Di Gontor Ada Ibrah Dakwah Pak Zar

Written by | Opini

Oleh M. Anwar Djaelani*

gontor-pondokInpasonline.com-Dakwah menempati posisi yang sangat penting. Untuk melakukannya kita memerlukan teladan. Terkait ini, para Nabi adalah teladan utama. Berikutnya, teladan itu adalah pewaris para Nabi yaitu ulama. Di titik ini, KH Imam Zarkasyi bisa menjadi salah satu teladan terbaik. Mengapa?

 

Pendidik Sukses

Di sebulan terakhir ini berlangsung “Peringatan 90 Tahun Pondok Gontor”. Sementara, puncak acaranya dijadwal Senin 19 September 2016. Maka di momentum ini banyak yang bisa kita kerjakan termasuk mengenang KH Imam Zarkasyi, tokoh yang disebut-sebut paling berpengaruh dalam mendirikan dan membesarkan Pondok Gontor.

Siapa Pak Zar, sapaan akrab KH Imam Zarkasyi, itu? Pak Zar lahir pada 1910 di Gontor – Ponorogo. Dalam usia belum sepuluh tahun, dia ditinggal sang ayah –Kiai Santoso Anom Besari- yang wafat pada 1920.

Pak Zar adalah salah satu dari tiga bersaudara. Dua yang lain adalah Ahmad Sahal dan Zainuddin Fanani. Ketiganya secara bersama-sama mendirikan dan mengembangkan Pondok Modern Darussalam Gontor yang sangat terkenal itu.

Bermula pada 1926, saat Ahmad Sahal mulai menggerakkan Pondok Gontor. Saat itu, Pak Zar muda masih menuntut ilmu. Tercatat, dia penah belajar di Pesantren Jamsaren Solo dan di Sekolah Mamba’ul ‘Ulum Solo. Lalu, masih di Solo, Pak Zar meneruskan ke Sekolah Arabiyah Adabiyah –mendalami bahasa Arab- sampai 1930. Selepas itu dia ke Sumatera Barat berguru kepada para lulusan Darul Ulum Mesir di Normal Islam dan Sumatera Thawalib di Padang.

Pada 1936 Pak Zar pulang kampung. Lalu, bersama Zainuddin Fanani, Pak Zar membuka programKulliyatul Muallimin Al-Islamiyah (KMI) di Pondok Gontor. KMI, sebuah sekolah tingkat menengah dengan masa belajar enam tahun.

Untuk apa Pondok Gontor didirikan? Pertama, sebagai buah dari obsesi ketiga bersaudara itu untuk membangkitkan kejayaan pendahulu mereka – Pesantren Tegalsari. Kedua, untuk menjawab kenyataan pahit bahwa di sebuah musyawarah umat Islam pada 1926, sulit untuk menemukan utusan ke Kongres Umat Islam di Timur Tengah yang mahir berbahasa Arab dan Inggris. Maka, mereka bertiga mengingini adanya sebuah pesantren yang lulusannya antara lain berkualifikasi cakap berbahasa Arab dan Inggris.Ketiga, mereka ingin mendirikan pesantren yang tidak kumuh, santrinya berpengetahuan luas, terbuka, dan berfikiran progressif. Sebab, saat itu, dunia pesantren selalu dilecehkan orientalis dengan menggambarkan pesantren sebagai kumuh, santrinya berfikiran picik, eksklusif dan mundur di bidang pengetahuan umum.

Sepadan dengan potensi yang dimilikinya, amanah yang digenggam Pak Zar makin banyak. Amanah jabatan itu mulai dari level Karesidenan Madiun sampai yang di pusat pemerintahan seperti di Kementerian Agama dan di Kementerian Pendidikan. Pernah pula, 1959, Pak Zar menjadi anggota Dewan Perancang Nasional (Deppernas).

Hal lain yang menarik, Pak Zar berkeyakinan bahwa menulis (buku) adalah aktivitas dakwah yang hebat. Maka, diapun cukup produktif menulis. Banyak karyanya yang masih dapat dinikmati. Ini sesuai niatan beliau pada awal dibukanya KMI, 1936: “Seandainya saya tidak berhasil mengajar dengan cara (konvensional) ini, saya akan mengajar dengan pena.”

Tapi, perjalanan hidup tak selalu mulus. Sejumlah ujian hidup menghadangnya. Salah satu yang berat adalah ketika terjadi gejolak di internal Pondok Gontor. Gejolak itu besar yang lalu berakibat banyaknya santri yang mengundurkan diri. Akibatnya Pak Zar sempat tampak terpukul, sehingga dia pernah berdoa: “Yaa Allah, kalau sekiranya perguruan yang saya pimpin ini tidak akan memberi faedah kepada masyarakat, maka lenyapkanlah ia dari pandangan saya dengan segera.”

Doa tersebut wujud sikap tawakkal kepada Allah. Pak Zar hanya berikhtiar sesuai kemampuan. Dia sendiri tampak masih teguh, terbukti dengan tekadnya: “Biarpun murid saya tinggal satu orang, akan tetap saya ajar sampai tamat. Saya yakin, dari yang satu ini nanti akan muncul 10, 100, hingga 1.000 orang. Seandainya seorang pun tidak, maka saya akan mengajar dengan pena”.

Alhasil, sangat banyak  ibrah atau pelajaran yang bisa kita ambil dari sosok bernama Pak Zar. Maka, sekadar menyebut tiga di antaranya, adalah: Pertama, Pak Zar percaya kepada kekuatan tulisan sebagai salah satu media media dakwah yang terbaik. Di titik ini seperti ada pesan: Bahwa pendakwah yang ideal itu adalah mereka yang lisannya cakap berceramah dan tangannya trampil menulis.  Kedua, Pak Zaristiqomah sebagai insan yang mandiri. Bahwa sebagai kiai yang bertekad tidak menggantungkan hidupnya dari pondok, Pak Zar memiliki usaha percetakan. Usaha yang dimulai dari nol ini dikelola sendiri dengan manajemen seadanya. Percetakan ini kemudian menjadi tulang punggung ekonomi keluarga yang telah menjadi cita-cita Pak Zar sejak bersekolah di Padang. Lebih dari itu, Pak Zar mengarang buku-buku, mencetak dan menjualnya sendiri. Ketiga, Pak Zar habis-habisan dalam berdakwah. Bahwa, kata Pak Zar, semua yang kita miliki -“bahu, bondo, pikir, lek perlu sak nyawane pisan” (tenaga, harta, pikiran, kalau perlu nyawa sekalian) jangan ragu untuk kita korbankan di jalan dakwah. Di titik ini, cermatilah wakaf “Pondok Gontor untuk umat Islam” pada 12 Oktober 1958 (acara ini sebenarnya merupakan penguatan dari apa yang secara lisan sudah dinyatakan oleh pendiri Pondok Gontor di hadapan umum pada 1951). Bahwa, Pondok Gontor diwakafkan untuk umat Islam.

Alhasil, Pak Zar adalah pendidik yang sukses. Lulusan Pondok Gontor banyak yang kemudian menjadi tokoh terkemuka. Mereka -antara lain- KH Hasyim Muzadi (mantan Ketua Umum PBNU), Prof. Dr. Din Syamsuddin (mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah) dan Hidayat Nur Wahid (mantan Ketua MPR).

Pak Zar adalah Tokoh Besar. Maka, tak aneh, saat beliau wafat pada 30/04/1985, sejumlah media besar di saat itu –seperti Jawa Pos, KOMPAS, Sinar Harapan, dan Panji Masyarakat– menurunkan berita dan atau obiturinya.

 

Baca, Baca!

Sungguh, bagi masyarakat luas dan terutama untuk kalangan yang peduli di bidang pengembangan pendidikan (Islam), membaca biografi Pak Zar sangat dianjurkan. Lewat aktivitas ini kita bisa meraup banyak ibrah dan keteladanan. Bahkan, tak hanya dalam hal mendidik santri tetapi juga bagaimana Pak Zar mendidik putra-putrinya sendiri. []

penulis buku “50 Pendakwah Pengubah Sejarah”, dan aktivis Lembaga Dakwah Kampus Unair di 1980-an

Last modified: 25/09/2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *