Berislam dan Berindonesia

Written by | Ghazwul Fikri

Oleh: Dr. Adian Husaini

habib-syech-web2Inpasonline.com-BANYAK yang mengatakan bahwa Indonesia adalah “bukan negara Islam” dan “bukan negara sekular”. Tapi, tidak ada yang mengatakan, bahwa Indonesia adalah “negara yang bukan-bukan”. Faktanya, di Indonesia seorang Muslim mendapatkan kebebasan luas untuk menjalankan hukum dan ajaran agamanya.
Tetapi, itu tidak berlaku di bidang pidana. Dalam bidang ekonomi, Muslim Indonesia bisa memilih: bank Islam atau bank konvensional. Di bidang pidana, seorang Muslim belum punya pilihan untuk memilih hukum Islam. Seharusnya, sesuai dengan pasal 29 ayat 2 UUD 1945, setiap Muslim mendapatkan kebebasan untuk beribadah menurut agamanya.
Seharusnya, dalam kasus pembunuhan, misalnya, antara pelaku dan keluarga korban ditawarkan oleh hakim di Pengadilan, apakah mau menggunakan hukum Islam atau hukum yang lain. Ketiadaan pilihan hukum Islam bagi orang Muslim ini menunjukkan bahwa umat Islam belum mendapatkan kebebasan menjalankan ibadah sesuai ajaran Islam.
Contoh lain, umat Islam dipaksa untuk melawan hukum Allah, dengan ditetapkannya hukum yang melarang Muslim menikahi perempuan di bawah umur 18 tahun. Dan sebagainya.
Contoh-contoh itu menunjukkan, bahwa masih ada persoalan antara keislaman dan keindonesiaan, yang perlu diselaraskan – setidaknya dalam pemikiran seorang Muslim. Masalah keislaman dan keindonesiaan, atau bagaimana seorang Muslim berislam dan sekaligus berindonesia, masih terus menjadi perbincangan luas di berbagai kalangan umat Islam.
Pada 14 Oktober 2014, di sebuah acara TV Swasta, seorang politisi membuat pernyataan, bahwa di atas hukum agama dan adat masih ada konstitusi negara. Juga, ia menyebut dirinya sebagai ‘orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang tinggal di Indonesia’. Pernyataan itu segera memicu kontroversi dan perdebatan luas di dunia maya. Ada yang mendukung. Ada juga yang menyindir, agar jika di politisi meninggal, dibacakan saja ayat-ayat konstitusi, bukan ayat-ayat al-Quran.
Hari-hari ini, banyak Muslim di DKI Jakarta bertanya-tanya, haruskah mereka ridho dan ikhlas dipimpin oleh pemimpin non-Muslim, sementara sejumlah ayat al-Quran melarang mengangkat pemimpin kafir (QS 4:138-141, dll.). Lalu, muncul pernyataan seorang pemuka agama, “Kita orang Islam meyakini kebenaran al-Quran, tetapi kita juga terikat dengan kesepakatan-kesepakatan yang harus diikuti.”
Pernyataan itu masih menyimpan tanda tanya. Bagaimana jika “kesepakatan” itu bertentangan dengan ajaran Islam. Apakah orang Islam harus ikhlas menerima? Misal, hukum di Indonesia tidak mengkriminalkan pezina dewasa dan suka-sama suka. Apa umat Islam harus setuju dan ridho? Haruskah seorang Muslim Indonesia ridho dan setuju dengan hukum negara, dimana seorang laki-laki harus dijebloskan ke dalam penjara karena menikahi wanita berumur 17 tahun?
Berulang kali umat Islam Indonesia harus menyaksikan sejumlah organisasi Islam berdebat dan berselisih paham tentang penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya Islam. Keputusan pemerintah RI – melalui sidang Isbat Kementerian Agama dan Ormas Islam — tidak dipandang sebagai keputusan yang mengikat. Ada yang menyebut pemerintah RI bukan “Ulil amri” yang harus ditaati.
Itulah beberapa contoh persoalan antara “ke-Islaman” dan “ke-Indonesiaan” yang masih saja bergulir di tengah masyarakat hingga kini. Begitu beragamnya pandangan umat Islam tentang hal ini. Ada sebagian umat Islam Indonesia yang memandang Indonesia adalah negara kufur karena menerapkan sistem demokrasi dan hukum-hukum selain hukum Islam. Dalam sebuah buku berjudul “Peranan Iman Jihad dan Ciri-ciri Mukmin yang Benar Imannya”, ditulis: “Semua penguasa/pemerintah negara kafir adalah pentolan thaghut dan semua ideologi dan hukum/Undang-undang yang dipakai mengatur Negara yang dikuasainya juga thaghut. Maka Presiden/Wakil Presiden N.K.R.I. adalah pentolan thaghut. UUD 1945, Pancasila dan semua hukum yang berlaku di N.K.R.I. adalah thaghut, maka wajib diingkari dan dijauhi oleh setiap Muslim.”
Dalam sebuah buku berjudul “Demokrasi Sistem Kufur:Haram Mengambilnya, Menerapkannya, dan Mempropagandakannya, (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 1994), disebutkan, bahwa ’Demokrasi’ yang dijajakan Barat adalah sistem kufur dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan Islam, dan kaum Muslimin haram mengambil dan menyebarluaskan demokrasi serta mendirikan partai-partai politik yang berasaskan demokrasi. Lalu, disimpulkan: ”Kaum Muslim wajib membuang demokrasi sejauh-jauhnya karena demokrasi adalah najis dan merupakan hukum thaghut.”
Sebuah buku berjudul ”Kalau bukan Tauhid Apa Lagi? Membedah NKRI dengan Millah Ibrahim (buku II, hlm. 106), menyebutkan: ”Berarti RI adalah negara jahiliyah, kafir, zhalim dan fasiq, sehingga wajib bagi setiap Muslim membenci dan memusuhinya, serta haramlah mencintai dan loyal kepadanya.”
Pandangan bahwa Indonesia adalah negara ”kafir” dan wajib dijauhi membawa konsekuensi umat Islam haram masuk sistem, haram ikut pemilu, dan diharuskan untuk ”meninggalkan” pemerintahan. Dalam buku ”Kalau bukan Tauhid…”, (hlm. 191), ditegaskan: ”Kita tidak boleh shalat di belakang orang kafir atau orang murtad, umpamanya shalat di belakang anggota MPR/DPR atau polisi atau tentara atau anshar thaghut yang lainnya yang mana dia menjadi imam shalat.”
Bisa dibayangkan, jika pandangan semacam ini diterapkan, maka secara otomatis, umat Islam akan tersingkir dari seluruh sistem pemerintahan dan kehidupan di Indonesia. Pandangan ini pun menyisakan banyak soal. Misalnya, apakah Presiden, Gubernur, Bupati, polisi, tentara, dan seluruh anggota legislatif harus non-Muslim? Jika sebuah masjid digusur atau tanahnya dipalsukan sertifikatnya, apakah tidak boleh diperjuangkan di pengadilan dengan menggunakan hukum selain hukum Islam?
Arus utama
Organisasi-organisasi Islam besar di Indonesia masih tetap memelihara gagasan untuk memadukan gagasan keislaman dan keindonesiaan dengan menjunjung tinggi cita-cita Islam. Persyarikatan Muhammadiyah, misalnya, dalam Anggaran Dasarnya mencantumkan tujuan: “Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.” Adapun, usaha yang dilakukan adalah: “Untuk mencapai maksud dan tujuan, Muhammadiyah melaksanakan Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid yang diwujudkan dalam usaha di segala bidang kehidupan.”
Nahdlatul Ulama (NU) memiliki tujuan sesuai Anggaran Dasarnya: “Berlakunya ajaran Islam yang berhaluan Ahlus Sunnah wal-Jamaah dan mengikuti salah satu mazhab yang empat di tengah-tengah kehidupan, di dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.” Ada pun usaha yang dilakukan NU adalah: “Di bidang agama, mengusahakan terlaksananya ajaran Islam dalam masyarakat dengan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar serta meningkatkan ukhuwah Islamiyah.”
Partai Keadilan dan Sejahtera (PKS), yang saat ini merupakan partai berasas Islam terbesar di Indonesia, dalam anggaran dasarnya, mencantumkan tujuannya, bahwa: “Partai Keadilan Sejahtera adalah Partai Da’wah yang bertujuan mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera yang diridlai Allah Subhanahu Wata’ala, dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.”
Sedangkan usaha yang dilakukan untuk meraih tujuannya adalah: (1) Membebaskan bangsa Indonesia dari segala bentuk kezaliman. (2) Membina masyarakat Indonesia menjadi masyarakat Islami. (3) Mempersiapkan bangsa Indonesia agar mampu menjawab berbagai problema dan tuntutan masa mendatang. (4) Membangun sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang sesuai dengan nilai-nilai Islam (5) Membangun negara Indonesia baru yang adil, sejahtera dan berwibawa.
Dalam ceramahnya di Festival Islam Internasional di Manchester, 1975, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan hakikat loyalitas seorang manusia kepada Tuhannya:
“State and governments change from time to time, and if loyalty were to be directed to them then the values will also change. So in Western society change is something natural. They says that society which does not change is strange and unnatural. Obviously if you will place your loyalty with Allah, He does not change. That what is meant by the validity of absolute values. We deny the possibility of relative values except in certain domains.”
Jadi, tegas Prof. al-Attas, loyalitas tertinggi seorang manusia harus diberikan kepada Tuhannya. Negara dan pemerintahan datang silih berganti. Jika loyalitas tertinggi diberikan kepada mereka, maka nilai-nilai pun akan selalu berubah, sebagaimana yang biasa terjadi di Barat. Tidak ada kepastian nilai baik-buruk di sana. Itu berbeda dengan Islam, yang memiliki kepastian nilai baik-buruk karena bersumber pada ajaran wahyu Allah.
Haji Agus Salim, salah satu cendekiawan Muslim terbesar Indonesia, pernah menulis artikel berjudul “Cinta Bangsa dan Tanah Air” (Harian Fajar Asia, 28 Juli 1928), yang isinya mengkritisi cara pandang nasionalisme sekular yang memuja “Ibu Pertiwi” secara berlebihan sehingga sampai menjadikan Ibu pertiwi itu sebagai “Tuhan”. Agus Salim menulis, “… demikian juga dalam cinta tanah air, kita mesti menujukan cita-cita kepada yang lebih tinggi daripada segala benda dan rupa dunia, yaitu kepada hak, keadilan, dan keutamaan yang batasnya dan ukurannya telah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa-ta’ala.” (Lihat, buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, 1996).
Sebagai bangsa yang mendasarkan diri pada nilai-nilai “Ketuhanan Yang Maha Esa” sudah sepatutnya, jika umat Islam Indonesia terus-menerus berusaha menyempurnakan negara Indonesia agar semakin dekat dengan ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Negeri Indonesia ini dulunya dihuni oleh 100 persen orang bukan Muslim. Datanglah para pendakwah Islam yang memiliki semangat juang, strategi, taktik dan keikhlasan yang luar biasa. Negeri yang subur makmur ini kemudian berangsur-angsur menjadi negeri Muslim, dengan penduduk Muslim terbesar di dunia (Tahun 2014, lebih dari 200 juta Muslim). Beberapa tokoh Wali Songo bahkan sempat bekerjasama dan membantu Kerajaan Majapahit, dengan terus menyampaikan dakwah Islam kepada pemuka dan masyarakat Jawa.
Meskipun kecewa dengan pencoretan beberapa bagian dalam Pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 dalam Sidang PPKI, 18 Agustus 1945, umat Islam Indonesia tetap mensyukuri kemerdekaan RI. Maka, umat Islam pun melaksanakan fatwa jihad KH Hasyim Asy’ari, tahun 1945, yang menyatakan, wajib ‘ain hukumnya mempertahankan kemerdekaan Indonesia bagi Muslim yang berada dalam jarak safar (skt.90 km) dari Kota Surabaya. Muslim yang gugur di medan juang Surabaya itu dihukumi dan diperlakukan sebagai syuhada. Itulah tonggak penting Hari Pahlawan, 10 November 1945.
Umat Islam wajib menjadi Muslim yang kaffah dan menjadi Muslim yang baik, di negara mana pun dia berada. Selama 300 tahun di bawah pemerintah penjajah kafir, umat Islam Indonesia tetap berusaha menjadi Muslim yang baik. Banyak pejuang dan ilmuwan Muslim lahir di masa itu. Tanggung jawab di akhirat adalah terhadap apa yang mereka imani dan mereka amalkan, bukan kondisi eksternal yang berada di luar kemampuan mereka. Muslim harus berusaha sekuat tenaga menjadi taqwa dan kaffah – semampunya — kapan dan dimana saja.
Karena itu, yang perlu dilakukan setiap Muslim – di mana pun berada – adalah menjaga pandangan alam (worldview) Islamnya dalam memandang segala realitas (wujud). Pandangan alam ini tidak boleh berubah mengikut zaman dan kondisi. Muslim – siapa pun — wajib memahami dan mengakui bahwa zina, homoseksual, korupsi, kezaliman, dan sebagainya, adalah tindakan yang salah. Bahkan, seorang pelacur sekali pun, wajib tetap mengakui bahwa perbuatan melacur adalah dosa, meskipun ia bergelut dalam dunia pelacuran.
Dengan cara pandang itulah, masih terbuka peluang baginya bertobat, sebab dia tahu “jalan pulang” menuju kebenaran. Muslim wajib tetap memahami dan mengakui bahwa halal hukumnya menikahi wanita di bawah umur 18 tahun. Muslim yang baik akan berjuang untuk mengubah hukum negaranya dengan cara mengajak dan menyadarkan para elite negara agar memiliki rasa takut kepada Allah; takut akan siksa-Nya di Hari Akhir nanti, jika berani menentang ketentuan-Nya. Muslim tidak boleh mengubah konsep-konsep pokok dan pasti yang telah digariskan Allah. Loyalitas kepada Tuhan adalah yang tertinggi. Muslim wajib menolak (ingkar) kebijakan pemimpin yang bertentangan dengan ketentuan Allah. Jika ia “terpaksa” menjalankan, ada jalan untuk bertobat, mengakui kesalahan, dan berusaha memperbaiki diri.
Prof. Kasman Singodimedjo, pejuang dan cendekiawan Muslim yang hebat, yang terlibat dalam perumusan Pancasila, mengakui bahwa ada di kalangan umat Islam yang kecewa, mengapa filsafat negara bukan Islam, tetapi Pancasila. Dalam tulisan yang dibuatnya semasa berada di tahanan Orde Lama, Kasman menegaskan, bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, tetapi tidak dapat melebihi Islam. Ia mengajak umat Islam untuk menerima Pancasila.
Tapi, tulis Kasman: “Bahwa umat Islam disamping itu masih punya anggapan bahwa Islam itu adalah lebih sempurna dari Pancasila, hal itu tentunya tidak akan, dan tidak seharusnya dianggap salah oleh siapa pun.” Bahkan, menurut Kasman, umat Islam keliru jika menganggap Pancasila lebih tinggi dari Islam. Sebab, Islam itu didekritkan langsung oleh Allah sebagai satu-satunya agama yang diridhai-Nya. (QS 3:19). Bahwa ternyata Pancasila dan bukan Islam yang dijadikan sebagai dasar negara, Kasman mengakui, hal itu sebagai ujian dari Allah, dan agar umat Islam berusaha mengubah dirinya sendiri, agar menuju kondisi yang lebih baik. “Saya telah merenungkan bertahun-tahun mengenai hal ini,” kata Kasman, mengutip al-Quran surat ar-Ra’d ayat 11. Tentang Islam dan Pancasila, Kasman merumuskan dengan ungkapannya, “Bahwa Islam mempunyai kelebihan dari Pancasila, maka hal itu adalah baik, pun baik sekali untuk/bagi Pancasila itu sendiri dan pasti tidak dilarang oleh Pancasila, bahkan menguntungkan Pancasila, karena Pancasila akan dapat diperkuat dan diperkaya oleh Islam.” (Kasman Singodimedjo, Renungan dari Tahanan, hlm. 53-54).
Jadi, dengan meletakkan kecintaan dan loyalitas tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah Subhanahu Wata’ala), seorang Muslim tetap bisa menjadi orang Indonesia dan sekaligus Muslim yang baik. Bahkan, di Indonesia ini, terbuka peluan besar kita menjadi Muslim dan mujahid fi-sabilillah dalam berbagai bidang kehidupan. Kita cinta Indonesia, sehingga kita ingin negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa-rabbun ghafur, negeri yang adil makmur dan beradab sesuai dengan ajaran Allah Subhanahu Wata’ala.* (Depok, 21 November 2014, dengan sedikit tambahan, naskah ini pernah dimuat di Jurnal Islamia-Republika, 20 November 2014).

Last modified: 07/12/2014

2 Responses to :
Berislam dan Berindonesia

  1. muhammad anwar alimuddin says:

    saya ingin ucapkan terima kasih atas tulisan-tulisan yang dipublikasikan disini. saya selalu mengikuti update-updetenya. semoga Allah memberikan balasan atas hasil-hasil pemikiran ini.

  2. Aqil Aziz says:

    sangat inspiratif sekali.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *