Bilal, Semboyan Ahad-Ahad, dan Sandal Surga

Written by | Sejarah Peradaban

Oleh M. Anwar Djaelani,
(penulis buku “Berdekat-dekat dengan yang Mahadekat” – 2020)

Inpasonline.com-Bilal itu fenomenal, bekas budak tapi langsung menjadi terhormat dengan keislamannya. Bilal itu menakjubkan, frase “Ahad, Ahad!”-nya menjadi semboyan di Perang Badar yang dahsyat. Bilal itu luar biasa, Nabi Saw mengabarkan bahwa bunyi gesekan sandalnya sudah terdengar di Surga.

Tersebab Iman
Tentang nama Bilal, “Di seluruh permukaan bumi yang didiami oleh kaum Muslimin, tidak ada yang tidak mengenalnya,” tulis Khalid Muhammad Khalid. Sejak kehadiran Islam dan insya-Allah hingga di Hari Akhir, kita akan menemukan sedikitnya 7 dari 10 orang yang mengenal Bilal (Khalid, 2017: 88).

Memang, bagi rata-rata umat Islam, identitas Bilal sungguh sangat mudah diingat: Dia muadzin yang kali pertama dipilih oleh Rasulullah Saw saat baru saja ada syariat adzan. Sebelumnya, ia seorang budak yang bertugas menggembalakan unta milik tuannya.

Dulu, Bilal seorang budak yang ketika sang tuan tahu bahwa dirinya telah memeluk Islam, maka marah besar-lah si majikan. Umayah bin Khalaf –majikan itu- sangat murka. Bilal lalu disiksa secara keji dengan harapan mau kembali kepada agama nenek-moyang. Tapi, lidah Bilal tak bisa mengucapkan hal yang diminta oleh sang majikan. Justru, yang terus-menerus keluar dari lisan Bilal adalah kesaksiannya atas keesaan Allah: Ahad, Ahad!

Demikianlah, untuk waktu yang tidak sebentar –berhari-hari- Bilal mengalami siksaan-siksaan yang –bagi manusia kebanyakan- tak tertanggungkan. Misalnya, di sebuah siang yang sangat terik dan di padang pasir yang membakar, orang-orang Quraisy melemparkan Bilal –yang tanpa baju- ke padang pasir yang panas bak api. Tak berhenti di situ, ke atas tubuhnya lalu ditindihkan batu besar yang juga sangat panas. Tapi, Bilal bergeming dan tetap lisannya melafalkan kalimat suci: Ahad, Ahad!

Sampailah pada sebuah hari. Abu Bakar Ra datang dan membebaskan Bilal dari perbudakan dengan cara memberikan uang tebusan kepada Umayah. Tentu saja Umayah senang. Di satu sisi dia telah malu kepada masyarakat yang tahu bahwa dirinya –Umayah- tak mampu membawa kembali Bilal ke agama nenek moyang, sementara di sisi lain –sebagai pedagang- dia merasa untung karena mendapat uang tebusan.

Waktu bergerak. Secara fisik, dia tetap Bilal yang dulu: Seorang lelaki berkulit hitam, kurus kerempeng, tinggi, berambut lebat, dan bercambang tipis. Bedanya, sekarang dia menjadi manusia terhormat, merdeka, dan hidup tenang dalam naungan Islam.

Setelah hijrah ke Madinah, lalu ada syariat adzan, maka Bilal yang menjadi pilihan Rasul Saw untuk mengumandangkannya. Maka, jadilah Bilal –yang bersuara merdu dan empuk- sebagai muadzin pertama dalam Islam.

Perkembangan lain, umat Islam harus menghadapi Perang Badar, perang pertama dalam Islam. Di perang –di tahun kedua setelah hijrah- ini ada yang istimewa. Untuk memompa semangat pasukan Islam, Nabi Saw menitahkan agar ucapan “Ahad, Ahad!” dipakai sebagai semboyan perjuangan. Maka, berkobarlah Perang Badar, sebuah perang yang dari segi jumlah pasukan dan senjata –di atas kertas- menguntungkan musuh Islam.

Selanjutnya, kita cermati performa dari dua orang. Pertama, Bilal yang turut turun di Perang Badar, berjuang penuh semangat. Terlebih, secara keseluruhan, semangat pasukan Islam dibangun di atas semboyan perjuangan “Ahad, Ahad!” Kedua, di fihak seberang ada Umayah bin Khalaf, mantan majikan Bilal. Dia berangkat berperang karena terpaksa, lantaran tak tahan diolok-olok kaumnya sebagai “Bukan laki-laki”.

Di perang itu, Umayah bin Khalaf terkesiap dengan semangat pasukan Islam. Betapa tidak, pasukan Islam menggunakan frase “Ahad, Ahad!” yang khas Bilal sebagai salam perjuangan. Bagi Umayah bin Khalaf, frase itu sangat dikenalnya karena secara fasih dan istiqomah diperdengarkan oleh Bilal, dulu saat dia siksa secara keji. Tak dia sangka, frase itu kini telah menjadi semacam mars perjuangan umat Islam. Takjub dia, begitu cepat Islam berkembang! Sayang, ketakjuban itu tak punya makna lebih jauh sebab dia mati di perang yang diikutinya secara setengah hati itu.

Bilal melanjutkan hidup dalam naungan Islam dan ikut mengambil bagian dalam semua perjuangan dan dakwah Islam. Ia juga tetap menjadi muadzin, menjaga serta menghidupkan syiar Islam.

Sekarang, kita lihat “fragmen” Bilal yang paling memukau, berikut ini: Abu Hurairah Ra meriwayatkan, bahwa suatu ketika Rasulullah Saw bertanya kepada Bilal ketika shalat Fajar. “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang amalan yang paling engkau amalkan dalam Islam, karena aku sungguh telah mendengar gemerincing sandalmu di dalam Surga”. Bilal berkata, “Aku tidaklah mengamalkan amalan yang paling kuharapkan di sisiku, hanya aku tidaklah bersuci di waktu malam atau siang, kecuali aku shalat bersama wudhu itu sebagaimana yang telah ditetapkan bagiku” (HR Bukhari).

Bilal, dari riwayat di atas, istiqomah menjaga wudhu. Jika batal dia wudhu lagi, selalu demikian di sepanjang hari. Bahkan, tak hanya itu, Bilal juga istiqomah merangkaikan wudhunya dengan shalat sunnah wudhu.

Tiga Pelajaran
Kisah Bilal Ra semoga dapat menyemangati kita. Terkait ini, setidaknya dapat disebut tiga pelajaran pokok. Pertama, pertahankan aqidah apapun keadaannya. Kedua, istiqomah-lah dalam menjalankan syariat Islam termasuk jika ada panggilan jihad untuk memertahankan Islam. Ketiga, usahakan-lah memiliki amaliyah yang kita kerjakan secara istiqomah. Kerjakan tanpa henti kecuali ada udzur syar’i. []

Last modified: 11/05/2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *