme, akan tetapi nama itu adalah nama dewa orang Arab pada abad ke-7. Oleh karena itu lafadz Allah yang ada dalam AlKitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru harus diganti dengan Elohim atau Yahweh[45].

Dalam buku Siapakah Yang Bernama Allah itu?, buku yang diterbitkan oleh Gerakan Nama Suci dikatakan bahwa pada zaman pra-Islam, jaman jahiliyah ALLAH adalah nama DEWA bangsa Arab yang mengairi bumi. Pendapat sama dikemukakan Huston Smith. Smith menuduh bangsa Arab pra-Islam menyebut dewanya dengan kata Allah[46]. Dalam buku Siapakah Yang Bernama Allah itu? dikatakan nama Allah telah menjadi sebutan Dewa bagi bangsa Arab sejak lima ribuan tahun silam. “Yang bernama ALLAH adalah Dewa Pengairan dari BABEL sejak lima ribu tahun yang lalu yang telah migrasi ke tanah Arab dan kota Mekkah[47]. Jika itu benar, sebenarnya kaum Kristiani hanya mengikuti tradisi orang Arab menyebut Tuhannya, yang berarti dalam ajarannnya Tuhan tidak pernah mengenalkan nama Tuhannya kepada kaum Bani Israil. Orang Kristen Arab juga berarti mereka menggunakan kata Allah bukan sebagai nama diri Tuhan, hanya sebutan untuk Tuhan di daerah Arab.

Penamaan Tuhan dalam Bible berbahasa Arab, Inggris dan Indonesia tampak ada perbedaan antara Allah, allah, TUHAN dan God[48].  Kristen Unitarian menerengakan,   kata Allah berbeda dengan Tuhan. Padanan kata Allah adalah dewa, god, elohim dan theos, yang berarti sesembahan yang melampaui kekuatan manusia atau sesembahan yang memiliki kekuatan supranatural. Sementara Tuhan perarti, majikan atau penguasa. Mereka menyimpulkan bahwa Allah bukan sebuah nama, melainkan gelar, yakni gelar yang disematkan kepada sesembahan orang Kristen yang diambil dari bangsa Arab. Sedangan TUHAN (ditulis dengan huruf besar semua) berbeda dengan Tuhan. Kata TUHAN adalah salinan dari nama Yahweh, Allah Israel, sedangan Tuhan adalah kata yang digunakan untuk memberi makna istimewa kepada Yesus Kristus[49].

Dalam teks Inggris dan Indonesia kata Tuhan dan Lord ditulis dengan huruf besar dan huruf kecil, namun hal itu tidak terjadi dalam teks Bahasa Arab. Padahal dalam bahasa Ibrani – yaitu bahasa yang konon menjadi bahasa asli Bible – tidak mengenal huruf besar dan kecil. Ini menunjukkan belum ada sistem baku dalam penyebutan Tuhan mereka. Dalam teks Inggris pun Alkitab tidak menggunakan kata Allah akan tetapi menggunakan kata God atau Lord. Padahal kata God dan Lord itu masih umum, tidak menunjukkan nama diri. Jadi dalam Kristen belum ada konsensus (ijma’) untuk menyebut nama Tuhan. Bisa disimpulkan juga bahwa penyebutan lafadz Allah sebenarnya bagi kalangan Kristiani hanya sebutan saja bukan sebagai nama diri Tuhan. Allah adalah sebutan untuk daerah Arab, God atau Lord adalah untuk daerah yang berbahasa Inggris. Sementara nama Yahweh juga masih misteri, ada yang ditulis YHWH – yang berarti belum jelas[50].

Kontrofersi nama dan konsep Tuhan Yahudi dan Kristen bisa jadi diakibatkan oleh tiadanya metode ijtihad yang baku dan tradisi sanad. Berbeda dengan Islam, konsepsi Tuhan berdasarkan wahyu. Islam tidak mengakui apapun ’ijtihad’ teologis berdasarkan budaya. Islam juga tidak mengenal pemilahan sisi esoteris dan eksoteris. Selain itu, krisis konsep ini juga diperkuat oleh problem otentisitas kitab suci mereka. Makanya, wilayah teologi bukan lagi masuk dalam ranah uşūl. Tapi ia bisa berubah-ubah berevolusi menyesuaikan dengan kondisi tertentu. Dalam perspektif filsafat perenial zona uşūl seperti rukun Islam, rukun Iman masuk dalam hakikaat exoteric. Artinya, ia bukan lagi zona uşūl, akan tetapi menjadi furū’. Hakikat uşūl yang sebenarnya bagi Nasr adalah hanya satu yaitu; Dzat Tuhan. Logika Nasr ini tidak dikenal dalam tradisi Islam. Jika ada kemiripan dalam sifat Tuhan, belum tentu itu sama. Masing-masing agama Yahudi, Kristen dan Islam memiliki super sistem konsep, yang digunakan sesuai dengan sistem dan kerangka yang berbeda-beda. Maka otomatis, kesatuan transenden Tuhan itu tidak ada. Super sistem yang berbeda dalam konsepsi masing-masing agama menunjukkan terdapat keanekaragaman dan ketidaksamaan pada level transenden tersebut[51].

Sekilas konsep Abrahamic Faiths tampak menemukan kekuatan hujjah-nya saat pemahaman tersebut masuk dalam struktur filsafat perenial. Wacana penyataraan agama semitik diperkukuh dengan istilah-istilah kunci dalam aliran Trancendent Unity of Religion, seperti pemilahan antara ”bentuk” dan ”substansi”. Nampak secara ilmiah canggih, akan tetapi, ternyata hal itu tidak memperkuat, justru menggiring kepada inkonisistensi. Semula tradisionalisme Nasr membawa misi menolak reduksi kaum modernis, akan tetapi pada akhirnya jatuh pada reduksi. Disamping itu, dimensi ketuhanan agama Yahudi dan Kristen sendiri juga bermasalah.

Konsep Tuhan Yahudi dan Kristen yang problematis tersebut tidak mungkin itu adalah konsep Ilahi. Allah SWT jelas mustahil mengenalkan Diri-Nya kepada manusia dengan logika-logika yang salaing bertentangan. Hal ini semakin menimbulkan pertanyaan bahwa dalam dimensi ketuhanan yang tidak lain hakikat esoteric terdapat kontradiksi-kontradisi. Bahkan konstradiksi itu sangat ekstrim saling berlawanan antara satu dengan yang lainnya. Dari sinilah tesis Nasr bahwa perbedaan agama-agama Abrahamic itu hanyalah terdapat dalam dimensi ”bentuk” dan persamaannya dalam hakikat ”substansi” tidak benar. Realita telah menunjukkan ranah esoteris ketuhanan Yahudi, Kristen dan Islam sangat berbeda. Maka, jalan mengkompromikan tiga agama semit – yang dalam sejarah sering diwarnai konflik – tidak semestinya memalalui kompromi teologis.

Konsep yang digagas Nasr juga kontradiktif dan reduktif. Hakikat exoteric ternyata kebenarannya terbatas. Ia menjadi kebenaran hakiki jika menggunakan sudut pandang dari agama-agama lain. Keterbatasan hak kebenaran itu sebenarnya pengungkapan lain dari reduksi. Sebuah agama tidak memiliki lagi hak penuh menyatakan kebenaran, ia terbatas oleh kebenaran agama lain. Jadi, dimanakah logika Nasr yang berhujjah, tradisionalisme adalah membiarkan agama-agama sebagaimana mestinya? Schuon memiliki istilah untuk ini, bahwa hakikat exoteric itu relatively absolute (mutlak secara relatif). Istilah ini juga rancu. Terkesan Nasr dan Schuon memaksan dan menghindari tuduhan reduksionis. Tapi kenyataannya memang ia mereduksi pemahaman agama-agama, yang sebenarnya itu ia hindari. Walhasil, pendekatan Nasr dalam Abrahamic Faiths  sudah tidak murni teologi tapi filosofis. Itu artinya, ini tidak berbeda dengan kaum sekular Barat yang menyerahkan teologi kepada para filosof. Penyerahakan ini tujuannya adalah menghilangkan eksklusivisme, dan memarginalkan agama. Inilah rasionalisasi agama yang berupaya agar doktrin-doktrin agama itu tunduk pada kondisi sosial dan tuntutan akal manusia.

Kesimpulan

Penggunaan istilah Abrahamic Faiths mestinya tidak digunakan untuk menunjuk agama Yahudi, Kristen dan Islam, sebab istilah tersebut tidak memiliki landasan historis dan ideologis. Dalam kenyataan, Allah SWT tidak pernah menurunkan agama wahyu secara berbeda-beda. Agama Nabi Ibrahim adalah satu yaitu al-dīn al-hanīf atau al-dīn al-fitrah. Ini agama tawhīd yang dibawa oleh para Nabi. Mereka semua menyebut Tuhan dengan nama Allah, bukan Yahweh, Elohim atau Yesus. Satu-satunya agama yang mewarisi tradisi tawhīd Ibrahim as hingga kini adalah agama Islam. Itulah sebabnya, dalam al-Qur’an nabi Ibrahim tidak disebut Yahudi atau Nasrani akan tetapi beliau disebut sebagai muslim.

 

[1]Jerald F.Dirks,Abrahamic Faiths:Titik Temu dan Titik Seteru Antara Islam, Kristen dan Yahudi[terj], (Jakarta: Serambi, 2009), hal. 29

[2] Frithjof Schuon pionir pluralisme aliran Transencent Unitiy of Religion asal Swiss. Konon ia memeluk Islam ketika belajar sufisme di Aljazair dengan nama Islam Isa Nuruddin Ahmad al-Shadhili al-Darquwi al-Alawi al-Maryami. Ia menjadi guru spiritual Seyyed Hossein Nasr dan karya-karyanya dipopulerkan oleh Nasr. Buku terkenalnya adalah The Trancendent Unity of Religions diterbitkan oleh Theosophical Publishing – lembaga yang didirikan oleh kaum freemasonry di India. Baca Wikipedia the Free Encyclopedia

[3] http://www.muslimphilosophy.com/entri Seyyed Hossein Nasr

[4]Baca Seyyed Hossein Nasr,Sains dan Peradaban di Dalam Islam[terj. Sience and Civilization in Islam],(Bandung: Penerbit Pustaka, 1997)

[5] Wikipedia the Free Ecnyclopedia entri Seyyed Hossein Nasr

[6] Baca Seyyed Hossein Nasr,Knowledge and the Sacred (Lahore: Suhail Academy, 1998)

[7]Seyyed Hossein Nasr,Pengantar dalam Frithjof Schuon,Islam dan Filsafat Perenial [terj.Islam and the Perennial Philosophy],(Bandung: Mizan, 1993), hal.7 Lihat juga Anis Malik Thoha,Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis,(Jakarta:Perspektif, 2005), hal.110

[8]Seyyed Hossein Nasr,Pengantar dalam Frithjof Schuon,Islam dan Filsafat Perenial [terj.Islam and the Perennial Philosophy],(Bandung: Mizan, 1993), hal.8

[9] Ibid, hal. 7

[10] Anis Malik Thoha,Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis,(Jakarta: Perspektif, 2005), hal. 111

[11]Frithjof Shuon,Islam dan Filsafat Perenial [terj.Islam and the Perennial Philosophy],(Bandung: Mizan, 1993), hal. 25

[12] Ibid, hal. 26

[13]Bandingan dengan pendapat Abraham Gieger (1810-1874) tokoh Yahudi Liberal asal Jerman yang mengatakan inti agama Yahudi bukan tampak bentuk-bentuk dan konstruksi-konstruksinya, bukan pula pada syari’atnya, tetapi tampak pada moralitasnya. Kaum modernis Kristen juga memiliki pendapat yang hampir sama, yakni dengan memisahkan antara apa yang dinamakan ‘ruh’ (spirit) dan apa yang dinamakan ‘bentuk’ (form) dalam agama. Mereka menamakan ruh sebagai hal yang mutlak dan abadi dan menamakan bentuk hanya sebagai alat yang mempunyai nilai relatif dan berubah-ubah. Lihat Busthami M.Said,Pembaharu dan Pembaharuan Dalam Islam[terj.Mafhūm Tajdīduddin],(Ponorogo:Pusat Studi Ilmu dan Amal,1992), hal.98 dan 110

[14] Seyyed Hossein Nasr,Knowledge and the Sacred, …hal, 295

[15] Frithjof Shuon,Islam dan Filsafat Perenial [terj.Islam and the Perennial Philosophy]…, hal.27

[16] Seyyed Hossein Nasr,Knowledge and the Sacred…,hal. 296

[17]Dialog antar agama sebenarnya paket terbaru Kristenisasi yang dibungkus dalam misi perdamaian, kemanusiaan dan persaudaraan. Tujuan akhir proyek ini adalah agar seluruh manusia menjadi ‘anak-anak Tuhan’ Bapak di Sorga. Paus Paulus IV mendirikan lembaga untuk menangani ini, The Pontifical Council for Interreligious Dialogue (PCID). Selanjutnya baca Syamsudin Arif,’Interfaith Dialogue’ dan Hubungan Antaragama dalam Perspektif Islam dalam Jurnal TSAQAFAH Vol. 6 No. 1 April 2010 ISID Gontor, hal.145

[18]Lihat Ismail Raji Al-Faruqi,Trialog Tiga Agama Besar (Surabaya:Pustaka Progresif,1994) dan Adian Husaini dalam Membendung Arus Liberalisme di Indonesia (Jakarta: Pustaka al-Kautsar), hal.295.

[19] Lihat pengaruh pemahaman ini misalnya dalam  Abd. Moqsith Ghazali,Argumen Pluralisme Agama;Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (Depok: Kata Kita), hal. 83

[20] Abd. Moqsith Ghazali,Argumen Pluralisme Agama;Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (Depok: Kata Kita, 2009), hal.168. Perlu dicatat bahwa QS.Al-Mā’idah tidak berbicara perbedaan furu’ antar agama semitik. Seikh Nawawi al-Jawi al-Bantani dalam Tafsirnya Maroh Labid Li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid Jilid I halaman 280 cukup jelas menggambarkan makna inti ayat tersebut:

فالتوراة شريعة للأمة التي كانت من مبعث موسى إلى مبعث عيسى. والإنجيل شريعة من مبعث عيسى إلى مبعث سيدنا محمد صلى الله عليه وسلم، والقرآن شريعة للموجودين من سائر المخلوقات في زمنه صلى الله عليه وسلم إلى يوم القيامة

[21]Kamil al-Najjar, al-Tasyabuh wa al-Ikhtilaf bayna al-Yahudiyyat wa al-Islam dalam Abd. Moqsith Ghazali,Argumen Pluralisme Agama;Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (Depok: Kata Kita, 2009), hal.183. Lihat pula kajian yang hampir sama oleh Jerald F. Dirks dalam bukunya Abrahamic Faith: Titik Temu dan Titik Seteru antara Islam, Kristen dan Yahudi (Jakarta: Serambi, 2006)

[22]QS. Al-Baqarah: 124

[23]Komarduddin Hidayat & Muhamad Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perennial (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal.117.

[24] Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam,(London: George Allen & Unwin, 1966), hal. 34

[25]Muhammad Legenhausen,Satu Agama atau Banyak Agama Kajian Tentang Liberalisme dan Pluralisme Agama[terj.Islam and Religious Pluralism],(Jakarta: Lentera Basritama: 1999), hal.155

[26]Frithjof Schuon,Isalam dan Filsafat Perenial,…hal. 26

[27] Muhammad Legenhausen,Satu Agama atau Banyak Agama,..hal. 156

[28] Ibid, hal. 34

[29]Baca selanjutnya dalam Anis Malik Thoha,Tren Pluralisme Agama,…hal. 210

[30]Selain Islam, agama yang memposisikan diri sebagai agama misi adalah Kristen. Risalah Nabi Isa as sejatinya bukan untuk seluruh bangsa. Nabi Isa as menerangkan apa yang diwahyukan Allah kepadanya untuk Bani Israil. Salah satu yang didakwahkan Nabi Isa adalah akan datangnya Rasul terakhir yang membawa misi agama universal (Islam). Akan tetapi dalam perkembangan, mereka merubah ajaran pokok termasuk mengambil gagasan agama universal Islam untuk diterapkan kepada agama baru bernama Kristen. Setelah mengambil gagasan yang mestinya ditujukan kepada Islam, Kristen mendakwahkan dirinya sebagai agama universal yang harus dipeluk seluruh manusia. Baca S.Naquib al-Attas,Islam dan Sekularisme,(Bandung:Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insani, 2010), hal.125

[31] Islam adalah agama para nabi. Lihat QS. al-Baqarah: 128, 131 dan 133, QS. ‘Ali Imrān: 67, QS. Yunus: 84, QS. al-Mā’idah: 44

[32] Muhammad Legenhausen, Islam and Religious Pluralism ,… hal. 99.

[33] Weech, Civilization of the Near East, p. 84 dan 85 dalam Ahmad Syalabi, Muqaranatu al-Adyan, (terj. Perbandingan Agama; Agama Yahudi), (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal.170.

[34] Ibid. hal. 171

[35] Samiri adalah kaum Bani Israil dari suku Assamirah. Patung sapi yang dibuat Samiri dibuat dari segenggam tanah bekas jejak telapak kuda Jibril as, lalu tanah itu dilemparkan ke dalam logam, dan dibuatlah patung sapi yang dapat mengeluarkan suara.

[36] Bible Kitab Raja-Raja (18): 4

[37] Ahmad Syalabi, Perbandingan Agama; Agama Yahudi, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 172

[38] Ibid. hal. 173

[39] Herlianto, Gerakan Nama Suci, Nama Allah yang Dipermasalahkan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hal.98

[40] Harold Bloom, Jesus and Yahweh (New York: Riverhead Books, 2005), hal. 127

[41] Herlianto, Gerakan Nama Suci, Nama Allah yang Dipermasalahkan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hal.99

[42] Ibid, hal. 102

[43] The Interpreters Dictionary of the Bible, Vol. II, (Nashville: Abingdon Press,1989), hal. 411-412.

[44] Sacred Name Movement adalah orang-orang Kristen yang terpengaruh tradisi Yahudi. Berdiri pada tahun 1930 di Amerika Serikat, misi utamanya adalah mengembalikan ajaran Kristen kepada akar Yudaik (Hebraic Roots Movement), seperti dalam hal ritual dan penyebutan nama Tuhan – yaitu menyebut nama Tuhan dengan lafadz Yahweh.

                                                                                                                                                                                                [45]Di Indonesia gerakan ini menunjukkan eksistensinya dengan menerbitkan Bible versi mereka. Dalam Bible yang dinamai dengan Kitab Suci Torat dan Injil terbitan Lembaga AlKitab Indonesia (LAI) nama Allah diganti dengan kata Elohim, kata TUHAN diganti dengan Yahweh dan Yesus diganti dengan Yesyua Hamasyah[45]. Bahkan Majalah Kristen Reformata edisi 80 bulan Maret 2008 memberitakan bahwa Gerakan Nama Suci atau disebut pula Pemuja Yahweh akan memejahijaukan Lembaga AlKitab Indonesia karena tetap menerbitkan AlKitab yang menggunakan nama Allah. Ciri utama gerakan Pemuja Yahweh ini adalah sangat vokal menyuarakan semangat menolak nama Allah, karena nama Allah adalah nama berhala orang Arab. Berarti umat Kristiani yang menggunakan nama Allah, menurut Gerakan Nama Suci, adalah menghina Yahweh, yakni menyamakan Yahweh dengan berhala. Lihat Herlianto, Gerakan Nama Suci, Nama Allah yang Dipermasalahkan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hal.93.

[46] Huston Smith, The Religions of Man (terj. Agama-Agama Manusia), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hal. 260.

[47] Ibid. hal. 135

                                                                                                                                                                                                                [48]Kristen Arab yang masih tetap menggunakan kata Allah dalam Bible menimbulkan persoalan tersendiri ketika umat Kristiani Indonesia merujuk kepada versi Arab. Sebab, huruf Arab tidak mengenal huruf kapital dan huruf kecil. Mislanya sebuah Bible versi Arab-Inggris yang diterbitkan International Bible Society menulis Kitab Ulangan 10:17:

لأنّ الرب إلهكم هو إله الألهة و ربّ الأرباب، الإله العظيم، الجبار المحب، الذي لا يحاب وجه أحد، ولا تسترشي

Sedangkan dalam teks versi Inggris yang diterbitkan New International Version ayat tersebut ditulis:

For the LORD your God is God of gods and Lords of lords, the great God, mighty and awesome, who shows no partialitiy.

Versi Indonesia terbitan Lembaga AlKitab Indonesia tahun 1999 menerjemahkan:

Sebab TUHAN, Allahmulah Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan, Allah yang besar, kuat dan dahsyat, yang tidak memandang bulu ataupun menerima suap.

[49] Lihat Ellen Kristi, Yesus Kristus Bukan Allah Tapi Tuhan (Borobudur Indonesia Publishing: 2009), hal. 25-26

[50] Lihat Bambang Noorsena, The History of Allah (Yogyakarta: Andi, 2005), hal. 23.

[51]Baca Seyyed Muhammad Naquib al-Attas,Prolegomena to the Metaphysics of Islam,(Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), hal. 5-10

Last modified: 04/09/2018

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *