Ada Pejilbab Tolak Keharaman Kawin Beda Agama?

Written by | Opini

Oleh M. Anwar Djaelani

A-nikah-beda-agamaInpasonline.com-Keberadaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terusik. Seorang mahasiswi dan empat alumnus Fakultas Hukum UI menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalih mereka, hak konstitusionalnya berpotensi dirugikan oleh UU tersebut terutama pada pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Sungguh Disesalkan

Atas gugatan itu, banyak ahli yang menyesalkannya. Misalnya, pakar hukum dari Bandung -Asep Warlan Yusuf- mengatakan bahwa jika permohonan uji materi tersebut dikabulkan MK maka itu sama saja artinya negara tidak lagi menjamin warganya untuk menjalankan hukum agama yang mereka anut. “Masalah perkawinan itu wilayahnya agama. Oleh karena itu, jika pasal 2 ayat (1) dibatalkan maka itu artinya hukum negara bakal menabrak hukum-hukum agama,” kata Asep. Posisi negara, lanjut Asep, hanya sebatas mencatat adanya peristiwa hukum perkawinan (fungsi administrasi). Sementara, sah atau tidak sahnya suatu perkawinan itu ditentukan oleh hukum agama, bukan hukum negara. Dengan kata lain, negara tidak memiliki kewenangan untuk mengabsahkan sebuah perkawinan. Sebab, sumber hukum perkawinan itu sendiri berasal dari hukum agama dan bukan hukum buatan manusia, jelas Asep lebih jauh.

Sementara itu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat, para pemohon uji materi tersebut tidak paham akan posisi agama dalam konstitusi. “Ada sejarah yang panjang di balik lahirnya UU Perkawinan 1974. Tidak ada hak konstitusi warga yang dirugikan oleh aturan tersebut,” kata Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia PP Muhammadiyah Syaiful Bahri.

Menurut Syaiful, Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan itu justru melindungi hak konstitusi warga negara dalam melaksanakan perkawinan. Aturan tersebut tidak saja selaras dengan hukum agama sebagai salah satu sumber hukum negara, tetapi secara sosial juga memberikan kepastian terhadap status anak hasil perkawinan di mata masyarakat. “Ini disebabkan sah atau tidaknya sebuah pernikahan itu ditentukan oleh hukum agama, bukan oleh negara. Karena itu, saya pikir justru para pemohon (uji materil) itu yang tidak paham posisi agama dalam konstitusi,” tegas Syaiful (www.republika.co.id 07/09/2014).

Hal yang lebih menarik terungkap ketika pakar Hukum Islam UI -Neng Djubaedah- yang tak lain adalah dosen dari para penggugat itu menyatakan pendapatnya. Neng Djubaedah menyayangkan sikap kelima mahasiswanya yang menjadi penggugat Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan itu.

Neng Djubaedah mengaku tidak habis pikir, bagaimana bisa murid-muridnya mempermasalahkan Undang-undang yang selama ini terbukti telah mengatur harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. “Dari materi Hukum Perdata Islam yang pernah kami sampaikan, kami tidak pernah mengajarkan hal seperti itu. Di dalam konstitusi kita-pun, tidak boleh. Mereka berpendapat, bebas menjalankan agama dan bebas tidak menjalankan agama. Tapi tidak seperti itu,” tegas dia (www.hidayatullah.com 15/09/2014).

Iklan Buruk

Siapa saja empat alumnus dan seorang mahasiswi Fakultas Hukum UI yang mengajukan Judicial Review atau uji materi atas pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan itu? Mereka –berturut-turut- adalah Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, Luthfi Sahputra, dan Anbar Jayadi (www.tokohindonesia.com 17/09/2014).

Siapa Anbar Jayadi? Gadis yang sehari-hari mengenakan jilbab itu tercatat masih berstatus sebagai mahasiswi semester IX Fakultas Hukum UI. Performanya sebagai pejilbab tentu saja ‘menarik’ jika dihubungkan denganalasan gugatan yaitu bahwa hak-hak konstitusionalnya potensial dirugikan oleh berlakunya syarat keabsahan perkawinan menurut hukum agama.

Mari kita cermati! di dalam Islam, perkawinan itu sah hanya jika pasangan itu sama-sama beragama Islam. Dengan kata lain, Islam melarang perkawinan pasangan yang berbeda agama. Bahkan, mengingat pentingnya masalah ini, pada 1 Juni 1980 Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang keharaman Perkawinan Campuran.

          Dalam fatwa tersebut, MUI (yang waktu itu diketuai Prof Dr HAMKA) merujuk pada QS Al-Baqarah [2]: 221, Al-Maaidah [5]: 5, Al-Mumtahanah [60]: 10, dan At-Tahrim [66]: 66. Fatwa itu juga merujuk sejumlah sabda Rasulullah SAW.

          Isi fatwa: Pertama, perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki nonmuslim adalah haram hukumnya. Kedua, laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita bukan Muslim. Memang, dalam hal perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita Ahli Kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar daripada maslahatnya, MUI memfatwakan perkawinan tersebut juga haram hukumnya.

Dari kasus gugatan yang menarik perhatian publik ini, ada yang lebih memprihatinkan jika dilihat pada sisi bahwa salah satu penggugatnya adalah seorang muslimah yang sehari-hari berjilbab. Bagaimana mungkin seorang pejilbab bisa menggugat UU Perkawinan? Kerisauan ini tentu saja sangat beralasan, sebab bagi banyak kalangan ada asumsi bahwa semua pemakai jilbab pasti memiliki pemahaman keagamaan yang jauh lebih baik ketimbang yang tak berjilbab. Maka, sungguh mengherankan jika di sebuah ketika, seseorang yang berjilbab justru menolak larangan kawin beda agama.

Tentu saja rasa heran ini beralasan sebab sebagai pejilbab mestinya dia tahu dengan perintah ini: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu” (QS Al-Baqarah [2]: 208). Sementara, di antara keseluruhan hukum Islam yang harus diketahui adalah keharaman perkawinan beda agama (untuk semua ‘kombinasi’) seperti yang difatwakan MUI pada 1980.

Rasa heran atas perilaku gadis berjilbab itu menjadi bertambah-tambah di saat masyarakat mengetahui bahwa dia mahasiswi fakultas hukum yang mestinya bisa memahami hukum secara lebih baik.

            Alhasil, siapapun memang harus berhati-hati dalam bersikap. Jangan sampai sikap kita menjadi iklan buruk bagi kita, baik sebagai pribadi maupun sebagai pemeluk Islam. []

Last modified: 21/09/2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *