Dr Adi Setia: Peradaban Melayu Islam Harus Bangkit

Written by | Nasional

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Inpasonline.com – Dr. Adi Setia dikenal sebagai cendekiwan yang giat mengampayekan bangkitnya kembali peradaban Melayu. Tentu saja ia punya alasan yang kuat dengan ide-ide tersebut.

Menurut Adi bangsa Melayu sebenarnya menyimpan kekayaan ilmu yang tidak kalah dibanding peradaban-peradaban lain di dunia. Alam Melayu pernah memiliki tokoh-tokoh besar yang menghasilkan karya ilmiah yang brilian. Misalkan, seorang ulama bernama Syeikh Daud al-Fathani. Ulama dari Pattani, Thailand Selatan, ini dikenal sebagai ulama yang memiliki karya tulis yang kaya dengan ilmu.

“Pada zamannya, beliau sudah menulis buku tentang tata cara melakukan pemisahan serta merumuskan formula kimia untuk menghasilkan sintesis bahan baru,” terangnya. Formula tersebut dapat dipakai untuk memproses emas sehingga terpisah dengan bahan lainnya.

Sayangnya, kata Adi, karya ilmu itu tidak mendapat perhatian dari generasi berikutnya. Akibatnya, bangsa Melayu sendiri lupa bahwa di tanah Melayu banyak ulama yang lebih progresif dibanding ulama Jazirah Arab.

Bahkan, kata Adi, fikih ulama dari Melayu waktu itu sudah ada yang kreatif. Contohnya, tentang penyelesaian masalah harta gono-gini yang tidak terdapat dalam karya-karya para ulama Jazirah ketika itu.

Jadi, menurut Adi, alam Melayu sebenarnya tidak dangkal ilmu dan tidak buta waqi’ (realitas). “Malah sebaliknya, sudah tumbuh sebuah peradaban yang benar-benar mempraktikkan kontekstualisasi fikih seperti yang terpapar pada diri Syeikh Muhammad Arshad al-Banjari, seorang ulama besar dari Kalimantan Selatan,” jelasnya lagi.

Bukti lain, para ulama Melayu juga mengarang banyak buku tentang pengobatan yang ramuanya dari tumbuh-tumbuhan alam Melayu. Pengobatan model seperti ini sekarang dikenal dengan nama pengobatan herba. Dan, dalam kenyataanya, pengobatan ini tidak menimbulkan efek sebagaimana yang terjadi pada pengobatan Barat. Bahkan, Barat sendiri sudah mulai melirik pengobatan seperti ini.

Demikian juga Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia, menjadi “bahasa Muslim” kedua terbesar yang digunakan oleh lebih dari 100 juta jiwa. Karena itu, Melayu identik dengan Islam.

Kemajuan peradaban bisa pula dilihat dalam bidang agraris. Masyarakat yang tinggal di lereng gunung sudah memiliki cara sendiri bagaimana memetakan tanah pegunungan agar bisa menampung air sehingga mudah ditanami. Teknologi yang mereka terapkan benar-benar jitu dan tepat guna.

Berdasar fakta sejarah itu, Adi yakin bahwa sebenarnya bangsa Melayu bisa bangkit kembali membangun peradabannya sesuai dengan karakter Melayu yang islami. Apalagi bangsa Melayu masih memiliki kekayaan ilmu yang tidak kalah dibanding peradaban lain.

Hanya saja, kekayaan ilmu itu belum tergali dengan baik. Sangat disayangkan jika kemudian orang Melayu lebih suka meniru peradaban Barat yang sebenarnya tidak sesuai dengan karakter Melayu sendiri.

“Kita jangan inferior dengan peradaban lain,” tegasnya. Orang Melayu, menurut Adi, harus bangga dengan peradabannya sendiri yang terbukti pernah eksis di tengah-tengah peradaban lain. Tak ada alasan bagi orang Melayu merasa kerdil dan terbelakang dari peradaban lain.

“Potensi kaum Muslim di wilayah Melayu-Nusantara yang jumlahnya sekitar 200 juta jiwa ini jika ditata dan digalang, akan menghasilkan sebuah bangunan peradaban Melayu yang tinggi dan agung.”tegasnya.

Berikut penjelasannya kepada majalah Hidayatullah yang dikutip oleh Inpasonline.com.

Bagaimana sejarah perkembangan ilmu di tanah Melayu sehingga melahirkan peradaban Islam-Melayu?

Datangnya Islam ke tanah Melayu telah membawa perubahan sosio-budaya masyarakat Melayu yang ditandai dengan berkembannya tradisi keilmuan Islam. Sistem awal yang diperkenalkan berupa kajian kitab-kitab di surau, langgar, masjid, atau di kalangan istana. Dari sinilah kemudian berdiri pondok pesantren di seluruh wilayah Melayu yang mengajarkan ilmu-ilmu Islam.

Dengan tersebarnya ilmu Islam di Nusantara atau alam Melayu, maka tumbuh dan berkembanglah ilmu-ilmu yang menentukan ciri-ciri kebudayaan Melayu.

Bagaimana prosesnya?

Proses pembudayaan banyak dimainkan oleh para ulama yang berasal dari pusat-pusat pemerintahan Islam-Melayu seperti Malaka, Jawa, Aceh, Palembang, Banjar, dan kemudian Kelantan–Patani. Dari pusat-pusat inilah terpancar pengaruh kebudayaan Islam di bumi Melayu dari Semenanjung Malaka sampai kepulauan Indonesia.

Pada tahap selanjutnya proses ini bukan saja berlangsung melalui pengajian di pondok atau kegiatan dakwah, tetapi juga lewat perdagangan dan perluasan wilayah geopolitik baru.

Artinya, ulama menjadi penunjang keterwujudan peradaban Islam Melayu. Tema ini cocok karena ulama menjadi penentu corak kehidupan masyarakat.

Seperti apa peran ulama waktu itu?

Peran ulama sangat besar dalam mewujudkan peradaban Islam di bumi Melayu, terutama dalam membentuk masyarakat berilmu. Bahkan pada abad ke 17, telah ada jaringan ulama Nusantara yang berfungsi sebagai penyebar ilmu dan keintelektualan Islam di Melayu. Para ulama ini berperan besar dalam menunjang kemajuan dan peradaban Islam. Di antara ulama itu antara lain Syekh Ahmad Al Fathani, Syekh Nik Mat Kecik Al Fathani, dan Syekh Ahmad Khatib Abdul Latif al-Minangkabawi.

Sampai awal abad 20, gerakan ulama mengembangkan ilmu lewat pendidikan agama tidak pernah surut. Apalagi waktu itu sudah terjadi hubungan yang kuat dengan pusat-pusat kebudayaan Islam di al-Haramain atau Tanah Arab, Mesir, Turki, juga di India dan Pakistan.

Apakah itu berarti peradaban dari negara-negara tersebut juga mewarnai tanah Melayu?

Ya. Peradaban yang ada di negara tersebut telah memberikan ciri-ciri khusus terhadap peradaban Islam di Asia Tenggara yang dikenal sebagai peradaban Islam-Melayu. Penerimaan terhadap ajaran Islam dan kebudayaannya menyebabkan kebudayaan Melayu disejajarkan dengan Islam. Karena itu Islam tidak sukar diterima oleh sebagian besar orang serumpun Melayu.

Mengapa bisa begitu?

Sekali lagi, ini terjadi karena peran para ulama. Jasa-jasa mereka sangat besar dalam menanamkan nilai-nilai keislaman melalui kajian keilmuan. Para ulama itu menyebar dari Kelantan-Pattani, Terengganu, Pontianak, Sambas, Sumbawa, Makasar, Minangkabau, Kedah, Lingga, dan sebagainya.

Sebesar apa sumbangan ulama-ulama Melayu terhadap perkembangan ilmu?

Kalau diteliti lebih lanjut, para ulama itu cukup aktif membuat karya tulis dalam pelbagai bidang ilmu. Sejak abad 16 dan 17 kita bisa lihat hasil karya tulis mereka seperti kitab Syarh Hikam yang terkenal itu, yang ditulis oleh Syeikh Abdul Malik dari Terengganu. Selain itu masih banyak kitab-kitab yang ditulis oleh ulama Melayu yang sampai sekarang masih dipakai.

Bidang apa saja yang dikupas oleh kitab-kitab para ulama Melayu?

Pertama tentang dasar-dasar pandangan hidup Islam dengan menerangkan hakikat ketuhanan dan hubungannya dengan kenyataan-kenyataan yang perlu diketahui dalam kehidupan seorang Muslim. Dengan ini dasar-dasar pandangan hidup Muslim menjadi lebih jelas.

Kemudian, tentang ibadah dan fiqih. Ilmu ini mengatur pola hubungan antara sesama manusia dan manusia dengan Tuhannya. Hubungan antara manusia dengan manusia itu telah membentuk kebudayaan dan tata kehidupan sehingga proses penciptaan mereka tetap terikat pada aqidah dan tauhid. Manusia membentuk kebudayaan dan peradaban mereka tetapi landasannya adalah agama yang datangnya dari Allah SWT.

Selanjutnya, ilmu-ilmu yang menyangkut bidang etika dalam kerangka syariat yang syumul dan menyeluruh. Dalam bidang ini sifat-sifat utama yang merupakan nilai-nilai baik dan sifat-sifat tercela, keji, diterangkan dengan jelas, dikaitkan dengan kehidupan sosial masyarakat. Malah, tidak jarang pembahasan tentang ilmu ini dihubungkan pula dengan masalah metafisika dan ketuhanan.

Nama-nama yang terkenal di bidang ini ialah Syeikh Abdul Samad al-Palembani dengan karya besarnya Siyar al-Salikin dan Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dengan karya kontroversinya – al-Durr al-Nafis.

Dengan berdasar kepada pemahaman doktrin dalam bidang ini serta pelaksanaannya dalam kehidupan perseorangan dan jamaah, maka terbentuklah suatu sistem nilai dan etika Islam di Nusantara, yang kemudian menjadi wadah dan acuan bagi sistem moral dan akhlak yang sekarang menjadi nilai bersama.

Apakah itu berarti budaya intelektual Melayu waktu itu sudah berkembang pesat?

Ya. Dari segi budaya intelektual, Melayu mempunyai sejarah dan tradisinya sendiri. Kedatangan Islam ke sini telah mendorong berkembangnya peradaban keilmuan.

Memang tanah Melayu belum pernah melahirkan seorang ulama sekaliber ash-Syafi’i atau al-Ghazali. Namun, setidaknya sudah melahirkan ulama kelas dunia seperti Syeikh Nawawi al-Bantani yang karya-karyanya menjadi rujukan para ulama Hijaz.

Bahkan, selain menghasilkan karya-karya sendiri, para intelektualis Melayu juga mampu menerjemahkan karya-karya besar seperti al-Baidawi, al-Mawardi, dan al-Ghazali.

Bagaimana hubungan ulama dengan para penguasa waktu itu?

Hubungannya sangat baik. Malah sebagian ulama sengaja menikahi putri raja yang masih menganut agama Hindu. Tujuannya, agar dakwah Islam mendapat dukungan dan tidak menemui hambatan dari kerajaan. Pada akhirnya banyak raja-raja Hindu yang masuk Islam dan mengubah sistem pemerintahannya menjadi pemerintahan Islam.

Dalam sejarah Melayu kita bisa melihat bahwa apabila umara (pemerintah) dan ulama bekerjasama dan saling mengukuhkan maka peradaban Melayu-Islam berkembang mendunia. Ini terjadi pada zaman Samudera-Pasai, Malaka, Aceh, Demak, Banten, Mataram, dan Johor-Riau.

Pusat kekuasaan waktu itu juga menjadi pusat penyebaran agama Islam di seluruh alam Melayu. Inilah yang menyebabkan peradaban Islam-Melayu bisa cepat muncul.

Last modified: 23/04/2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *