Dakwah Kultural dan Intelektual NU dalam Menyikapi Syi’ah

Written by | Opini

Copy of cetak kh hasim asariOleh: Moh. Isom Mudin*

Inpasonline.com-Nahdlatul Ulama merupakan salah satu organisasi masyarakat yang tercatat memiliki peran yang khas dalam membendung perkembangan Syi’ah di Indonesia. Metodenya dilakukan secara kultural dan intekeltual. Kalangan elit intelektual ataupun orang-orang awam di perkotaan hingga pelosok-pelosok terpencil. Tentu tujuan utamanya adalah membentengi aqidah umat Islam agar tidak keluar dari pakemnya.

Dakwah Kultural

Berbagai tradisi di masyarakat Indonesia menggambarkan perlawanan kultural terhadap Syi’ah. Kita lihat misalnya, sambil menunggu iqamat dikumandangkan, lantunan puji-pujian dan dzikir sayup-sayup terdengar dari para jama`ah yang menggambarkan cinta kepada Nabi dan para sahabatnya. Bukan hanya di masjid-masjid besar, di surau-surau yang terbuat bambu kecil di pedesaan tempat anak-anak kecil mengaji tidak ketinggalan. “Astagfirullah Rabbal Baraya Astagfirullah minal Khathaya, Rabby Zidny Ilman nafi`a wa waffiqny Amalan maqbula. Ya Allah, Ya Muhammad, Ya Aba Bakr As-Shiddiq, Ya Umar, Utsman Wa Aly, Sity Fathimah Bin ti Rasuli”. Ini adalah salah satu dari puluhan sya`ir popular yang dikumandangkan jamaah Nahdliyyin yang banyak di temui di kampung-kampung.

Sebenarnya, tradisi ini sudah ada sebelum KH. Hasyim Asy`ary dan para Kiai lainnya mendirikan Nahdlatul Ulama. Salah satu Kiai muda NU, Gus Idrus Ramly mengungkapkan bahwa lantunan ini dimulai setelah adanya permintaan fatwa ulama Indonesia kepada ulama Timur Tengah atas tradisi Syi’ah yang menyiksa dirinya pada 10 Asyura. Info ini diperoleh dari kitab ‘Bughyah al-Musytarsyidin’, salah satu kitab Syafi`iyyah yang mu`tabar. Setelah difatwakan haram maka para ulama menghimbau agar puji-pujian tersebut dikumadangkan sebagai perlawanan kultural terhadap tradisi Syi’ah yang membenci sahabat dan para istri Nabi itu.

Tradisi yang lain adalah menyebutkan Nabi dan empat Khalifah di sela-sela shalat tarawih. Di samping bertujuan untuk mempermudah hitungan shalat yang dilaksanakan, rahasia lainya yang hendak disampaikan adalah larangan membenci para Sahabat Nabi Saw. Walaupun tidak ada satupun para Kiai yang mengatakan wajib, namun bagi para warga Nahdliyyin merasa bahwa tanpa menyebutkan nama-nama tersebut, shalat tarawih terasa sangat hambar. Seperti makan nasi tanpa lauk-pauk. Saat nama-nama mulia tersebut disebutkan oleh ‘nida’ (bilal) para jama`ah secara serentak mendo`akan dengan mengucapkan ‘Radliyallhu `anhu’.

Selain dua tradisi di atas, banyak tradisi lain yang mengajak untuk mencintai Sahabat Nabi Saw yang sudah menjadi ‘trade-mark’ NU. Mencintai para Habaib, membaca Maulid Nabi seperti Barzanzy dan Simt al-Dlurar, Manaqiban (pembacaan sejarah Sahabat dan para wali) dan lain sebagainya. Semuanya berisi himbauan mencintai Nabi, Sahabat dan istri beliau, para wali dan orang shaleh.

Sungguh membingungkan komentar seorang peneliti dan budayawan seperti yang diikuti segelintir orang NU sendiri menyimpulkan bahwa tradisi ini adalah tradisi Syi’ah dengan menyebut NU adalah ‘Syi’ah Kultural’. Padahal tradisi inilah yang meredam Syi’ah. Slogan yang benar adalah “Kultur NU meredam Syi’ah”.

Terbukti, perlawanan secara kultural ini sangat efektif. Tanpa menggunakan analisa dalil al-Qur`an dan Hadits, masyarakat tanpa sadar atau sadar tidak diajak untuk mencintai Nabi, istri-istri, dan para Sahabatnya. Masyarakat petani di desa dan anak-anak kecil yang tidak pandai membaca kitab kuning (turats) pun menjadi tahu bahwa dilarang mencaci maki mereka. Bila ada yang mencaci maka mereka secara spontan akan menolaknya, bahkan hingga diasingkan, dikucilkan hingga kemarahan.

Dakwah Intelektual

            Meredam dengan pena adalah salah satu metode yang ditempuh. Dalam hal ini, Kiai kharismatik Hadratus Syaikh Hasyim Asy`ari menjadi acuanya. Sebelum revolusi Khomeini di Iran meledak, hingga bisingnya sampai ke Indonesia. Beliau telah merumuskan beberapa kelompok yang telah melenceng dari haluan Ahlusunnah dalam risalah-risalah yang beliau tulis. Diantara firqah tersebut adalah adalah ‘Rafidlah’. Hal ini beliau ungkap secara khsusus seperti dalam ‘Risalah Ahl Sunnah wal Jama`ah’, ‘Muqaddimah Qanun Asasy’, ‘Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin’, ‘al-Tibyan’.

Dalam menjelaskan kelompok ini, beliau menempuh jalan para Ulama terdahulu. Untuk memperkuat pendapatnya, beliau juga merujuk kepada al-Qur`an, as-Sunnah dan pendapat-pendapat ulama Ahlusunnah. Rafidlah dalam pandangan beliau adalah “mereka yang mengutuk Abu Bakar dan Umar, membenci Sahabat, sangat fanatik dan berlebi-lebihan dalam menyanjung Ali dan Ahl Bait”, tulis beliau. Bahkan ‘Sayyid Muhammad berkata dalam Syarh Qamus; diantara mereka sudah ada yang kufur dan Zindik”. Beliau juga mengutip pendapat Qadly Iyadl dalam kitab ‘al-Syifa’ yang memuat hadits-hadits keutamaan sahabat dan kecaman Rasulullah bagi yang mengecamnya. (Risalah Ahl Sunnah, 10-11).

Menurut beliau, dakwah dengan intelektualitas terhadap Syi’ah ini beliau khususkan bagi kalangan yang ahli di bidangnya yaitu para Ulama dan intelektual. Beliau mengutip hadits yang dikeluarkan oleh Khatib al-Baghdady dalam al-Jami. Disebutkan bahwa “jika fitnah sudah merajalela, para Sahabat Nabi Saw dikutuk, maka orang yang memiliki ilmu harus mengerahkan seluruh kemampuanya, jika hal tersebut tidak dilakukan maka laknat Allah, para malaikat dan semua manusia akan menimpa mereka”. (Muqaddimah, 9). Inilah yang menjadi latar belakang berdirinya Nahdlatul Ulama, sebagai organisasi yang meredam Syi’ah yang tergolong firqah bid`ah.

Ada kalimat yang digaris bawahi, ‘orang yang memiliki ilmu harus mengerahkan seluruh kemampuanya’. Banyak hal yang dilakukan. Tradisi tulis menulis yang dicontohkan Kiai Hasyim inilah yang mulai banyak diikuti oleh para tokoh tua dan muda. Beberapa pondok pesantren sudah melakukan kajian serius. Majalah dan buletin berbobot diterbitkan. Pelatihan-pelatihan Aswaja banyak dilakukan. Dialog-dialog ilmiah digelar. ‘Bahtsul-masail’ yang pembahasannya berkutat pada masalah ‘waqiiyyah’ mulai merambah sisi-sisi Aqidah. Semuanya hanya untuk Ahli Sunnah wal Jama`ah.

Di jutaan pondok pesantren yang beraviliasi kepada NU, kurikulum pendidikan dirancang murni untuk ‘Tafaqquh Fiddin’. Mengaji kitab Aqidatul Awwam karya Syekh Marzuqy al-Makky menjadi salah satu contohnya. Kitab ini adalah materi pokok-pokok aqidah ahlusunnah wal-jama`ah berdasarkan metode kalam Imam Abu Hasan Al-Asy`ari. Biasanya, kitab ini adalah buku dasar kelas ‘Shifr’ (sekelas taman kanak-kanak) atau ‘ibtida’’ (dasar). Mereka wajib menghafalkan di luar kepala. Diantara bait-bait syi`ir dalam kitab tersebut menunjukkan bagamana mencintai semua istri Rasulullah yang menjadi pilihan dan mendapatkan ridla. “Sembilan Istri yang terpilih dan dipilih Nabi, Aisyah Hafshah Saudah Shafiyyah Maimunah Ramlah Hindun Zainab Juwairiyyah. Mukmin memiliki para Ibu Yang diridlai”.

            Walhasil, Nahdlatul Ulama mempunyai peran dan cara yang khas dalam meredam Syi’ah. Dakwah yang lembut dan ramah selalu dikedepankan. Namun, lembut bukan berarti tidak tegas. Tegas bukan berarti penuh dengan kekerasan dan kebrutalan. Sikap inilah yang juga ditujukan kepada firqah Syi’ah. Tentu masih banyak metode yang perlu dan bisa digunakan untuk meredam Syi’ah yang akhir-akhir ini semakin masif menyebarkan ideologinya.

Guru Madin Miftahul Huda Jugil-Selok Anyar Lumajang, ketua MIUMI Lumajang

Last modified: 10/08/2017

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *