Bilal dan Makna Kemerdekaan

Written by | Newsflash

Oleh: Anwar Djaelani

FreedomInpasonline.com-Terkait makna kemerdekaaan, kita patut belajar ke Bilal. Tentang hakikat kemerdekaan, kita layak berguru ke Bilal terutama ketika dia masih dalam cengkeraman ’penjajahan’ Umayyah.

Berkaca, Berkacalah!
Saksikanlah fragmen yang menggetarkan berikut ini. Ketika itu- secara fisik- Bilal terbelenggu karena menjadi budak Umayyah. Tapi, setelah mengenal Islam dan mengerti tentang tauhid, jiwa Bilal menjadi benar-benar merdeka.

“Bilal, berpikirlah secara sehat. Atau aku akan menarik jiwamu yang telah dicuri oleh Muhammad, keluar melalui rusukmu,” ancam Umayyah.

“Jiwaku tak pernah dicuri Muhammad. Beliau telah membimbingku ke jalan yang benar,” jelas Bilal sepenuh kesantunan.

“Kau masih berani untuk memertahankan tindakanmu yang salah dan tidak mematuhi perintahku,” hardik Umayyah.

“Dalam hubungan dengan Tuhan, aku tidak akan mematuhi perintahmu, wahai majikanku. Aku hanya mematuhi perintah Allah,” tegas Bilal tanpa ragu.

Lalu, berlangsunglah drama penyiksaan atas Bilal yang sungguh tak terperikan. Tapi, subhanallah, saat disiksa secara hebat dengan tujuan agar Bilal kembali ke “Agama nenek moyang”, dia bergeming. Malah, dengan sepenuh penghayatan, Bilal berseru di depan Umayyah dan Abu Jahal: “Ahad … Ahad … (Allah Yang MahaEsa … Allah Yang MahaEsa … )!”

Lewat fragmen itu, secara tak langsung Bilal mengirim pesan bahwa mentauhidkan Allah bermakna memosisikan Allah dan semua perintah-Nya di atas segala-galanya. Prinsip itu mensyaratkan adanya kepatuhan yang bulat hanya kepada Allah.

Dengan bertauhid kita hanya merasa didominasi oleh Allah saja dan bukan oleh yang selain-Nya. Jika hal itu benar-benar telah kita rasakan di sepanjang langkah kehidupan kita, maka itulah wujud kemerdekaan yang hakiki.

Kini, bagaimana kondisi kita? Sebagai pribadi, benarkah kita telah merdeka? Sudahkah semua pikiran dan sikap kita semata-mata hanya kita tundukkan kepada Allah saja? Ataukah, sebaliknya, pikiran dan sikap kita masih sering diintervensi bahkan dijajah oleh anasir-anasir selain Allah?

Untuk melihat ‘posisi’ kita, mari ukur dengan –antara lain- menjawab secara jujur tiga pertanyaan berikut ini. Seringkah kita berpendapat / bersikap dengan bersandar pada pendapat / sikap tokoh-tokoh sekular (memisahkan agama dari persoalan hidup sehari-hari) dan atau liberal (memaknai dan menjalankan agama berdasar nafsunya sendiri)? Seringkah ucapan kita latah meniru ucapan artis / idola yang jauh dari standar ucapan Islami? Seringkah kita memilih model baju meniru busana bintang pujaan sekalipun modelnya jauh dari ketentuan agama?

Jika kita meng-iyakan pertanyaan-pertanyaan di atas maka bukan saja sejatinya kita belum merdeka, malah –lebih dari itu- tauhid kita layak dipertanyakan. Bukankah, dengan performa seperti itu kita sudah didominasi oleh “Sesuatu selain Allah”? Lebih jelas lagi, kita telah benar-benar berada dalam pengaruh ‘Tuhan’ yang bernama hawa nafsu.

Benar! Salah satu penjajah manusia adalah hawa nafsunya sendiri. Hawa nafsu telah dijadikan sebagai tuhan, sebagai ilah, yang disembah dan dituruti segala perintahnya oleh (sebagian) kita.

Padahal, Al-Qur’an telah mengingatkan agar kita sekali-kali tak menuhankan hawa  nafsu. “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS Al-Jaatsiyah [45]: 23). Berhati-hatilah, sebab jika kita terjatuh dalam posisi menuhankan hawa nafsu, Allah lalu menetapkan: “Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)” (QS Al-Furqaan [25]: 44).

Berdasarkan pemahaman tauhid seperti yang telah disampaikan di depan, maka tak wajar jika ada manusia atau kaum yang semata-mata tunduk dan taat kepada sesamanya, mengalahkan patuhnya kepada Allah. Jika hal itu terjadi, maka pada hakikatnya mereka telah menghambakan dirinya kepada sesama makhluk. Itu berarti, mereka bukan lagi menjadi orang yang merdeka.

Penghambaan (dalam arti luas) manusia kepada sesuatu selain Allah adalah sebentuk keterjajahan. Perhatikan contoh-contoh berikut ini. Di aspek budaya, nilai-nilai budaya yang berkembang di sekitar kita banyak yang dipengaruhi Barat (yang sekular). Di bidang ekonomi, sangat mudah kita rasakan dominasi negara-negara tertentu atas kita, dan sederet contoh di bidang yang lain.

Makna keterjajahan seperti di atas perlu dimengerti dengan baik. Sebab, sejauh ini pemaknaan keterjajahan masih klasik, yaitu hanya dimengerti sebagai bentuk dominasi politik dan militer suatu negara atas negara yang lain.

Merdekalah Terus!
Jika ingin lepas dari berbagai sikap keterjajahan, maka mulailah dengan menanamkan jiwa merdeka dalam diri kita. Bagi Muslim, jiwa dan pikiran merdeka -tidak bisa tidak- mesti dibangun dari dasar tauhid.

Islam datang untuk memerdekakan manusia dan membawanya ke peradaban yang tinggi. Islam datang dengan nilai dasar tauhid. Tauhid-lah yang secara hakiki bisa membebaskan jiwa dan pikiran manusia dari segala bentuk sikap keterjajahan. Dengan tauhid, manusia hanya akan mengakui kedaulatan Allah semata-mata. Dia tidak akan tunduk kepada kekuatan lain, kecuali hanya kepada Allah.

Maka, menjadi tugas utama kita untuk menegakkan tauhid dalam keseharian kita. Dengan demikian, membebaskan masing-masing pribadi umat Islam dari berbagai belenggu ‘penjajahan’ model baru adalah pekerjaan yang amat mulia.

Salah satu langkah strategis yang bisa kita kerjakan adalah dengan meniadakan berbagai hal yang dapat melemahkan ketauhidan. Misalnya, cegahlah dan atau jawablah berbagai pemikiran rusak yang berkembang di sekitar kita seperti –antara lain- pluralisme agama. Sungguh, jika tak dicegah atau dijawab, pemikiran yang bathil itu dapat menghancurkan ketauhidan umat Islam.

Mari, selalu kuatkan tauhid kita. Lalu, dengan dasar itu, jadilah manusia merdeka yang bebas dari aneka penjajahan. Jadilah Bilal di segala zaman! []

Last modified: 18/08/2017

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *