Beda Filosof, Mutakallim, Sufi, dan Diskusi Pembuktian Adanya Allah

Written by | Pemikiran Islam

Oleh: Muhammad Ishomuddin

Ernst_Rudolph_Evening_PrayerInpasonline.com-Masalah ke-Ilahiyaahan (ketuhanan) masuk pada pembahasan metafisika. Ada baiknya, makna kata ini diperjelas terlebih dahulu. Metafisika berasal dari dua suku kata yang berasal dari bahasa yunani: μετά (baca: meta) yang berarti “setelah atau di balik”, dan φύσικα (baca: phúsika) yang berarti “hal-hal di alam”[1] adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek di dunia dan studi keberadaan atau realitas (Being qua being).[2] al-Kindi menyebutnya sebagai ‘al-falsafah al-Ûlâ’ yang merupakan ilmu yang menurutnya adalah ilmu yang paling dan termulya. [3] Dalam hal ini metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti sumber dari suatu realitas, Keberadaan Tuhan, Alam semesta, jiwa dan akal Budi dan sebaginya.

            Terdapat ciri khas tersendiri antara tiga cabang ilmu pengetahuan dalam Islam; Kalam, Filsafat dan tasawwuf dalam membicarakan masalah ketuhanan. Ilmu kalam mengawalinya dari keimananan, bahwa Allah itu ada baru kemudiaan dibuktikan dengan metodologi rasional, Begitu juga dengan cabang filsafat. Kedua cabang ini bertitik tolak dari rasio atau ’aql’. Namun dalam filsafat barat, filsafat ini tidak ada kaitaya dengan wahyu. Sedangkan tasawwuf memiliki jalan berbeda, cabang ini lebih benyak menggunakan ‘Wijdân’ untuk mengenal Tuhan.[4]

            Walaupun kalam dan filsafat bertitik tolak berbeda, namun kedua cabang ini sama-sama membuktikan kebenaran tentang adanya Tuhan. Keduanya membuktikan secara rasional bahwa Alam dapat membuktikan adanya Tuhan. Namun, lain bagi dunia tasawwuf, Tuhan sudah sangat jelas dan lebih jelas dari pada bukti sendiri, oleh sebab itu Tuhan tidak perlu dibuktikan. Hal ini karena para sufi pada umumnya sudah telah mencapai maqam ‘makrifat’ yang bisa menyaksikan Allah dengan hati secara langsung (Musyâhadah mubâsyarah). [5]

            Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dalam tulisan ini penulis hendak mengungkapkan beberapa pembahasan. Pertama, argumetasi pembuktian adanya Tuhan oleh para filosof dan mutakallim. Kedua, kritik metafisika para sufi terhadap argumentasi para filosof dan mutakallim. Ketiga, jalan para sufi dalam ‘membuktikan’ adanya Tuhan. Lebih spesifik, penulis akan menjadikan Ibn Athaillah sebagai tokoh yang akan diteliti. Diharapakan dari pembahsan ini dapat membuka wacana berfikir sekaligus meingkatkan kualitas Dzikir. wallâh al-musta`ân

 

Mengenal Ibn ‘Athâ’illâh

            Nama lengkapnya adalah Tâj ad-Dîn Abû Fadhl Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Karîm ibn ‘Abd ar-Rahmân ibn ‘Abd Allâh ibn ‘Îsâ al-Hasaniy Ibn ‘Athâ’illâh al-Judzamiy al-Mâlikiy as-Syâfi`i[6] as-Sakandariy.[7] Ada sejumlah kelas kesufian yang diberikan kepadanya, seperti Quthb az-Zamân, a’lâm al-Muhtadîn, Zayn al-Âbidîn, Ustâdz al-Kabîr, Quthb al-Gawts, Imâm al-Muhaqqiq, al-Ârif, al-Mukasysyif, al-Waly al-Rabbâniy.[8]

            Sebagian besar ahli sejarah tidak mencatatkan tahun kelahiran Ibn ‘Athâ’ Allâh, namun diperkirakan dia lahir pada pertengahan abad ketujuh Hijriyah atau tahun 649 H./1250 M. dan meninggal dunia pada tanggal 21Nopember 1309 M. bertepatan dengan 16 Jumadil Akhir 709 H. [9] Ibn ‘Athâ’ Allâh juga menjadi salah satu ‘trimurti’ Tharîqah asy-Syâdzaliyyah dan mengkodifikasi dasar-dasar ajaranya.[10] Sekalipun Sebelumnya dia pernah menentang dan menolaktasawwuf, namun setelah melalui diskusi yang panjang dengan Abû al-‘Abbâs al-Mursiy (w. 686 H.) akhirnya Ibn ‘Athâ’illâh menerima sekaligus menjadi muridnya, dan menjadi tokoh central dalam organisasi Thariqah ini.[11] Walaupun manjadi sufi, beliau juga menguasai Ilmu ilmu lain seperti bahasa, Tafsir, Hadits, Fiqh, Ushul. Selain itu beliau juga mempelajari filasfat dan logika pada Saif al-Munâdzirîn Syams ad-Dîn al-Asfihânî. [12]

            Ada sejumlah karya Ibn ‘Athâ’ illâh dalam berbagai bidang. Namun sejunlah karya sampai ketangan generasi sekarang dan yang masih dapat dibaca,antara lain; al-Hikam al-‘Athâ’iyyah, kitab ini merupakan ‘magnum opus’ beliau. Ushûl Muqaddimah al-Wushûl, Tâjal-‘Arûs al-Hâwi ilâ Tahzîb an-Nufûs, al-Tanwîr fî Isqâth al-Tadbîr, Miftâh al-Falâh wa Misbâh al-Arwâh, ath-Thâriq al-Jaddah fî Nayl as-Sa’âdah, Lathâ’if al-Minan fî Manâqib asy-Syaykh Abû al-‘Abbâs al-Mursiy wa Syaykhih al-Syadzaliy Abû al-Hasan, al-Qashd al-Mujarrad fîMa’rifah al-Ism al-Mufrad, Bahjah an-Nufûs, dan lain-lain.

Pembuktian Filosof dan Mutakallim

            Setidaknya, ada tiga argumentasi yang digunakan Para filosof dan mutakallîm untuk membuktikan (istidlâl) adanya Allah. Pertama, argumen keberadaan Alam (cosmology). Kedua, argument sebab akibat (causality). Ketiga, argumen kemungkinan (contingency). Tiga bentuk pembuktian adanya tuhan ini pada dasarnya adalah sama, yaitu menggunakan ‘dalîl’ alam untuk menunjukkan adanya Tuhan.

           Pertama, argument kosmologi merupakan argument yang menjelaskan bahwa segala yang ada selalu bergerak. Segala sesuatu yang bergerak tentu digerakkan oleh penggerak yang lain, dan yang menggerakkan pasti juga digerakkan oleh penggerak berikutnya, dan demikianlah seterusnya hingga tanpa batas. Segala benda yang ada di bumi ini pasti bergerak dan pasti ada penggeraknya, logika ini akan sampai bahwa ada penggeraka tunggal yang mengggerakkan segalanya yaitu Tuhan. Dalam bahasa Ibn sina arumen ini dikenal “fî itsbât intihâ` mabâdi` al-kâinât ilâ al-‘ilal al-muharrikah lî harakah mustadîrah”.[13]

            Kedua, argument sebab akibat (causality). Gambaran logika ini adalah bahwa dunia dan seluruh isinya terwujud karena adanya penyebab, atau dengan kata lain segalanya berjalan dengan hukum sebab akibat. Tidak ada sesuatu yang mempunyai sebab pada dirinya sendiri, sebab jika demikian maka tentu ia lebih dahulu dari dirinya sendiri, tentu ini tidak mungkin terjadi. Maka jika ada sebab pasti ada sebab, begitulah seterusnya. Logkika ini tidak mungkin terus-menrus tanpa batas, oleh sebab itu pasti ada penyebab Tunggal yang tidak sebabkan oleh sesuatu yaitu Allah. [14]

            Ketiga, argumen kemungkinan (contingency). Argument ini dikenal Ibn Sina dengan ‘Fî Itsbât al-Wâjib al-Wujûd’; lebih tepatnya argumentasi hirarki wujud. Dalam Hal ini dengan membuktikan secara rasional bahwa wujud terbagi menjadi dua; ‘al-wâjib al-wujûd’dan ‘mumkin al-Wujûd’. al-Wâjib al-Wujûd’ berwujud karena diri-Nya sendiri sedangkan ‘mumkin al-Wujûd’ terwujud karena ada sesuatu yang mewujudkanya sehingga ia sebenarnya bersifat Nihil (al-`Adam). Dengan demikian hal ini mengandaikan ada wujud yang mewujudkanya (Mûjid) dari kenihilan. ‘Mûjid’ ini tidak mungkin berupa ‘wujud mumkin’ karena akan terjadi logika tidak berakhiran, oleh sebab itu ‘Mûjid’ ini bersifat ‘mutlaq’ atau wajib; Inilah Tuhan.[15]

            Dari ketiga argumentasi Para filosof atau para mutakallim dapat dibuktikan bahwa melalui fenomena alam yang terangkum dalam ketiga argumrn tersebut; keberadaan Alam atau (cosmology), argument sebab akibat (causality), argumen kemungkinan (contingency). Dengan argument ini dapat dibuktikan secara rasional bahwa ada Dzat yang tunggal yang disebut Pencipta alam, penyebab pertama, dan Wujud Mutlaq, atau pengerak pertama. Argument ini banyak digunakan untuk membantah kelompok Atheis dan kelompok filosof barat yang anti Tuhan.

Namun demikian, bagi para sufi pembuktian-pembuktian ini dapat dikatakan hanya ‘spekulasi’ murni dari kekuatan akal. Bisa dikatakan sang pencari bukti belum ‘musyâhadah mubâsyarah’ atau menyaksikan secara langsung wujud muthlak tersebut. Penyaksian ini tentu bukan hasil kerja akal, atau menggunakan panca indera, melainakn menggunakan ‘qalb’ dengan mata bainya yang disebut ‘bashirah’. Oleh sebab itu, Ibn Athaillah as-Sakandari mencoba memberikan ‘catatan’ pada argument yang didarkan pada alam sebagai fenomena sekunder.

Pembuktian Bagi Sufi         

            Setidaknya, ketiga pembuktian adanya Tuhan yang dilakukan para filosof dan mutakallim mempunyai perbedaan dengan para sufi. Bahkan bisa dikatakan, kedua golongan tersebut mendapat kritikan Ibn ‘Athâ’illâh as-Sakandari, walaupun beliau tidak menyebutkan kritikanya tersebut untuk mereka. Hal ini bisa dilihat logika yang beliau nilai mempunyai kelemahan tersebut ternyata adalah logika yang dipakai oleh para filosof dan Mutakallim. Adapun kritikan beliau terdapat dalam hikmahnya:

شتان بين ما يستدل به و ما يستدل عليه، و المستدل به عرف الحق لأهله فأثبت الأمر من وجود أصله، و الاستدلال عليه من عدم الوصول إليه، و إلا فمتى غاب حتى يستدل عليه، و متى بعد حتى تكون الآثار هي التي توصل إليه[16]

Betapa jauh bedabya antara orang yang berdalil dengan Allah, dan orang yang berdalil kepadanya. Orang yang berdalil adanya Allah dengan Allah mengerti bahwa kebenaran adalah bagi alhaqq. Sehingga ia menetapkan seluruh persoalan dengan merujuk kepada asalnya (asal wujud). Sedangkan orang yang berdalil untuk membuktikan adanya Allah hanya karena tidak sampai (wushûl) kepadanya. Betapa tidak, kapankan Dia hilang sehingga diperlukan bukti untuk mengetahui adanya Dia. Dan bilakah dia jauh sehingga benda-benda alamlah yang mengantarkan kepada-Nya.

            Pernyataan ini juga disampaikan dalam munajatanya:

إلهـى كيف يستدل عليك، بما هو فى وجوده مفتقر عليك، أيكون لغيرك من الظهور ما ليس لك، حتى يكون هو المظهر لك، متى غبت حتى تحتاج إلى دليل يدل عليك، ةمتى بعدت حتى تكون الإثار هي التى توصل إليك

Wahai tuhanku, bagaimana mungkin (orang-orang yang ingin) membuktikan eksistensi-Mu menggunakan sesuatu yang eksistensinya masih bergantung pada-Mu. Adakah yang jauh lebih nyata dari eksitensi-Mu sehingga dapat dijadikan petunjuk untuk membuktikan keberadaan-Mu. Kapankan Engkau tersembunyi sehingga dibutuhkan jauh, sehingga dibutuhkan dalil untuk menunjukkan keberadaan-Mu. Kapankan engkau jauh sehingga ala mini bisa mengantarkan kepada-Mu.[17]

            Beradasarkan Hikmah dan munjat tersebut, setidaknya kritikan Ibn ‘Athâ’illâh pada para filosof an mutakllim dapat dipetakan; Pertama, Mustadal bih (Sarana pembuktian), Kedua, at-tashawwur bi alMustadal alaih (Persepsi tentang Allah). untuk lebih jelasnya, berikut penjelasanya

Sarana pembuktian

Dari ketiga argument yang dikemukakan Para filosof maupun mutakallimîn, mereka bertolak dari keberadaan mikro kosmos (al-Kainat) untuk menunjukkan adanya Tuhan. Tentu hal ini menurut Ibn ‘Athâ’illâh sangat mustahil karena alam pada eksistensi Alam ini tergantung pada Allah.[18] Karakter dasar al-Kâinat menurut Ibn ‘Athâ’illâh bersifat nihil (al-`adam) dan gelap (dzulmah) apabila disepadankan dengan Allah yang bersifat ada dan absolute (wujûd muthlaq) dan sangat jelas (dhâhir) , sehingga mana mungkin Nihil (al-`adam) dapat menunjukkan wujud absolut (wujûd muthlaq). Dalam Hal ini Ibn ‘Athâ’illâh mengungkapkan:

ومن أعجب العجب أن تكون الكائنات مصلة إليه، فليت شعرى هل لها وجود معه حتى توصل إليه، أو له من الوضوح هل لها من الوضوح ما ليس له حتى تكون هى المظهر له

Sesuatu yang sangat mengherankan jika Alam mikro kosmos dapat mengantarkan kepada-Nya, Mustahil! apakah alam bersifat wujud bersama wujud Allah sehingga bisa menyampaikan kepadanya. Atau apakah alam itu lebih jelas dibanding dengan Allah sehingga Alamlah yang harus menjelaskan keberadaan Allah. [19]

            Ibn ‘Athâ’illâh juga mengungkapkan bahawa sebebarnya Alam alKainat yang dijadikan sarana untuk mebuktikan Wujud Allah pada sifat dasarnya adalah gelap, atau tidak berwujud. alKâinat memiliki wujud dan jelas karena ia diwujudkan dan dijelaskan Oleh Allah. Allah jua lah yang memperkenalkan Diri-Nya pada alKâinat. Oleh sebab itu, maka menjadi mustahil alKainat dapat menjelaskan perwujudan Allah atau mengenalkan kepadanya.[20] Dengan demikian, sebenarnya ‘al-Kâinat’ tidak bisa mengantarkan perwujudan Tuhan dengan keyakinan ekstra (haqq al-yaqîn).

            Dengan mengutip pendapat guru dari gurunya Syaikh Abu Hasan as-Syadziliy, Ibn ‘Athâ’illâh juga mengungkapkan bahwa Pembuktian keberadaan Tuhan dengan sarana-sarana keberadaan alam bukan suatu keniscayaan. Hal ini karena wujud Allah mendahului wujdnya Alam. Jadi, bagaimana mungkin Wujud yang kedua (alam) bisa membuktikan wujud yang pertama (Allah). Juga, Allah lah yang membuat membauat Alam dikenal, bagaimana mungkin Alam bisa mengenalkan pada Allah (kaifa yu`raf bi al ma`ârif man bih urrifat al-ma`ârif, am kaifa yu`raf bisyai` man sabaqa wujuduh wujûda kulla syai`).[21]

            Menurut Ibn ‘Athâ’illâh keberadan Allah tidak perlu dibuktikan dengan bukti-bukti karena Allah lah yang menunjukkan adanya bukti itu sendiri. Keberadan alam juga sulit memperkenalkan pada perwujudan Allah, malah sebaliknya bahwa Dialah yang memperkenalkan diri-Nya pada bukti-bukti itu. (Wa kaifa yahtâj ila dalîl man nashaba ad-dalîl, wa kaifa yakûn ma`rûfan bih wa huwa al-mu`rraf lah).[22] Dalam analog rasional, keberadaan Alam tidak perlu dibuktikan, maka sebenarnya Allah lebih berhaq menyandang bahwa dia tidak perlu dibuktikan karena Dia lebih jelas dari pada alam. (wa idza kâna min al-kâinat mâ huwa ghaniyyun bi wudlûhih `an iqâmat ad-dalîl, fal mukawwin awla bi ghinâhu `an ad-dalîl minha). [23] Dengan demikian, pada haikatnya Dia tidak membutuhkan bukti karena Dialah bukti.

            Perwujuadan alam sebagai pengantar untuk membuktikan Allah sebagaima disebutkan ‘kurang tepat’. Karena alam menurut Ibn ‘Athâ’illâh sebenarnya tidak mempenyai sifat wujud apabila dinisbatkan pada seluruh tinglat-tingkat wujud (Marâtib al-wujûd). Namun demikian, Alam juga tidak dapat dikategrikan ‘tidak ada’ apabila dimasukkan ke dalam kategori tingkat-tingkat tidak ada (marâtib al-a`dam). Karena menurut Ibn ‘Athâ’illâh, Alam sebagai sarana sekunder tak ubahanya seperti bayang-bayang benda. Keberadaan banyang-banyang ini tidak lantas menghaspus kedirian sang pemilik baying-banyang.[24] Selain seperti banyangan, alam juga seperti angin di udara, angin ada tetapi bila diteliti lebih lanjut ternya tidak ada. [25]

Persepsi tentang Allah        

Tahap ini juga disebut, at-tashawwur bi alMustadal alaih (Persepsi tentang Allah). Para pencari bukti keberadaan Tuhan dengan fenomena Alam pada hakikatnya tidak menyaksikan Allah. Menurut Ibn ‘Athâ’illâh bukti-bukti keberadaan Tuhan itu diperuntukkan bagi para pencari Tuhan, bukan diperuntukkan bagi mereka yang sudah menyaksikan dan menemukan Tuhan (wa’lam anna al-adillah innamâ nushibat li man yathlub al-haq, lâ liman yusyhiduh).[26] Oleh sebab itu, sebenarnya argumentasi para filosof tersebut menunjukkan bahwa mereke belum ‘wushûl’ pada Allah sehingga mereka masih membutuhkan sarana sekunder.

            Menurut Ibn ‘Athâ’illâh as-Sakandary, Allah swt memiliki sifat Maha jelas (ad-Dhâhir) dan tidak pernah tersembunyi sehingga kerena kejelasan-Nya ini maka tidak perlu pembuktian lagi, Allah juga Maha dekat (Qarîb) dan tidak sekalipun Dia jauh, sehingga alam tidak diperlukan untuk mengantarkan pada-Nya. (matâ ghibta hattâ tahtâj ilâ dalîl yadull alaik, wa matâ ba`udta hattâ takûna al-Atsâr hiya al-laty tûshil ilaik).[27]

            Karena sifat yang Maha jelas ini, Dia tidak terhijab oleh sesuaitu. Untuk itu, Ibn ‘Athâ’illâh mengemukakan sepuluh alasan secara rasional dan sekaligus spiritual dengan bentuk pertanyaan pengingkaran (istifhâm inkâry) untuk menguatkan alasan-alasanya:

كيف يتصور أن يحجبه شيء و هو الذي أظهر كل شيء، كيف يتصور أن يحجبه شيء و هو الذي ظهر بكل شيء، كيف يتصور أن يحجبه شيء و هو الذي ظهر في كل شيء، كيف يتصور أن يحجبه شيء و هو الذي ظهر لكل شيء، كيف يتصور أن يحجبه شيء و هو الظاهر قبل كل شيء، كيف يتصور أن يحجبه شيء و هو أظهر من كل شيء، كيف يتصور أن يحجبه شيء و لولاه ما كان وجود كل شي. يا عجبا كيف يظهر الوجود في العدم، أم كيف يثبت الحادث مع من له وصف في القدم[28].

Bagimana mungkin Allah dipersepsikan terhijab oleh sesuatu, padahal Allah yang menampakkan Segala sesuatu. Bagimana mungkin Allah dipersepsikan terhijab oleh sesuatu, padahal Dia tampak pada segala sesuatu. Bagimana mungkin Allah dipersepsikan terhijab oleh sesuatu, padahal Dia dalam segala sesuatu. Bagimana mungkin Allah dipersepsikan terhijab oleh sesuatu, padahal Dia tampak untuk segala sesuatu. Bagimana mungkin Allah dipersepsikan terhijab oleh sesuatu, padahal Dia tampak sebelum segala sesuatu. Bagimana mungkin Allah dipersepsikan terhijab oleh sesuatu, padahal Dia lebih tampak dari segala sesuatu. Bagimana mungkin Allah dipersepsikan terhijab oleh sesuatu, padahal Dia Esa tanpa ada yang bersamanya. Bagimana mungkin Allah dipersepsikan terhijab oleh sesuatu, padahal Dia lebih dekat kepadamu dari segal sesuatu. Bagimana mungkin Allah dipersepsikan terhijab oleh sesuatu, padahal jika karena Dia, segala sesuatu tidak akan terwujud. Sungguh aneh, Bagaimana keberadaan (wujud) bisa tampak dalam ketiadaan (adam). Atau, bagaimana sesuatu yang baru bisa bersanding dengan yang maha Dahulu.

            Oleh sebab itu, sebenarnya Tuhan tidak terhijab. Hijab menurut Ibn ‘Athâ’illâh secara maknawi adalah karena adanya anggapan ada wujud selain wujud Allah bersama-Nya (mâ hajabaka an Allah mawjûd ma`ah, idz lâ Syai`a ma`ah. Walâkin, hajabaka `anhû tawahhum wujûd ma`ah). [29] Para filosof belum bisa menyaksikan Tuhan dengan ‘qalb’ mereka karena pandangan mereka tersilaukan oleh cahaya Tuhan yang terang benderang dan kedekatan Tuhan yang tidak dirasakan.[30] (innamâ ihtajaba bisyaddati dhuhûrihi.., innamâ hajaba al-Haqq ‘anka syaiddat qurbih minka). Dengan demikian, sebenarnay para ‘pembukti’ masih terhijab dan belum ‘wushul’ pada Allah.

            Dari kedua alasan yang telah disebutkan di atas, mengapa Ibn ‘Athâ’illâh as-Sakandari perlu mengungkapkan argument ini. Menurutnya Umat Islam cukup mengimani keberadan Allah sehingga dengan penglihatan batin ini tidak perlu lagi pembuktian akan adanya Allah. (innâ lanandzur ilâ allâh bi bashâir al-Îmân fa aghnânâ dzâlika `an ad-dalîl wa al-burhân). Ia Juga menyebutkan bahwa Allah memiliki sifat ahadiyyah, sehingga karena sifat ini maka Alam menjadi tidak bersifat wujud (al-akwân tsâbitah bi itsbatihi wa mamhuwwah bi ahâdiyyati dzatihi).[31] Jadi, tidak ada wujud yang haqiqi selain wujud Allah. Oleh sebab itu alam sebagai dalil tidak berfungsi kerea ia tidak berwujud secara hakiki.

            Oleh sebab itu, Ibn ‘Athâ’illâh membandingkan Para filosof dengan rasionalitas dan pembuktian-pembuktianya dengan para ‘muhaqqiqîn’ dari kalangan ahli ‘syuhud’ seperti orang-orang awam. Hal ini karena adanya penyucian mutlaq terhadap Allah.( wa arbâb ad-Dalîl wa al-burhân umûm ‘inda ahl as-syuhûd wa al-‘Iyân; lianna ahl as-Syuhûd wa al-iyân qaddasa al-haq fî dhuhûrihi ‘an an yahtâj ilâ dalîl yadullu alaihi). [32]

            Syekh Abd Halim menyebutkan bahwa jalan Ibn ‘Athâ’illâh as-Sakandari ini lebih menyucikan Allah karena Allah. Karena Islam datang tidak untuk membuktikan bahwa Allah ada, tetapi Islam datang untuk mentauhidkan Allah. Hal ini kereana wujud Tuhan sudah tertanam dalam hati secara ‘thabi`i’ dalam bentuk fitrah. Begitu pula agama-agama langit sebelumnya.[33] Jadi, yang dibutuhkan adalah memperkuat dan merasakan keberadaan Allah.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas dapat diketahui bahwa Ibn ‘Athâ’illâh mengkritik metafisika mutakallim dan filoofdari aspek pembuktian adanya Tuhan. Para filosof atau mutakallim menggunakan tiga argument untuk membuktikan (istidlâl) adanya Allah. cosmology, causality, contingency. Tiga bentuk pembuktian adanya tuhan ini pada dasarnya adalah sama, yaitu menggunakan ‘dalil’ alam untuk menunjukkan adanya Tuhan. Sehinga disimpulkan adanya Pencipta alam, Penyebab pertama, dan Wujud mutlaq yang merupakan sifat-sifat Tuhan.

            Pembuktian metafisis ini menurut Ibn ‘Athâ’illâh ‘kurang sampurna’; Tuhan tidak perlu dibuktiakan karena Dia adalah Bukti, Dia sangat Jelas (Dhahir) dan sangat dekat. Alam sebagai saranga pembuktian tidak bisa dijadikan untuk membuktikan karena wujudnya masih tergantung pada Wujud Tuhan. Alam pada dasarnya adalah Nihil dan Gelap dan Tuhan adalah jelas. Oleh sebab itu Tuhan lebih jelas dari pada Bukti itu. Bagaimana mungkin Tuhan dibuktikan dengan bukti padahal Dialah Bukti, Bagaimana mungkin Tuhan dikenal dengan sesuatu padahal Dialah yang memperkenalkan sesuatu. Bagaimana mungkin dia dibuktikan dengan sesuatu, padahal wujud Dia mendahului wujud sesuatu.

Menurut penulis, argumentasi yang digunakan oleh para filosof menguatkan dan membuktikan bahwa Tuhan benar-benar ada secara rasional. Argumen ini merupakan argument yang sangat tepat dan diperuntukkan bagi mereka yang tidak mempercayai adanya Tuhan. Namun, Bagi para muslim, argumen Ibn Athaillah yang mesti digunakan. Karena muslim melihat adanya Tuhan dengan Iman dan memperlajari sifat-sifatnya. Allah bisa dirasakan keberadaanya dengan berbagai hal, ketika Dia mengablkan do`a, ketika manusia tertimpa bahaya maka manusia merasakan adanya Tuhan.

Jadi, Kedua pandangan ini sebenarnya tidak lah bertentangan. Melainkan saling menguatkan. Ibn Athaillah tidak menyalahkan argumentasi para filosof namun, beliau sebenarnya menguatkan argument tersebut dengan cara sufistik. Jadi, benang merah yang dapat diambil, bahwa keteragan rasional perlu tapi kerangan supra rasional ala sufi juga menjadi keniscayaan.

REFERENSI

   Abd Halim Mahmud. Qadliyyah al- Tasawwuf al-Madrasah as-Syâdziliyyah .Kairo: al-.Maktabah at-Taufiqiyyah. 2010.

al-`Atsqalâny, Ibn Hajar. ad-Durar al-Kâminah Fî a`yân al-Mi`ah at-Tsâminah. .Beirut: Dar al-Jil. 1993 M

al-Hafany, `Abd al-Mun`im . al-Maushû`ah as-Shûfiyyah; a’lâm at-Tashawwuf wa al-Munkirîn alaih wa at-Thuruq as-Shûfiyyah. Kairo: Dar al-Irsyad. 1992 M

al-Idrîsy, Muhammad al-`Adlûny. Mu`jam Mushthalahat at-Tashawwuf al-Falsafy. JL. Viktor Hiko: Dar ats-Tsaqafah. 2002

al-Kindi. Rasâ`il al-Kindy al-Falsafiyyah. ed: Muhammad Abd Hadi Abu Raidah. Mesir: Dar al-Fikr al-`araby. 1950.

al-Qusyairi, Abu al-Qasim. Risâlah Qusyairiyyah. ed: Syekh Abd al-Halîm Mahmûd Bin Syarif. Kairo: Dar asy-Sya`b. 1989 M/1409 H

al-Sya’râniy, Abd al-Wahâb ibn ‘Aliy .Thabaqât al-Kubrâ. Beirut: Dâral-Fikr.

al-Taftâzani, Abu al-Wafâ al-Ganâmî. Dirâsat fî al-Falsafah al-Islâmiyyah. .Kairo: Maktabah al-Qâhirah al-Hadîtsiyyah. 1957.

___________. Ibn Athaillah as-Sakandari wa Tashawwufuh. .Kairo: Maktabah al-Anjlu al-Muishriyyah. 1969 M.

Aristotle. The metaphisics Terj: Hugh Tredennick .London: Harvard University Press. 1933 M.

as-Subki, Tâj ad-Dîn. Thabaqât as-Syâfi`i al-Kubrâ. ed: M. at-Thahy dan Abd al-Fattah V:9 .Kairo; Dar al-Ihyâ` al-Kutûb al-Arabiyyah. 1918 M.

as-Syahrastani. al-Milal wa an-Nihal. Vol: 1. Kairo: Muassasah al-Halaby. 1968 M.

as-Sakandary, Ibn Athaillah. Al-Hikam al-Athâiyyah. .Beirut: Dar al-Kutub al-`Alamiyyah. 2006.

_____________________. al-Munâjat al-iLâhiyyah. .Beirut: Dar al-Kutub al-`Alamiyyah. 2006.

____________________. Lathâif al-Minân. ed: Dr. abd Halim Mahmud. cet: 3. Mesir: Dar al-Maarif. 2006.

Hamka. Tasawwuf Perkembangan dan Pemurnianya .Jakarta: Panjimas. 1984.

Ibn sina, as-Syaikh ar-Rais al-Husain Abi `Ali bin Sina. al-Isyârat wa at-Tanbîhât. Ed: Dr. Sulaiman Dun`ya . Mesir: Dar al-Ma`rif. 1957 M

___________________. Kitab an-Najât. Ed: Dr. Majid Makhri .Beirut; Dar al-Afaq al-Jadidah. 1985 M

Ibrahim Madzkûr. Al-Mu`jam al-FalsafY. Kairo: a-Haiah al-`Amah. 1983 M/ 1403 H.

Immanuel Kant. Critique of Pure Reason. ter: Norman Kemp Smith .London: Macmilan. 1929.

William C. Chittick. Sufism: a Short Introduction. .England: One Wordl Publication. 2007

[1] Aristotle, The metaphisics, Terj: Hugh Tredennick (London: Harvard University Press, 1933 M), Book: 1,p:3, Book: 4, p.147

[2] Ibid, Book: 4, p.147

[3] al-Kindi, Rasâ`il al-Kindy al-Falsafiyyah, ed: Muhammad Abd Hadi Abu Raidah (Mesir: Dar al-Fikr al-`araby, 1950)

[4] Baca selengkkapnya: Muhammad al-`Adlûny al-Idrîsy, Mu`jam Mushthalahat at-Tashawwuf al-Falsafy, (JL. Viktor Hiko: Dar ats-Tsaqafah, 2002),p. 189; Ibrahim Madzkûr, Al-Mu`jam al-FalsafY, (Kairo: a-Haiah al-`Amah, 1983 M/ 1403 H)p. 186-187; Abu al-Qasim al-Qusyairi, Risâlah Qusyairiyyah, ed: Syekh Abd al-Halîm Mahmûd Bin Syarif, (Kairo: Dar asy-Sya`b, 1989 M/1409 H), p.176; William C. Chittick, Sufism: a Short Introduction, (England: One Wordl Publication, 2007),p.33.

[5] Abu al-Wafâ al-Ganâmî al-Taftâzani, Dirâsat fî al-Falsafah al-Islâmiyyah, (Kairo: Maktabah al-Qâhirah al-Hadîtsiyyah, 1957), p. 146, 148, 152, 158.

[6] Tâj ad-Dîn as-Subki menyebutkan bahwa pertama kali beliau berafiliasi kepada madzhab Maliki dan kemudian belajar dan berafiliasi ke Madzhab maliki. Lihat : Tâj ad-Dîn as-Subki, Thabaqât as-Syâfi`i al-Kubrâ, ed: M. at-Thahy dan Abd al-Fattah (Kairo; Dar al-Ihyâ` al-Kutûb al-Arabiyyah, 1918 M), v;9. p;23-24

[7] Ibn Hajar al-`Atsqalâny, ad-Durar al-Kâminah Fî a`yân al-Mi`ah at-Tsâminah, (Beirut: Dar al-Jil, 1993 M), v:1,p: 273; `Abd al-Mun`im al-Hafany, al-Maushû`ah as-Shûfiyyah; a’lâm at-Tashawwuf wa al-Munkirîn alaih wa at-Thuruq as-Shûfiyyah, (Kairo: Dar al-Irsyad, 1992 M), 295.

[8] Hamka, Tasawwuf Perkembangan dan Pemurnianya (Jakarta: Panjimas, 1984), p: 167.

[9] Abd al-Wahâb ibn ‘Aliy al-Sya’râniy, Thabaqât al-Kubrâ, (Beirut: Dâral-Fikr, t.t),p: 162

[10] Thariqah Syadziliyyah didirikan Oleh Syekh Abû Hasan as-Syâdzily dilanjutkan oleh Abû al-‘Abbâs al-Mursiy dan Ibn Athaillah as-Sakandary . Lihat; abu al-Wafâ al-Ghanâmi at-Taftâzani, Ibn Athaillah as-Sakandari wa Tashawwufuh, (Kairo: Maktabah al-Anjlu al-Muishriyyah, 1969 M), p: 59

[11] Ibn Athaillah as-Sakandary, Lathâif al-Minân, ed: Dr. abd Halim Mahmud, cet: 3, (Mesir: Dar al-Maarif, 2006), p.105

[12] Ibid p.90

[13] as-Syaikh ar-Rais al-Husain Abi `Ali bin Sina, Kitab an-Najât, Ed: Dr. Majid Makhri (Beirut; Dar al-Afaq al-Jadidah, 1985 M), p. 276-277. Baca juga pembuktian secara cosmology: Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, ter: Norman Kemp Smith (London: Macmilan, 1929), p: 507-514

[14] Lihat logika seperti ini dalam: as-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, (Kairo: Muassasah al-Halaby, 1968 M), v:1, p: 94

[15] Ibid, , p. 271-272; Lihat Juga: as-Syaikh ar-Rais al-Husain Abi `Ali bin Sina, al-Isyârat wa at-Tanbîhât, Ed: Dr. Sulaiman Dun`ya ( Mesir: Dar al-Ma`rif, 1957 M), p. 447

[16] Ibn Athaillah as-Sakandary, Al-Hikam al-Athâiyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Alamiyyah, 2006) Hikmah: 29, p.9.

[17] Ibn Athaillah as-Sakandary, al-Munâjat al-iLâhiyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Alamiyyah, 2006) hikmah: 79, p.20.

[18] Ibid, Munajat: 79, p.20.

[19] Ibn Athaillah as-Sakandary, Lathâif al-Minân, p.22, 28

[20] Ibid, p. 52

[21] Ibid, p. 51

[22] Ibid, p. 51

[23] Ibid, p. 52

[24] Ibid, p. 161

[25] Ibid, p. 160

[26] Ibid, p. 51

[27] Ibn Athaillah as-Sakandary, al-Munâjat al-iLâhiyyah, Hikmah: 79, p.20.

[28] Ibn Athaillah as-Sakandary, Al-Hikam al-Athâiyyah, Hikmah: 16, p.6-7.

[29] Ibid, Hikmah: 127, p.31

[30] Ibid, Hikmah: 174,175, p.36

[31] Ibid, Hikmah: 141, p.32.

[32] Ibid, p. 51

[33] Abd Halim Mahmud, Qadliyyah al- Tasawwuf al-Madrasah as-Syâdziliyyah (Kairo: al-,Maktabah at-Taufiqiyyah, 2010), p.70.

Last modified: 30/03/2015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *