Diskursus Neo-Modernisme dan Meningkatnya Irreligiusitas

Written by | Pemikiran Islam

Oleh : Dr. Slamet Muliono Redjosari,

dosen UIN Surabaya

 

inpasonline.com – Tulisan Azyumardi Azra berjudul ‘Irreligiusitas’ Agama dan Politik (4) di Republika edisi 14/01/2021 perlu dicermati. Ketika merespon adanya peningkatan irreligiusitas menjadi ateis atau pindah agama di kalangan muslim, dia mengkritik kelompok Islam yang mengajak kembali ke Islam dengan merujuk pada generasi Salaf. Bahkan kebangkitan kelompok ini disorot karena menampilkan Islam yang ia sebut literal dan kaku. Mereka dinilai bukan saja bisa menimbulkan kegaduhan di kalangan Muslim, tetapi membawa Islam kepada ketidaksesuaian dengan perubahan zaman modern dengan modernitas yang terus meningkat. Mengutip pandangan Mustafa Akyot (How Islamists are Running Islam, 2018) yang menyarankan penguatan kembali pemikiran dan praksis modernism Islam atau progresivisme Islam, Azyumardi mengkritik bahwa kecenderungan modernisme dan modernitas mengorbankan akar dan tradisi Islam. Dia menawarkan untuk mengembangkan neo-modernisme atau pasca-modernisme, dan dengan kerangka ini modernisme dan modernitas dapat diadopsi dengan tetap berpegang teguh pada warisan (turats) dan tradisi Islam. Artinya, tradisi Islam dibaca dengan kacama mata neo-modernisme.

Gagasan Azyumardi yang menawarkan Islam wasathiyah dengan karakter tawasuth, tawazun, i’tidal, dan tasamuh sah-sah saja. Tapi problemnya adalah pembacaan dengan pascamodernisme itu lah yang bisa mengelirukan tentang tradisi Islam. Apa yang diusulkan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengulang sejarah, dimana keberpihakannya pada kelompok modernis dan pasca-modernis terlihat sangat jelas. Keberpihakannya ini bukannya mewujudkan masyarakat muslim yang hidup bersesuaian antara cita-cita Islam, hidup damai, harmonis dan rukun sesama muslim tetapi justru memarginalkan syariat Islam sendiri.

Mempertanyakan Religiusitas

Kecenderungannya untuk membela dan berkiblat pada Barat, menjadi faktor utama sehingga secara tidak sengaja menyingkirkan syariat Islam sebagaimana yang digaungkan oleh kelompok yang mengajak kepada Islam murni. Kaum modernis sering mengkritik kaum yang berkiblat kepada tradisi Salaf, dengan tudingan akan mengajak umat Islam mundur ke belakang. Padahal dengan mengikuti tradisi Barat, justru menghancurkan masa depan Islam.

Mereka menggerakkan umat tidak lewat tempat suci tetapi melalui tempat seperti perkantoran atau hotel yang tidak berbasis masjid. Padahal merujuk pada warisan (turats) atau tradisi Islam, Nabi menggerakkan umat Islam melalui masjid. Bahkan tidak jarang kaum modernis tidak muncul sebagai tokoh yang menggerakkan umat melalui masjid.

Andaikan mereka mau menjalankan turats, maka mereka bisa bersinergi dengan kaum muslimin yang berbasis masjid, baik sebelum atau sesudah shalat jamaah di masjid. Dalam tatanan praksis, kaum modernis lebih banyak membela eksistensi kelompok-kelompok non-muslim, LGBT, liberal dan sekular. Bahkan mereka banyak bermain, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk membela kepentingan mereka yang berpegang teguh pada budaya lokal. Tidak jarang kaum modernis menstigma kaum muslimin yang ingin memurnikan Islam, sebagai kelompok yang tak toleran.

Bahkan sedemikian gigihnya membela kelompok yang menyimpang ini, maka kaum modernis abai terhadap perjuangan kaum muslimin yang ingin mengamalkan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan tidak ada pembelaan dari kaum modernis untuk bersinergi terwujudnya nilai-nilai Islam dalam kancah Pendidikan, politik, budaya Islam. Di sinilah terjadinya sebuah dilema dimana kelompok yang ingin mengajak kepada nilai-nilai tradisi salaf seringkali distigma, dengan menggeneralisir sebagai kelompok ekstrem sehingga harus disingkirkan dari ruang publik. Bahkan tidak jarang didituduh sebagai kelompok radikal sehingga mengalami ancaman dan tuduhan sebagai kelompok yang membahayakan negara.

Bahkan kelompok yang mengajak kepada Islam murni dikritik karena ingin membawa Islam ke masa Nabi yang tidak mengenal teknologi, sehingga naik haji dengan onta -tidak perlu menggunakan pesawat-, tidak perlu menggunakan HP atau sarana modern lainnya. Sementara, kaum modernis justru membiarkan kaum tradisionalis yang mengagungkan budaya lokal yang dekat dengan kesyirikan. Kaum modernis juga memandang pentingnya kebebasan beragama, dan bahkan menganggap semua agama benar sehingga tidak boleh mengklaim Islam sebagai agama yang paling benar.

Serangan kaum modernis ini seolah menjepit kelompok yang mengajak kepada pengamalan Islam dengan berbagai stigma buruk sehingga masyarakat luaspun ikut menghakimi dan menjauhinya. Dengan adanya perseteruan inilah dipandang oleh orang luar bahwa Islam merupakan agama yang menciptakan konflik. Di sinilah relevansi naiknya angka irreligiustias karena mereka melihat bahwa beragama justru menciptakan kegaduhan, sehingga tidak beragama lebih aman dari beragama. Mereka menikmati kehidupan dengan bebas, tanpa terikat oleh norma-norma agama. Orang yang beragama dipandang sebagai manusia yang terbelenggu oleh nilai dan norma yang justru membelenggu kebebasan dan kebahagiannya. []

 

Last modified: 27/11/2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *