Ayo Hijrah, Murnikan Aqidah!

Written by | Opini

 

Astaghfirullah, Astaghfirullah!

Perilaku yang merusak aqidah tak hanya di Jawa, di Madura juga ada. Contoh, silakan baca SURYA 24/11/2010. Di halaman 10 koran terbitan Surabaya itu memuat tentang pelaksanaan Rokat Tase’, sebuah tradisi melarung aneka sesaji ke laut di salah sebuah desa pantai di Bangkalan.

Apa sajakah yang dilarung? Biasanya berupa kepala sapi dan gunungan tumpeng beserta lauk-pauknya. Tapi, saat pelaksanaan pada 21/11/2010 itu, gunungan tumpeng diganti replikanya saja. Sementara, kepala sapi tetap, yaitu kepala sepasang sapi (jantan dan betina) yang masing-masing dibeli Rp 6 juta. Sebelum dilarung, kedua kepala sapi itu diarak mengelilingi desa.

Mengomentari tradisi ini, seorang pemuda setempat mengatakan bahwa ini merupakan tradisi sembah-sujud atau sembah-syukur atas apa yang telah diberikan Tuhan melalui laut dan isinya. Kata dia, apa yang diberikan laut (Tuhan) tak sebanding dengan pemberian mereka yang hanya dilakukan setahun sekali. Untuk itu –lanjut dia- sudah seharusnya kita meneruskan tradisi nenek-moyang yaitu Rokat Tase’.

Pemuda itu mengungkap bahwa acara itu juga merupakan tradisi selamatan desa yang bertujuan agar para nelayan selamat dalam usaha mencari nafkah ketika sedang berada di tengah laut. “Ada semacam perasaan lebih tenang ketika sudah melakukan tradisi ini,” simpul dia.

Senada, seorang yang ‘bergelar’ haji di desa itu mengatakan bahwa baginya Rokat Tase’ tak ubahnya prosesi ungkapan puja-puji syukur atas rizki yang telah dilimpahkan Tuhan melalui laut.

Pendapat yang paling mengejutkan berasal dari seseorang yang oleh SURYA digambarkan sebagai “Ulama kondang di Kabupaten Bangkalan” dan hadir di acara itu. Dia menilai apa yang dilakukan masyarakat pesisir merupakan ungkapan rasa syukur. Sehingga, muncullah reaksi timbal-balik dari warga nelayan berupa upacara sesembahan atau sedekah kepada laut. “Sama halnya dengan kita memberikan perhatian kepada orang yang telah berbuat baik kepada kita. Itulah yang ingin mereka berikan kepada Tuhan melalui media laut,” tandas sang kiai.

Astaghfirullah! Jika seorang “Ulama kondang” berpendapat seperti itu, maka bagaimana nasib aqidah dari umat yang selama ini dibinanya?  Astagfirullah! Atas fenomena di atas kita patut berduka. Terlebih, tradisi itu juga dilaksanakan di sejumlah desa pantai lainnya di Madura.

Jika kita cermati, ada sejumlah hal yang dapat kita kritisi. Pertama,  acara itu dianggap oleh para pelaku sebagai bentuk sembah-sujud atau sembah-syukur atas rizki yang didapat dari laut. Pertanyaannya, adakah Allah dan Rasul-Nya mengajarkan cara bersyukur seperti itu?

 Kedua, para pelaku menganggap apa yang diberikan laut (Tuhan) tak sebanding dengan pemberian mereka yang hanya setahun sekali. Pertanyaannya, samakah Tuhan dengan makhluq-Nya yang butuh materi?

Ketiga, para pelaku merasa mantap meneruskan tradisi nenek-moyang mereka. Atas sikap ini, hendaklah selalu disadari bahwa tak semua yang berasal dari nenek-moyang itu baik. Bahkan, bukan tak mungkin, nenek-moyang malah mewariskan banyak hal yang tidak baik. Dan apabila dikatakan kepada mereka; “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”, mereka menjawab; “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek-moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek- moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS Al-Baqarah [2]: 170).

Dalam riwayat Ibnu Abi Hatim dari Sa’id atau ‘Ikrimah yang bersumber dari Ibnu Abbas, dikemukakan bahwa turunnya ayat QS Al-Baqarah [2]: 170 di atas sehubungan dengan ajakan Rasulullah SAW kepada kaum Yahudi untuk masuk Islam, serta memberikan kabar gembira, memperingatkan mereka akan siksaan Allah serta adzab-Nya. Rafi’ bin Huraimallah dan Malik bin ‘Auf dari kaum Yahudi menjawab ajakan ini dengan berkata: “Hai Muhammad! Kami akan mengikuti jejak nenek-moyang kami, karena mereka lebih pintar dan lebih baik daripada kami.” Ayat ini turun sebagai teguran kepada orang-orang yang hanya mengikuti jejak nenek-moyangnya.

Keempat, para pelaku tradisi itu berharap bahwa sesembahan atau sedekah kepada laut yang mereka lakukan menyebabkan para nelayan selamat saat mencari nafkah di tengah laut. Pertanyaannya, kepada siapa mereka berharap? Seperti itukah cara berharap (baca: berdoa) yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya?   

Kelima, para pelaku tradisi itu memberikan (sedekah) kepada Tuhan melalui media laut. Adakah Allah butuh perantara? Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya.” Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar (QS Az-Zumar [39]: 3).

 

Jangan Koyak!

Syirik (menyekutukan Allah) adalah kesesatan yang nyata. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya (QS An-Nisaa’ [4]: 116). Syirik adalah dosa terbesar yang tak terampuni. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar (QS An-Nisaa’ [4]: 48).

Oleh karena itu, siapapun yang terbelit aktivitas syirik, segeralah bertobat. Dan, terutama kepada para pemimpin, jangan pertahankan budaya yang merusak aqidah. Jangan lakukan pemusyrikan massal dengan alasan demi pelestarian budaya. Jangan koyak aqidah umat. Sebaliknya, murnikan aqidah mereka. Ayo, hijrah! []

 

Last modified: 13/12/2010

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *