Dahriyyah di Abad Modern

Written by | Opini

sophis-300x233-7fInpasonline.com-Keberadaan orang yang inkar terhadap keberadaan Tuhan tidak hanya ada pada sekarang ini tetapi telah ada sejak zaman dahulu. Kelompok yang pada zaman modern ini disebut ateis, dulu oleh para ulama disebut al-dahriyyun. Jadi, kelompok al-dahriyyun merupakan kaum ateis pada masa silam.

Dalam al-Munkidz min al-Dhalal, imam al-Ghazali mengidentifikasi kelompok ini. Mereka adalah sekelompok filosof zaman dahulu yang menolak kewujudan Allah Yang Maha Mencipta Alam dan Yang Maha Kuasa. Mereka meyakini bahwa alam ini senantiasa ada dengan sendirinya  tanpa ada yang menciptakan. Mereka ini adalah kelompok zindiq (Imam al-Ghazali, al-Munkidz Min al-Dhalal, hal. 35).

Al-Dahriyyah dari kata al-dahr artinya masa atau waktu. Mereka meyakini bahwa yang mematikan makhluk tidak lain hanyalah karena masa atau waktu, karena itulah mereka disebut dengan al-Dahriyyah.

Ada juga kelompok yang memiliki pemikiran yang hampir sama. Juga sama-sama dari kalangan intelektual. Mereka adalah ilahiyyun dan thabi’iyyun. Berbeda dengan dahriyyun, kelompok ini masih percaya pada Tuhan, akan tetapi mereka memiliki keyakinan yang menyimpang yaitu percaya bahwa Allah mengetahui perkara kulliyat (global), tidak mengetahui yang juz’iyyat (perkara kecil yang rinci).

Jika diperhatikan, pemikiran kelompok dahriyyah ini bisa dilacak dari kelompok pengikut ateisme. Bahkan, pelacakan bisa ditemukan pada tokoh-tokoh sekularisme Barat. Dan mereka semua dari kalangan intelektual dan kaum filosof.

Harvey Cox (1929)  — tokoh  sekularisasi Eropa — menyatakan bahwa masa modern adalah zaman yang tidak ada agama sama sekali, oleh karenanya perlu dijelaskan bagaimana berbicara Tuhan tanpa agama.

Ludwig Feurbach (1804-1872), salah seorang tokoh sekulerisme Barat, dalam The Essence of Christinity secara lugas menyatakan bahwa agamalah yang sebenarnya menyembah manusia (religion that worships man), bukan sebaliknya.

Karena inilah, maka dalam sekularisme otoritas Tuhan dimarginalkan. Pertama-tama mengabaikan agama. Kemudian merendahkan Tuhan. Dan berikutnya anti-Tuhan.

Patricia Aburdene meramalkan suatu saat ada kecenderungan baru di negara-negara Barat, spirituality yes; organized religion no!. Agama tidak dibutuhkan, bahkan dianggap racun.

Pemikiran demikianlah yang cukup gencar dikampanyekan kaum Muslim Liberal. Sebagaimana dahulu dahriyyah menyerang kaum intelektual, maka kini ateisme-sekularisme menyerang intelektual muda baik di Barat maupun negara-negara Muslim.

Kaum ateisme ini merupakan dahriyyah di abad modern. Pertama-tama mereka menganuti pemikiran sekularisme. Sampai pada tingkat yang ekstrim menolak sama-sekali kewujudan Tuhan. Sehinnga ada yang menyebut sekularisme itu bentuk ateis baru.

Jadi, gelombang pemikiran sekular bisa menghantar seseorang menjadi ateis. Buktinya di negara-negara Barat. Kini banyak yang ateis. Sebelumnya mereka adalah kaum liberal.

Apabila ada seorang intelektual Muslim berpendapat bahwa tidak ada hukum Tuhan, maka “setengah langkah” lagi dia menjadi seorang dahri (penganut dahriyyah).

Atau, seorang ahli sains yang berpendapat bahwa dalam perisitiwa-peristiwa alam, Tuhan tidak ikut andil mengubahnya. Maka dia seorang thabi’iyyun. Berada di pintu masuk kaum dahriyyah.

Jadi ternyata, seseorang yang berhaluan paham ateis itu tidak hanya aktivis yang tergabung dalam sebuah organisasi/partai berpaham ateis, tetapi ateisme bisa menjalar ke semu kalangan ilmuan. Bahkan pada seorang yang berpegang KTP muslim sekalipun.

Dulu di Indonesia aktivis partai berhaluan ateis mengolok-olok agama. Melecehkan Allah, dan merendahkan Malaikat dan Rasulullah Saw.

Tetapi kini, anak-anak muda Muslim yang menggemari buku Kar Marx, Harvey Cox, dan lain-lain cukup “fasih” melecehkan Tuhan. Berapa kali diberitakan terjadi insiden pelecehan di kampus berlabel Islam?

Maka, penting untuk membetulkan ilmu dan membebaskan kaum intelektual dari cengkraman pikiran liberalisme yang sudah diharamkan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tahun 2005.

Dikutip oleh imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin sayidina Umar bin Khattab berkata: “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan terhadap umat ini adalah orang pintar yang munafik. Para sahabat bertanya: Bagaimana bisa seseorang itu menjadi munafik yang pintar? Umar menjawab: Yaitu orang yang pandai berbicara (bak seorang alim), tapi hati dan perilakunya jahil”.

Orang yang disebut Umar ra tersebut merupakan orang yang pandai, intelektualnya tinggi, akan tetapi pemikirannya rusak. Berpotensi menjadi dahriyyun di abad modern.

Redaksi inpas

Last modified: 28/09/2017

One Response to :
Dahriyyah di Abad Modern

  1. Rizki Dwi adira says:

    Dalilnya ada gak?
    Kurang lengkap bg

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *